Be Your Inspiration

Monday, 12 August 2019

Sulitnya Mendapat Penganan Tradisional Khas Lombok di Pasar Sendiri

Cerorot, makanan khas Lombok yang sulit ditemukan di pasaran. Lebih mudah membeli pizza atau burger, daripada beli cerorot. 
Beragam jenis penganan modern membanjiri pasar. Umumnya, penganan yang dibuat dalam skala industri. Pelan-pelan, penganan lokal ditinggalkan. Padahal, menjaga penganan lokal adalah upaya mempertahankan kearifan lokal tak tergerus. Seperti apa upaya kiat dan upaya pengusaha lokal dalam mempertahankan eksistensi penganan lokal agar tidak tergerus zaman.

Mencari penganan lokal untuk dikonsumsi atau dijadikan oleh-oleh masih sulit. Hanya ada beberapa toko atau pedagang di pasar yang menjual penganan lokal, seperti kelepon kecerit, jaje tujak, renggi, cerorot, nagasari, opak-opak, poteng dan lainnya. Beda halnya, kalau kita ingin membeli penganan modern atau luar daerah banyak ditemukan di toko-toko roti hingga pedagang kecil di masyarakat. 

Harus diakui masih sedikit yang mempertahankan tetap memproduksi penganan tradisional ini. Regenerasi produsen panganan lokal mengkhawatirkan. Mereka tersaing oleh produk penganan modern yang justru ditengarai banyak memicu beragam jenis penyakit, karena dibuat dengan beragam campuran bahan-bahan pewarna dan pemanis modern.

Sebaliknya, pangan lokal yang dibuat masih dengan cara-cara tradisional justru lebih terjamin risiko kesehatannya. Sayangnya, modernisasi membuat panganan lokal makin dikucilkan.

Adalah Industri Kecil Menengah (IKM) Sasak Maiq di Senteluk, Lombok Barat adalah salah satu produsen produk olahan pangan lokal. Produksinya cukup beragam, mulai dari tortilla atau keripik rumput laut, terasi Lombok, dodol rumput laut, kopi rumput laut, abon ikan hingga rengginang rumput laut. Semua bahan bakunya diambil dari petani lokal.

Baiq Siti Suryani selaku pengelola Sasak Maiq menuturkan, produk olahan pangan lokal semakin beragam. Namun belum semua jajanan yang menjadi warisan leluhur masyarakat Lombok dibuat sedemikian rupa untuk selanjutnya dijual ke wisatawan. Yang diproduksi selama ini adalah produk tahan lama yang berbahan baku rumput laut, ubi ungu, singkong dan abon ikan.
Cerorot dan makanan tradisional Lombok lainnya saat dipamerkan.
“ Kami juga membuat rengginang rumput laut, rengginang ubi ungu dan rengginang singkong. Respons pembeli bagus, terlebih kami tidak menggunakan pewarna makanan, kami hanya menggunakan pewarna alami,” kata Baiq Siti Suryani pada Ekbis NTB di Lapangan Bumi Gora Kantor Gubernur NTB, Jumat (9/8/2019).

Untuk menambah variasi produk olahan pangan lokal, Sasak Maiq juga mengolah jus jagung dengan aneka variasi, sehingga konsumen bisa memilih sesuai dengan selera. Variasi ini bagian dari inovasi agar mampu bertahan pascagempa tahun 2018 lalu. Karena pascagempa, nyaris seluruh dunia usaha terdampak, tak terkecuali IKM yang bergerak di bidang produksi makanan.

Menurutnya, satu tahun pascagempa usahanya belum benar-benar pulih. Hal ini tercermin dari perolehan omzet usaha. Sebelum gempa kata Suryani, omzet bulanan yang bisa diperoleh sekitar Rp 150 juta per bulan. Namun saat ini, omzet yang diperoleh sekitar Rp 60 juta per bulan. Ia optimis seiring dengan program pemulihan pasca bencana yang masih terus dilakukan serta geliat pariwisata NTB, usaha IKM di Lombok akan membaik di masa yang akan datang.

“ Dulu sebelum gempa bisa mencapai 150 juta, sekarang kami rasakan hanya sekitar 50, atau 60 juta. Namun sejak Juli kemarin mulai ada sedikit perubahan,” terangnya. 

Semua produk yang dihasilkan oleh Sasak Maiq dijual di sejumlah gerai modern, toko roti, lingkungan sekolah dan tersedia di situs penjualan berbasis daring. Penjualan lewat daring cukup diandalkan, karena banyak konsumen yang melakukan pemesanan melalui situs.

Ia mengatakan, agar IKM dapat berkembang dengan baik, maka semua syarat-syarat untuk berkembang harus terpenuhi, seperti adanya label halal MUI, PIRT, keterangan kedaluwarsa dan lainnya. “ Itu semua bisa diurus. Insya Allah tidak sulit jika ada kemauan, apalagi pemerintah daerah memberikan kemudahan untuk pengurusan itu,” terangnya.

Penganan modern menjadi penguasa pasar. Sementara penganan tradisional terancam punah. Seharusnya re-branding dilakukan.

Penegasan ini disampaikan Ketua Indonesian Chef Association (ICA) atau Asosiasi Chef Indonesia NTB, Anton Sugiono. Penganan tradisional ( produk lama), jika tak ditampilkan dengan bagus bisa jadi hanya tinggal menunggu waktu kepunahannya.  

Penganan tradisional menurutnya, belum berani tampil mengikuti zaman. Seharusnya, ia telah ditampilkan dengan kemasan yang bagus, sehingga menarik minat konsumen. Anton menyebut contoh wajik, dodol yang merupakanan penganan tradisional. Sampai saat ini, belum dikemas menarik, mengikuti selera zaman. Penganan ini hanya dibuat biasa-biasa saja. Jika tetap seperti ini, akan ditinggalkan.

Beda jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Terutama daerah yang sadar dengan potensi pariwisatanya. Pangan tradisionalnya adalah kearifan lokal yang dijaga kelestarian. Pangan tradisional ditampilkan dengan kemasan yang sangat menarik. Tak heran kemudian pangan tradisionalnya menjadi di toko oleh-oleh.

Dengan perkembangan zaman saat ini, Anton mengatakan konsumen sangat mengerti tentang kualitas dan standarisasi. Pangan lokal tidak dilihat sekilas. Tetapi dinilai dari proses pembuatannya. Legalitas penjualannya juga diperhatikan. Misalnya sudah ada tidaknya izin dari Dinas Kesehatan dan BPOM. “Konsumen sudah mengerti standarisasi. Sanitasi, dan pengolahannya. Sehingga faktor ini tidak bisa diabaikan,” jelas Anton.

Kelepon, salah satu penganan tradisional yang masih memiliki daya tarik. Kendati demikian, kelepon ini masih disajikan seperti yang biasa. Menurutnya, produsen harus berani membuatnya tampil lebih menarik.

ICA NTB juga turut melestarikan penganan tradisional ini. Apalagi komitmen yang tertuang dalam AD/ART ICA sudah jelas, agar penganan lokal/tradisional harus terus dipertahankan. Kelepon salah satu contohnya. Biasanya disajikan sebagai menu-menu tradisional dalam setiap kegiatan di hotel. Kelepon juga tidak sekadar disajikan, seperti model penyajian para pedagang.  ‘’Untuk meningkatkan daya tariknya, kelepon ini bisa disusun dalam bentuk boneka. Atau sejenisnya. Tidak sekadar dijejer di atas wadah, seperti yang biasa kita lihat,’’ imbuhnya.

Untuk melestarikan penganan tradisional ini, Chef Hotel Puri Indah Mataram ini mengatakan, ada ketentuan di hotel untuk menyajikan pangan lokal. Misalnya, di Puri Indah, setiap sarapan disiapkan sajian tigapo, getuk, juga cerorot. Demikian juga pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di hotel. Diatur komposisi menu sajian. 1 pangan tradisional lokal, 1 pangan modern.

Anton mengatakan, seluruh anggota ICA sepakat untuk membantu pemerintah melestarikan pangan lokal. Salah satunya dengan cara mengkampanyekan pangan lokal dalam setiap sajian hotel. Tapi pemerintah juga harus aktif. Sarannya, agar pangan lokal tetap lestari. Para produsen harus diberikan pelatihan. cara membuat pangan higienis, penggunaan alat dan bahan, serta pengemasannya.(Ekbis NTB)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive