Perajin tikar pandan Dusun Batu Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat Lombok Tengah. |
Seiring berkembangnya zaman yang semakin modern,
peralatan rumah tangga yang dulunya tradisional mulai perlahan ditinggalkan.
Salah satunya adalah tikar pandan yang dulunya dengan mudah kita temukan di pasar
atau rumah, tetapi sekarang sudah jarang ditemukan. Tetapi ternyata masih ada
pembuat tikar pandan yang masih bertahan, meski sekarang di pasaran lebih
banyak dijual tikar plastik yang kualitasnya lebih bagus dan bervariasi.
INAQ Rukmin dan Muniati, pasangan ibu dan anak ini di Dusun Batu
Tinggang Desa Labulia Kecamatan Jonggat Lombok Tengah merupakan salah satu perajin tikar
pandan yang masih bertahan. Selama puluhan tahun, mereka menggeluti usaha
membuat tikar. Meski sudah banyak tikar plastik yang lebih murah dan fleksibel,
mereka tetap bertahan.
“Saya sudah puluhan tahun membuat tikar pandan ini. Dari masih kecil di mana hampir semua warga di sini menjadi perajin tikar,”
terangnya saat ditemui Ekbis NTB di
rumahnya, belum lama ini.
Wanita paruh baya ini menuturkan dulunya hampir semua
warga berprofesi menjadi perajin tikar pandan, tetapi seiring zaman banyak dari
mereka yang beralih ke profesi lain. “Kebanyakan jadi pembuat batu bata
atau pekerjaan lain, soalnya itu lebih banyak mendatangkan penghasilan,” tutur Inaq Rukmin.
Tikar pandan terbuat dari daun pandan yang banyak
tumbuh di kebun ataupun sebagai tanaman pagar. Hampir semua daun pandan dalam
satu pohon bisa digunakan sebagai bahan baku tikar pandan kecuali daun muda.
“Kita belinya per kebun bukan per pohon, kalau sekarang harganya bisa Rp 200 –
300 ribu/kebun di mana semua pandannya bisa kita ambil,” jelasnya.
Setelah dipetik, daun pandan mengalami mengalami
proses panjang mulai dari dibuat menjadi lembaran kecil baru kemudian diulet
(lingkaran daun pandan). “Setelah dianyam baru kemudian dijemur sampai kering,
kalau lagi bagus cuacanya bisa sampai 1 minggu penjemuran karena harus sering
dibolak-balik agar keringnya merata,” tambahnya.
Besar-kecilnya anyaman yang dibuat menentukan jumlah anyaman yang dipakai untuk
pembuatan tikar pandan. “Kalau uletan (anyamannya, red) kecil, bisa pakai sampai 4 uletan untuk membuat tikar, tapi ada
juga yang besar. Ibu saya saja yang masih buat yang besar,” kata Muniati.
Setelah itu, ujarnya, daun pandan dianyam menjadi
tikar yang dalam sehari, mereka bisa membuat sampai 3 buah tikar. “Itu kalau
tidak ada yang dilakukan, hanya menganyam saja seharian, kalau diselingi dengan
pekerjaan hanya bisa jadi 1 saja,” jelasnya. Jika tikar pandan sudah terkumpul
cukup banyak, barulah inaq Rukmin menjualnya, baik menjual sendiri atau dijual ke
pengepul. “Tapi ada juga yang datang langsung ke rumah, harganya juga
cukup murah mulai dari Rp 15-30 ribu kalau beli langsung, kalau dipasaran
harganya mulai dari Rp 20 ribu,” tambahnya.
Muniati menambahkan, pasaran untuk tikar pandan ini
tetap ada karena ada kelebihan tikar pandan yang tidak dimiliki oleh tikar
plastik. “Kalau kata orang sih, lebih adem pakai tikar pandan meskipun
lantainya dingin selain itu lebih alami, sekarang kan orang suka yang
alami-alami,” tukasnya.
Meski demikian, mereka mengaku selama ini mereka tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk produksi mereka. “Modal kita sendiri, kalau tidak ada modal kita cuma diam saja di rumah, mau bertani kita tidak punya sawah. Jadi cuma ini saja pekerjaan yang saya bisa,” akunya. (Uul Efriyanti Prayoba/Ekbis NTB)
No comments:
Post a Comment