|
Kepala BPKP Perwakilan NTB Dr. Ilham Nurhidayat |
NTB merupakan provinsi dengan jumlah bendungan
terbanyak di Indonesia yang terdiri dari 72 bendungan, 981 embung. Tiga bendungan baru dalam daftar proyek strategis nasional sedang dalam proses pembangunan, ditambah Bendungan Bintang Bano di
Sumbawa Barat yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 14 Januari 2022.
Hal ini mendapat
sorotan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Provinsi NTB. Kepala BPKP Perwakilan NTB Dr. Ilham Nurhidayat mengingatkan, banyaknya pembangunan bendungan di NTB memakan biaya
hingga puluhan triliun.
‘’Sumber daya yang besar tersebut seharusnya
berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat NTB. Untuk itu,
diperlukan komitmen dan koordinasi multi stakeholder, manajemen data, dukungan
alokasi biaya perawatan dan pemeliharaan rutin, infrastruktur pendukung , dan
faktor-faktor pendukung lainnya,’’ ujarnya, Rabu 18 Mei 2022.
Terkait hal ini,
ujarnya, BPKP melakukan pengawasan terhadap berbagai program pembangunan yang
menggunakan dana negara. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden
Ir. H. Joko Widodo saat pelantikan yang menyatakan akan meminta dan memaksa bahwa tugas birokrasi adalah making delivered, yakni menjamin
manfaat program itu dirasakan oleh masyarakat. ‘’Untuk itu, Satu Data untuk "Kuta Mandalika". Strategi
Penyatuan Data Akuntabilitas Pemanfaatan Bendungan di Provinsi NTB,’’ tegasnya.
Ditegaskannya, salah satu isu strategis di NTB adalah kebutuhan
infrastruktur bendungan dalam rangka menampung air untuk memenuhi kebutuhan
pengairan lahan pertanian. Untuk itu, luas
lahan irigasi di NTB sangat berperan penting bagi penyokong stok pangan nasional.
Presiden
Jokowi, tambahnya, pada pembukaan Rapat
Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah 2021 di Istana Kepresidenan
Bogor, Kamis 27 Mei 2021 menyampaikan kegundahannya atas pemanfaatan bendungan
yang belum optimal.
Dari hasil pantauan Presiden,
di lapangan ada waduk, namun tidak memiliki irigasi, seperti irigasi primer, irigasi sekunder, irigasi tersier. Temuan Presiden ini menjadikan BPKP
Perwakilan NTB fokus untuk melakukan pengawasan terhadap keberadaan bendungan
yang ada dan sedang dibangun di NTB.
Dijelaskannya, pemanfaatan bendungan berkaitan erat dengan alur
teknis siklur air di daratan, yang meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai infrastruktur input. Kemudian, infrastruktur bendungan yang menampung dan memproses aliran. ‘’Output bendungan (irigasi, air baku, dan sebagainya), serta pemanfaatan dan pemberdayaan masyarakat sebagai outcome,’’ terangnya.
Meski demikian, tambahnya, dari hasil temuan BPKP
di lapangan, salah satu kendala pengelolaan Sumber Daya Air dan pemanfaatan
bendungan adalah belum adanya dukungan penyatuan data secara sektoral maupun
lintas sektoral.
Hal ini, ungkapnya, tercermin dari beberapa kondisi, seperti perbedaan data DAS antara
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
(PUPR). Selain itu, Kementerian PUPR belum dapat mengakses data DAS secara detail menurut
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan data Geospasial
dari Badan Informasi Geospasial.
Hal lain yang menjadi persoalan, ujarnya, belum dilakukan pemberian kode
referensi data DAS, data bendungan, dan infrastruktur
sumber daya air lainnya pada Kementerian PUPR.
Termasuk perbedaan
data luas lahan irigasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR serta perbedaan basis penentuan luas tanam padi menurut Kementerian Pertanian
yang berbasis kecamatan dengan luas tanam padi menurut Kementerian PUPR yang
berbasis daerah irigasi.
Dijelaskannya dalam UU 17/2019 Pasal 54 Ayat (6) Huruf a
tentang Sumber Daya Air (SDA) menyebutkan, guna meningkatkan
efisiensi dan efektivitas sistem informasi SDA, tiap-tiap institusi sesuai
dengan kewenangannya melakukan optimalisasi pemanfaatan data dan informasi
terkait SDA. Termasuk Sistem
Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi, dan Hidrogeologi, pengelolaan yang terintegrasi, pembagian peran yang jelas dan proporsional antar
institusi, pengaturan akses data, pengaturan alur data dan pengaturan pemanfaatan data.
Merujuk pada PP
37/2010 tentang Bendungan, lanjutnya, pada Pasal 154
dinyatakan pengelola bendungan harus menyelenggarakan
sistem informasi bendungan beserta waduknya yang dapat diakses oleh masyarakat.
Pengelola bendungan melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyediaan data dan
informasi bendungan beserta waduknya dan pemutakhiran informasi bendungan beserta
waduknya secara berkala.
Terkait hal ini, Pemprov NTB telah
melakukan upaya untuk mewujudkan Satu Data NTB melalui penerbitan Peraturan
Gubernur Nomor 45 Tahun 2021 tentang NTB Satu Data merujuk pada beberapa
regulasi, meliputi Perpres 39/2019 tentang Satu Data,
Pasal 23 Ayat (8) Forum Satu Data Tingkat Daerah
berkomunikasi dan berkoordinasi dalam rangka menyelesaikan permasalahan terkait
penyelenggaraan Satu Data Indonesia tingkat daerah. Selain itu, ada Peraturan Gubernur NTB Nomor
45/2021, Pasal 5 dijelaskan, di antara
penyelenggara NTB Satu Data adalah Forum NTB Satu Data.
Dalam hal ini, BPKP Perwakilan NTB memberikan rekomendasi
pada Kepala
Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara (BWS NT) I melakukan identifikasi dan standarisasi satu data terhadap
data terkait pemanfaatan bendungan yang dikeluarkan oleh BWS NT I. Dalam melakukan identifikasi ini, BWS NT I berkoordinasi dengan BPS, Bappeda NTB dan
pemangku kepentingan lainnya.
Sementara rekomendasi jangka menengah, ujarnya, Gubernur NTB memasukkan agenda penyatuan data pemanfaatan bendungan ke dalam Forum NTB Satu
Data. Dan jangka panjang
Gubernur NTB mengusulkan kepada Kepala Bappenas
selaku Dewan Pengarah Penyelenggara Satu Data Indonesia tingkat Nasional, untuk
menetapkan satu data pemanfaatan bendungan sebagai Daftar Data dan Data
Prioritas Satu Data Indonesia tingkat pusat dan daerah. (Marham)