Ming Muslimin, Sutradara film asal NTB |
Di NTB,
komunitas perfilman sudah mulai tumbuh. Dengan skill yang mereka miliki, sejumlah judul-judul film yang layak
ditonton telah lahir. Tangan-tangan kreatif kelompok milenial NTB ikut membantu
tumbuhnya industri kreatif perfilman di daerah ini. Tinggal pemerintah daerah
yang harus merespon kondisi ini agar daya ungkitnya lebih maksimal.
Ming
Muslimin, salah seorang pegiat film asal NTB mengatakan, komunitas film di
daerah ini memang tumbuh pesat. Berbeda dengan beberapa tahun lalu yang jumlah
komunitasnya sangat sedikit. “Teman-teman yang bergerak lebih dari 400 orang di
NTB,” kata Ming Muslimin kepada Ekbis NTB,
Minggu (2/2/2020).
Setiap
komunitas setidaknya memiliki basecamp,
anggota, kontak person, agenda rutin dan memiliki akun media sosial sebagai
sarana berkomunikasi. “Moment yang tepat untuk memajukan industri perfilman
karena sudah banyak orang-orang yang terlibat di sana. Kalau secara skill, mereka lumayan,” terang Ming.
Pria yang
terjun di bidang perfilman sejak tahun 2005 ini mengatakan, selama ini sudah
banyak karya dari pegiat film di NTB yang tampil di festival film, baik dalam
negeri maupun luar negeri serta pemutaran di biskop. “ Film teman-teman yang
sudah masuk bioskop antara lain judulnya ; Beto Wangsul, Memorabilia, Obituary,
Love is Here, Anita, Sepiring Bersama, Melaiq, Joki Kecil dan lainnya,”
katanya.
Menurutnya,
banyak dari karya-karya yang bagus tersebut justru lahir dari budget yang minim, misalnya dibawah Rp
50 juta per film. Biasanya komunitas yang menggarap satu judul film tersebut
akan membawa hasil karyanya ke festival-festival film yang banyak digelar.”
Karya yang tak terdetekasi sama pemda ini kadang budget minim, namun karyanya
besar karena sampai luar negeri,” lanjutnya.
Ming
mengatakan, memang ada bebarapa film hasil tangan kreatif masyarakat NTB yang
sudah bisa diputar di CGV karena memang
CGV selama ini memiliki ruang untuk para komunitas di Indonesia. “Satu
bulan itu ada satu slot untuk film hasil garapan komunitas, meskipun berbayar
namun ada potongan harganya,” terang pria lulusan S1 dan S2 Jurusan Film dan
Televisi di ISI Yogyakarta ini.
Bagaimana
dengan dukungan pemda selama ini? Menurut Ming, sejauh ini belum ada perhatian
yang besar dari pemerintah. Para pegiat film di NTB memang sangat mengharapkan
diberikan kesempatan oleh pemda. Misalnya pemda membuat promosi program kerja melalui
film yang dikerjakan oleh para pegiat film dalam daerah.
Menurutnya,
ada satu tantangan yang masih dihadapi oleh para pegiat film di NTB yaitu belum
fokusnya mereka pada job desk saat
pembuatan film. Selama ini film yang digarap dikerjakan sendiri oleh
komunitasnya tanpa adanya keterhubungan dengan komunitas lain, padahal produksi
film sesungguhnya berjejaring.
“Kawan kawan
ini masalahnya mereka semua dikerjakan sendiri-sendiri, karena tidak ada
komunikasi lintas komunitas itu. Mereka tidak mengambil orang yang expert misalnya soundman, audioman, penata
musik itu beda-beda, penata cahaya, cameramen itu beda, antara produser,
lineproduser, production manager itu beda. Jadi kendalanya adalah belum ada komunikasi lintas komunitas,”
katanya.(Zainuddin Syafari/Ekbis BTB)
1 komentar:
As reported by Stanford Medical, It is indeed the SINGLE reason this country's women live 10 years more and weigh on average 42 lbs lighter than us.
(And by the way, it has NOTHING to do with genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING around "HOW" they eat.)
BTW, What I said is "HOW", and not "WHAT"...
TAP on this link to determine if this quick test can help you decipher your true weight loss potential
Post a Comment