Be Your Inspiration

Tuesday, 20 January 2015

Tenun Gedogan Lombok Timur Menuju Persaingan Internasional



Ketua Kelompok Perajin Sentosa Sasak Tenun 
Pringgasela M. Maliki menunjukkan kain tenun gedogan 
yang berusia di atas 200 tahun
Tenun gedogan adalah warisan industri tradisional Lombok yang hingga kini masih coba dipertahankan oleh para generasi berikutnya. Seiring perjalanan waktu dan pesatnya perkembangan zaman, tenun gedogan tengah dihadapkan pada ketatnya persaingan internasional.

Dinamakan tenun gedogan, karena proses pembuatannya yang menggunakan cara-cara, peralatan dan perlengkapan yang masih sangat sederhana dan tradisional.
Di antaranya batang (kerangka alat tenun), belide atau pemadat kain tenunan, pengahen, tutuk, jajak, penggun, penengol (semua istilah Sasak), nama-nama alat tersebut dibuat, dibakukan langsung dari nenek moyang atau sang penemunya.
Seorang perajin sedang menggunakan kain tenun 
yang berusia lebih dari 200 tahun. 

Setiap merangkai benang menjadi kain, prosesnya dengan menghentakkan antara alat yang satu dengan lainnya yang terbuat dari kayu. Dari hentakan-hentakan itulah kemudian menimbulkan suara ketukan-ketukan (gedogan dalam bahasa Sasak).

M. Maliki, Ketua Kelompok Perajin Sentosa Sasak Tenun Pringgasela, Lombok Timur kemudian mengulas sejarah turun temurun tentang tenun gedogan. Pringgasela menurutnya menjadi salah satu daerah pencipta pertama tenun gedogan, sekitar 2 abad yang lalu.
Memang tidak ada sejarah tertulis tentang keberadaan tenun gedogan, termasuk angka tahun dimulainya proses menenun, karena banyak di antara penenun waktu itu tidak bisa baca tulis.
Seorang perajin sedang menenun kain tenun 
gedogan khas Pringgasela Lombok Timur

Tetapi, dari salah satu hasil tenunan yang diyakini pertama kali dibuat dan diperkirakan usianya di atas 200 tahun, kini masih disimpan. Hasil tenunan pertama itu diantaranya berupa selendang-selendang dan kain panjang. Disebut usianya di atas 200 tahun, karena sudah disimpan oleh beberapa generasi.

Lantaran usianya yang cukup tua itulah, kain-kain itu dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu (upacara adat). Bahkan, oleh keyakinan masyarakat setempat, kain tenun gedogan pertama itu diyakini bisa menjadi syarat untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Tenun gedogan, dalam sejarahnya dibuat karena pada zamannya, masyarakat Pringgasela dulunya menjadi petani penghasil tanaman kapas. Sehingga muncullah ide, bagaimana kapas-kapas yang dihasilkan itu bisa menjadi benang dan dibuat kain. Dalam cerita turun-temurun juga, akhirnya diciptakanlah alat tenun tradisional itu, dan masih dipertahankan hingga kini.

Dulunya kain tenun gedogan adalah pekerjaan sampingan masyarakat setempat, karena hasil tenunannya hanya untuk memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat di Pringgasela waktu itu.
Lama kelamaan, karena keunikannya itu, kain tenun gedogan diminati oleh masyarakat antardesa. Seiring perkembangan zaman, tahun 80-an, kain tenun Pringgasela mulai dikembangkan dan diarahkan untuk dikomersilkan.


Selain kain, para penenun di Pringgasela juga membuat
tas yang sesuai dengan tren masa kini.
Di tahun 90-an, nama kain tenun kian memasyarakat. Setelah warisan itu menjadi industri yang dikomersilkan. Tentu menjadi peluang bagi masyarakat, dari sisi ekonomi. Sehingga, banyak masyarakat yang tadinya menjadikan kegiatan menenun sebagai kegiatan sampingan, dan lebih memilih menjadi petani. Kini berbalik arah, membuat kain tenun gedogan kini menjadi mata pecaharian utama. Terlebih pemerintah juga turut peduli mendukung keberadaan industri tradisional ini.

Seiring perkembangannya lagi, industri tenun ini juga berkembang di beberapa daerah di NTB, di antaranya di Lombok Tengah, bahkan Sumbawa. Tidak terkecuali yang ada di Bali dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Dalam perkembangannya, di saat hasil-hasil gedogan telah banyak diproduksi, tantangannya selain harus bersaing dengan tenun gedogan daerah lain merebut pasar.

Kain tenun tradisional juga tengah dihadapkan pada berkembang pesatnya industri tekstil. Di mana, berbagai jenis kain dan motif telah mampu diciptakan perusahaan tekstil dalam dan luar negeri, termasuk dengan harga yang tentu berbeda jauh. “Tapi masih bisa kita bertahan. Tenun gedogan menjadi ciri khas daerah. Yang terpenting generasinya tetap berupaya mempertahankan kelestarian industri tradisional ini,” demikian Maliki. (Suara NTB)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive