Ketua Kelompok Perajin
Sentosa Sasak Tenun Pringgasela M. Maliki menunjukkan kain tenun gedogan yang berusia di atas 200 tahun |
Dinamakan tenun gedogan, karena proses pembuatannya yang
menggunakan cara-cara, peralatan dan perlengkapan yang masih sangat sederhana
dan tradisional.
Di antaranya batang (kerangka alat tenun), belide atau pemadat kain tenunan, pengahen, tutuk, jajak, penggun, penengol (semua istilah Sasak), nama-nama alat tersebut dibuat, dibakukan langsung dari nenek moyang atau sang penemunya.
Di antaranya batang (kerangka alat tenun), belide atau pemadat kain tenunan, pengahen, tutuk, jajak, penggun, penengol (semua istilah Sasak), nama-nama alat tersebut dibuat, dibakukan langsung dari nenek moyang atau sang penemunya.
Setiap merangkai benang menjadi kain, prosesnya dengan
menghentakkan antara alat yang satu dengan lainnya yang terbuat dari kayu. Dari
hentakan-hentakan itulah kemudian menimbulkan suara ketukan-ketukan (gedogan
dalam bahasa Sasak).
M. Maliki, Ketua Kelompok Perajin Sentosa Sasak Tenun
Pringgasela, Lombok Timur kemudian mengulas sejarah turun temurun tentang tenun
gedogan. Pringgasela menurutnya menjadi salah satu daerah pencipta pertama
tenun gedogan, sekitar 2 abad yang lalu.
Memang tidak ada sejarah tertulis tentang keberadaan tenun
gedogan, termasuk angka tahun dimulainya proses menenun, karena banyak di
antara penenun waktu itu tidak bisa baca tulis.
Tetapi, dari salah satu hasil tenunan yang diyakini pertama
kali dibuat dan diperkirakan usianya di atas 200 tahun, kini masih disimpan.
Hasil tenunan pertama itu diantaranya berupa selendang-selendang dan kain
panjang. Disebut usianya di atas 200 tahun, karena sudah disimpan oleh beberapa
generasi.
Lantaran usianya yang cukup tua itulah, kain-kain itu dikeluarkan
pada waktu-waktu tertentu (upacara adat). Bahkan, oleh keyakinan masyarakat
setempat, kain tenun gedogan pertama itu diyakini bisa menjadi syarat untuk mengobati
berbagai jenis penyakit.
Tenun gedogan, dalam sejarahnya dibuat karena pada zamannya,
masyarakat Pringgasela dulunya menjadi petani penghasil tanaman kapas. Sehingga
muncullah ide, bagaimana kapas-kapas yang dihasilkan itu bisa menjadi benang
dan dibuat kain. Dalam cerita turun-temurun juga, akhirnya diciptakanlah alat
tenun tradisional itu, dan masih dipertahankan hingga kini.
Dulunya kain tenun gedogan adalah pekerjaan sampingan
masyarakat setempat, karena hasil tenunannya hanya untuk memenuhi kebutuhan
pakaian masyarakat di Pringgasela waktu itu.
Lama kelamaan, karena keunikannya itu, kain tenun gedogan
diminati oleh masyarakat antardesa. Seiring perkembangan zaman, tahun 80-an,
kain tenun Pringgasela mulai dikembangkan dan diarahkan untuk dikomersilkan.
Selain kain, para penenun di Pringgasela juga membuat
tas yang sesuai dengan tren masa kini. |
Seiring perkembangannya lagi, industri tenun ini juga
berkembang di beberapa daerah di NTB, di antaranya di Lombok Tengah, bahkan
Sumbawa. Tidak terkecuali yang ada di Bali dan daerah-daerah lainnya di
Indonesia.
Dalam perkembangannya, di saat hasil-hasil gedogan telah
banyak diproduksi, tantangannya selain harus bersaing dengan tenun gedogan
daerah lain merebut pasar.
0 komentar:
Post a Comment