Be Your Inspiration

Wednesday, 12 February 2020

Muhammad Nursandi, Sutradara Film Asal NTB Dukung Pengembangan Film di NTB

Muhammad Nursandi (kanan) sedang memantau pelaksanaan pengambilan gambar oleh kameramen.

PEMAIN dan Sutradara Film Nasional asal NTB Muhammad Nursandi mendukung penuh ide dan gagasan yang dilakukan Dinas Perindustrian (Disperin) NTB untuk mengembangkan industri perfilman di NTB. Jika industri perfilman ini akan dikembangkan membutuhkan keseriusan dari pemerintah, pelaku perfilman hingga masyarakat, sehingga industri perfilman tetap eksis.

Selama ini,  ujarnya, industri perfilman di daerah ini tidak pernah ada perhatian serius oleh pemerintah daerah.  ‘’Kalau toh pun ada. Itu hanya wacana dan sebatas wacana dan tidak pernah kita lihat wujudnya seperti (filmnya) apa dan dukungannya seperti apa (terutama dari sisi dana). Karena persoalan film itu sesungguhnya adalah bagaimana kita produksi ? Ada dana ngak untuk kita buat film itu (produser, red),’’ ujarnya pada Ekbis NTB, Minggu (2/2/2020).

Setelah ada dana, ujarnya, yang harus diperhatikan adalah bagaimana distribusi fim itu sendiri.Menurut sutradara Film Perempuan Sasak Terakhir ini, distribusi tidak hanya sekadar di YouTube, karena semua orang bisa. Dalam hal ini harus ada sentuhan dari pemerintah daerah khususnya Dinas Perindustrian agar film itu mampu mencari dan menemukan pasarnya. Dalam arti, film yang dibuat itu tidak hanya menunggu nasib baik, tapi ada rumusan dasar untuk pendistribusian.

Dalam membuat film, tambah mantan anggota Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB ini, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah penonton. Baginya, keberadaan penonton dalam industri perfilman cukup besar, karena menyangkut masalah biaya. ‘’Adakah penonton kita di NTB? Kalau dua tiga penontonnya untuk apa? Proses produksi film itu mahal itulah yang membuar film-film berkualitas itu tidak berani dibuat karena biaya dan siapa yang akan menonton.Produser-produser besar Jakarta saja sangat berhati hati membuat film kalau tidak penuh dengan perhitungan bisa rugi dan tak kembali modal,’’ ujarnya menggambarkan.

Dicontohkannya, proses produksi film mindstream bukan seperti proses produksi film independent atau sekumpulan anak muda yang euforia lalu membuat film dan mencari pasar dan penontonnya oleh mereka sendiri dan komunitas mereka sendiri yang menonton. Sementara dimaksudkan industri di sini adalah proses produksi yang terjaga dari tahun ke tahun dan lalu pendistribusianya bagus dan penontonnya sudah jelas.

Untuk itu, hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah dalam mengembangkan industri film adalah mengidentifikasi siapa sebetulnya pembuat film di NTB (film maker). ‘’Ada ngak kita punya sutradara film? Ada ngak kita punya penulis skenario? Ada ngak kita punya penata artistik? Ada ngak kita punya editor film yang paham teori film tidak hanya sekedar memotong gambar, tapi lebih dari itu dia memahami filosofi gambar. Ada ngak kita punya sound man, penata suara film dan memahami sound film ?’’ tanyanya.

Menurutnya, jika hanya orang yang hanya sekedar bisa merekam cukup banyak di NTB. Namun, yang menjadi pertanyaan, apa setelah merekam sudah sesuai apa ngak dengan proses produksi film. Begitu juga dengan penata musik film, bukan hanya sekedar main musik saja, karena orang yang main musik di NTB cukup banyak, tapi yang memahami musik film cukup langka. ‘’Di sini maaf-maaf saja tidak hanya sekedar ingin punya niat baik, tapi memang harus betul betul dipahami bahwa kita memiliki talenta talenta yang saya sebut di atas. Dan paling penting adalah ada tidak produser kita di daerah ini yang mau menanamkan uangnya untuk bikin film?’’ tanyanya lagi.

Alumnus Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini mencontohkan, waktu dirinya membuat sebuah film serius, yakni ‘’Perempuan Sasak Terakhir’’. Waktu pembuatan film itu, ujarnya, semua kru inti dari Jakarta. Sementara, yang mengangkat rol kabel, angkat lampu, sopir kendaraan adalah orang-orang lokal. Meski dirinya tidak tertarik menyebut orang lokal atau orang nasional, menurutnya, adalah sejauh mana kemampuan bersaing secara pribadi ke pribadi.

‘Dan saya juga tidak setuju ada film lokal atau film nasional. Yang ada adalah film-film yang dibuat oleh film maker ,dia mampu bersaing apa tidak? Lalu apa yang disebut film lokal apakah film yang dibuat di daerah itu yang disebut film lokal, lalu film yang dibuat di Jakarta itu yang disebut film nasional. Saya pikir tidak begitu dan jangan sampai kita membenarkan kalimat ini. Yang ada adalah orang mampu bersaing atau tidak,’’ ujarnya.

Meski demikian, dirinya bersedia berbagi ilmu pengetahuan pada generasi muda di NTB yang ingin mengenal dunia perfilman. Apalagi, ujarnya, dunia film ini sangat dekat dengan kehidupan sekaligus juga sangat jauh. ‘’Kenapa saya menyebutnya demikan ,dia dekat karena hampir semua proses hidup kita ini dipengaruhi oleh tontonan dalam hal ini film atau sinetron. Kenapa saya menyebutnya jauh? Karena kita tidak tahu bagimana proses produksinya. Yang kita tahu adalah bagaimana menjadi penonton yang baik. Tapi kita tak pernah berpikir bagaimana mencipta,’’ terangnya. (Marham)
Share:

1 komentar:

Unknown said...

According to Stanford Medical, It is indeed the ONLY reason this country's women live 10 years longer and weigh 19 kilos lighter than we do.

(And realistically, it is not related to genetics or some secret diet and EVERYTHING about "HOW" they eat.)

BTW, What I said is "HOW", and not "WHAT"...

Tap this link to discover if this short quiz can help you discover your real weight loss potential

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive