|
Asisten II Setda NTB H. Chairul Mahsul dan Kepala Bappeda NTB H. Ridwan Syah |
PEMPROV NTB optimistis target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) NTB 2013-2018 bisa tercapai. Meski dihadapkan dengan
sejumlah kendala, tidak menyurutkan langkah Pemprov NTB di bawah kepemimpinan
Dr. TGH. M. Zainul Majdi dan H. Muh. Amin, SH, MSi., melaksanakan
program-program unggulan. Dalam RPJMD ada 31 indikator yang menjadi focus untuk
dilaksanakan. Dari 31 indikator ini, 19 indikator atau 19 persen sudah berhasil dilaksanakan, sementara 12 indikator atau 39 persen belum tercapai.
Demikian disampaikan Kepala Bappeda NTB Ir. H. Ridwan Syah,
MSc, MM.TP., dalam jumpa pers di Ruang Rapat Sekda Kantor Gubernur NTB, Selasa
(15/8). Hadir juga dalam jumpa pers ini, Asisten II Setda NTB H. Chairul
Machsul, SH, MM, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTB H. Irnadi Kusuma.
‘’Kenapa alasan 12? Karena ada 2 belum dirilis BPS. Bukannya
tidak tercapai, tapi angkanya belum masuk. Yang belum dirilis, pengeluaran per
kapita dan indeks kualitas pengolahan lingkungan hidup,’’ ungkapnya.
|
Rumah miskin milik salah satu warga di Lingkungan Dasan Geres Gerung Lombok Barat |
Meski demikian, pihaknya optimistis sisa yang masih belum
tercapai akan bisa dituntaskan. Sementara dari dari 10 indikator ini, ada 4
yang membutuhkan kerja ekstra dari pemerintah provinsi. Pertama, masalah
kemiskinan. Di mana, target di RPJMD, angka penurunan kemiskinan 1 persen tiap
tahun. Pada rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan April, Pemprov sudah
mencapai 16,07 persen.
‘’Sebenarnya target kita pada 2016 adalah 14,25 persen. Itu
artinya, kita harus menyelesaikan, kalau mencapai target 2018 kita harus
mencapai 12,25 persen, kita masih berutang, 3,07 persen,’’ terangnya.
Selain itu, indikator
lain usia harapan hidup, misalnya, prevalensi kurang gizi, buta huruf dari usia
15 tahun ke atas. Menurutnya, empat indikator ini saling berkaitan, karena
kalau bicara kemiskinan, larinya ke arah pendidikan dan kesehatan, karena
merujuk langsung tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Selain itu, ujarnya, masalah jalan provinsi mantap optimisis
tercapai. Di RPJMD awal, panjang jalan provinsi mantap di angka 93 persen, tapi
pihaknya merevisi menjadi 83 persen, karena tidak mungkin tercapai. Apalagi ada
300 km jalan provinsi mantap yang beralih status menjadi jalan nasional. ‘’Seandainya jalan itu
berstatus jalan provinsi, insyaallah, kita nyampai. Sehingga panjang jalan kita
itu menjadi berkurang dan yang berkurang itu adalah yang mantap,’’ tambahnya.
Sehingga dengan alasan itu, pihaknya melakukan revisi. Untuk
mengejar itu, pihaknya sudah menganggarkan jalan provinsi tahun jamak tahun
2017-2018 sebesar Rp 650 miliar. Dari hitungan-hitungan itu, pihaknya optimis
kemantapan provinsi ini bisa sesuai harapan. Itu artinya, seluruh jalan
provinsi yang strategis, termasuk lingkar utara di Pulau Sumbawa – lingkar
Tambora, termasuk jalan lingkar selatan Pulau Lombok dan Sumbawa bisa mantap.
‘’Ada juga ada indikator lain, yang diusahakan, yakni
pendaftaran HAKI. Tinggal didaftarkan saja. Indikator lain, PAD juga bias
tercapai,’’ terangnya.
Laju pertumbuhan investasi juga jadi prioritas. Pihaknya
yakin dengan perkembangan proyek di Mandalika bisa tercapai. Empat ini yang
agak berat, tapi pihaknya akan berupaya. Namun, ada beberapa indkkator yang
tidak ada kendalinya di provinsi. Ada di luar faktor-faktor eksternal yang
bukan merupakan kewenangan gubernur menjadi penyebab, seperti penghapusan
subsidi listrik 900 KVA. ‘’Itu berpengaruh sekali terhadap kemiskinan,’’
ujarnya.
Tidak hanya itu, terjadi bencana alam di beberapa daerah,
termasuk di Bima, Sumbawa dan lainnya, karena sesungguhnya, kalau melihat angka
yang dikeluarkan TNP2K dan BPS, yang fokus itu, bukan hanya miskin, tapi rentan
miskin, karena batas miskin dan hampir miskin itu tipis. Tipis sekali. Jadi ada
2,4 juta penduduk NTB yang miskin dan hampir miskin dan inilah yang kita fokus
untuk kita berikan sentuhan program. Karena dari hasil penelitian TNP2K, bahwa
orang miskin di tahun 2017 itu adalah orang yang 50 persen sebelumnya tidak
miskin. Jadi sebelumnya tidak miskin. Artinya, yang tadinya rentan miskin
menjadi miskin, bergeser statusnya menjadi miskin. Dan ini kita fokuskan,
termasuk tingkat kedalaman dan tingkat keparahannya, karena ini ketimpangan.
Soal kemiskinan, ujarnya, TNP2K memilih 2 provinsi untuk
pilot project, yakni Sumatera Selatan dan NTB. Dipilih dua kabupaten, yakni
Dompu dan Kabupaten Lombok Utara. Tujuannya mencari model untuk menyusun model
penurunan angka kemiskinan. Ternyata biaya yang tinggi untuk penurunan
kemiskinan belum menjamin penurunan kemiskinan angka kemiskinan. Ini terjadi di
seluruh Indonesia, bukan hanya di NTB. (Marham)