|
Sabut kelapa dari Desa Korleko Kecamatan Labuhan Haji Lombok Timur yang dijadikan coco fiber untuk bahan baku pembuatan jok mobil dan diekspor ke Cina . |
SABUT kelapa tampak
menumpuk di gudang-gudang pengusaha kelapa di Desa Korleko, Kecamatan Labuhan Haji, Lombok
Timur. Sabut yang merupakan limbah dari kulit kelapa ini yang diolah menjadi Coco Fiber yang bernilai ekspor. Limbah
ini bahkan diekspor hingga ke Cina.
Adalah Zaini, salah seorang pengusaha jual beli kelapa di Desa Korleko. Dalam sebulan terakhir ini, ia
memulai kegiatan usaha jual sabut kelapa yang sudah diolahnya. Ditemui Sabtu
(6/4/2019), ia menceritakan bahwa sabut
kelapa hasil olahannya dikirim
ke Cina untuk jadi bahan baku beberapa
macam produk industri. ‘’Informasinya
untuk bahan baku otomotif, seperti jok mobil, kanvas rem dan sofa,’’ katanya.
Zaini mengirim hasil olahannya itu ke Surabaya. Kemudian oleh mitranya yang ada di Surabaya dikirim ke Cina. Pengiriman dari Lombok sejatinya bisa
langsung dilakukan. Akan tetapi tidak ada kontainer, sehingga ekspor ke Cina ini
dilakukan via Surabaya, Jawa
Timur. Produk
olahan sabut kelapa yang dihasilkan, Zaini dikirim ke Surabaya sebanyak 10 ton. Ia menjual sabut kelapa ini Rp 3.500 per Kg.
Zaini mengaku, awal mula
menggeluti usaha ini setelah beberapa kali ke Jawa. Ia melihat di Jawa katanya,
banyak aktivitas usaha seperti itu. Sementara di Lombok Timur, sabut kelapa
hanya menjadi limbah yang terbuang percuma.
Pengusaha pengolah sabut
kelapa diakui bukan yang pertama. Kabarnya pernah ada pengusaha di Kayangan,
Labuhan Lombok melakukan hal yang sama. Akan tetapi berhenti karena kebakaran.
Proses
pengolahannya menurut Zaini, sabut kelapa untuk volume
satu truk dibutuhkan waktu perontokan selama 4 jam. Kemudian dijemur beberapa hari hingga sisa kadar air 17 persen. Kemudian dikemas dengan mesin pres hidrolik.
Usaha Zaini ini makin
membuktikan tidak ada bagian yang terbuang dari kelapa. Tidak ada bagian dari
kelapa yang menjadi limbah. Semua bernilai, tinggal dibutuhkan kreativitas untuk mengolahnya. Serbuk hasil ayakan itu menjadi
media tumbuh tanaman pada proses
pembibitan. Bisa juga dijadikan bahan pembuatan batu bata atau tambahan bahan
baku pupuk organik.
Kapasitas mesin yang
digunakan Zaini sehari hanya 1 ton. Atau dengan omset harian sekitar Rp3 juta. Di luar sana, sebutnya seperti di
Sulawesi sebenarnya bisa 6 ton. Zaini pun berharap bisa melakukan pengolahan 6 ton perhari. Pasalnya, jika kemampuan
mesin hanya 1 ton perhari, Zaini mengaku masih belum untung. Karena harus membayar karyawan dan biaya operasional mesin perontok dan mesin pres hidrolik.
Ditambahkan, pengolahan
sabut kelapa di NTB katanya belum ada industrinya. Diketahui ada olahan
pembuatan sapu di Dusun Benyer, Desa Bagik
Papan, Kecamatan Pringgabaya. Pembuatan produk lain belum bisa dilakukan karena
keterbatasan tenaga dan permodalan.
Banyaknya limbah sabut
kelapa di Desa Korleko ini membuat Zaini sama sekali tidak kewalahan soal bahan baku. Bahkan yang diolah itupun hasil dari
sabut kelapa usahanya sendiri. Belum ada yang dibeli
dari warga lain.
Permintaan sabut kelapa dalam sebulan terakhir ini katanya cukup tinggi. Sebulan pembeli
meminta 500 ton coco fiber. Yakni yang masih berupa serat.
Ampasnya sendiri yang disebut koko peat
juga sangat bernilai. Belanja online saja harganya Rp2.000 per Kg. Coco peat ini
sejauh ini dijual di pasar lokal saja.
Belum ada permintaan ekspor.
Permintaan coco fiber yang tinggi ini tidak bisa
dipenuhi Zaini. Eksportir coco fiber dari
Indonesia terbilang
masih sangat terbatas. Kabarnya yang banyak mengirim ke Cina itu adalah dari
India sampai 50 persen. Ada juga dari Srilanka dan Bangladesh.
Kepala Desa Korleko, Wildan
yang dikonfirmasi mengatakan sabut kelapa ini memang menjadi limbah yang cukup
besar di Desa Korleko. Bahkan dianggap lebih banyak dibandingkan sampah
plastik. Di mana, gudang-gudang pengusaha
kelapa di Desa Korleko ini menggunung
serabut kelapanya.
Wildan menuturkan, ia sudah berkomunikasi dengan Menteri
Tenaga Kerja. Oleh menteri, Desa
Korleko ditetapkan menjadi Desa Migran
Produktif. Para eks Pekerja Migran Indonesia (PMI) dilatih untuk bisa memiliki
kegiatan usaha sendiri di rumahnya. Salah satunya mengolah sabut kelapa.
Upaya pengolahan sudah
beberapa kali dilakukan. Akan tetapi, tidak ada pembeli. Selain persoalan
modal, persoalan pasar menjadi kendala besar bagi warga yang menggeluti usaha
pengolahan sabut kelapa ini.
Diakui, sabut kelapa ini
konon bisa jadi bahan baku jok mobil kualitas terbaik. Namun ketika bicara
pasar menuju produsen itu, belum ada jawaban. Sehingga sampai saat ini
persoalan limbah sabut kelapa menjadi persoalan di Desa Korleko. ‘’Pemikiran sekarang ini ada tidak pasarnya. Kalau
ada pasarnya banyak yang akan mengusahakannya,’’
katanya. (Rusliadi/Lombok Timur)