|
Kepala Desa Tanak Beak Maknun menunjuk ke arah
sisa galian tanah uruk yang diperkirakan di bawahnya tertimbun Kerajaan
Pamatan. |
Selama
tiga dasawarsa peneliti belum bisa menjawab pertanyaan mengenai letusan hebat
abad pertengahan. Aktivitas super kegunungapian yang membuat perubahan iklim
drastis Eropa dan sebagian Asia pada tahun 1258. Sampai kemudian muncul teori
Gunung Samalas. Benarkah letusan maha dahsyat ini mengubur Kerajaan Pamatan?
Ahli
geologi mengupas Samalas dalam Geomagz Volume 6 Nomor 1 terbitan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral RI 2016. Pemerhati Kebumian, Atep Kurnia
menjelaskan ahli akhirnya mengurucutkan bahwa misteri letusan 1258 ditengarai
akibat aktivitas satu gunung api di Indonesia.
Hal
itu merujuk pada temuan 15 ahli gunung api dunia yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of
Sciences of the United States of America (PNAS) Vol 110 No 42. Ditulis
dengan tajuk “Source of the great A.D 1257 mistery eruption unveiled, Samalas
volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia.”
Ahli
dari Indonesia yang terlibat yakni Geolog pada Badan Geologi Bandung Indyo
Pratomo, akademisi Geografi Universitas Gadjah Mada Danang Sri Hadmoko, dan
mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono.
Atep
menyebut tulisan itu menyatakan bahwa sumber letusan misterius abad pertengahan
itu berasal dari kompleks Gunung Api Rinjani, Indonesia. Penanggalan 14C
mengindikasikan bahwa klimaks letusan yang membentuk kaldera itu terjadi pada
abad ke-13 (Akira Takada, 2003).
Sementara
Penelitian Rinjani Franck Lavigne dkk menyimpulkan bahwa letusan gunung api di
sekitar Kompleks Rinjani ini lebih besar dibandingkan letusan Gunung Tambora
1815. Lavigne, tulis Atep, menganalisis data stratigrafi dan geomorfologi,
vulkanologi fisik, penanggalan radiokarbon, geokimia tefra, dan kronik.
Lavigne
melanjutkan bahwa letusan itu melepaskan 40 kilometer kubik abu setinggi 43
kilometer. Total magma yang dilepaskan sebesar 40,2 ± 3 km3 Dense Rock
Equvalent (DRE) atau kesetaraan volume batuan yang dierupsikan. Letusan itu
setara magnitudo 7.
Lavigne
menemukan perbandingan gelas yang ditemukan di inti es dengan material hasil
letusan tahun 1257 yang menunjukkan kemiripan. Hal itu menjadi rujukan yang
memperkuat hubungan letusan tahun 1257. Letusan itu menjadi yang terbesar
selama periode holosen hingga menyebabkan anomali iklim pada tahun 1258
utamanya di belahan utara bumi.
Atep
melanjutkan hasil temuannya. Bahwa Lavigne mencari jawaban mengenai literatur
tertulis dari sumber lokal. Lavigne memutuskan untuk mencarinya di Perpustakaan
Leiden, Belanda dan Perpustakaan KITLV, yang menyediakan dokumentasi Indonesia
di masa lalu.
Pencairan
Lavigne, masih tulis Atep, menemunkan naskah Babad Lombok. Babad Lombok menurut
Sasak and Javanese Literature (Morisson, 1999) memilki beberapa versi.
Perpustakaan Nasional memberi kode Bd Codex 395.
Naskah
Babad Lombok yang dikutip Lavigne berisi naskah tambo sejarah Lombok sejak Nabi
Adam hingga kondisi politik Lombok pada sekitar periode lahirnya naskah babad
yakni abad ke-18, tulis Atep.
Naskah
itu ditranslliterasi dan ditranskripsi Lalu Wacana (1979). Lavigne menemukan
Samalas dalam Babad Lombok tersebut. Nama Samalas merujuk pada gunung api yang
berbarengan meletusnya dengan Rinjani, sesuai kutipan naskah tersebut.
Kutipan
itu berbunyi, seperti disadur dari Atep, “Gunung
Renjani kularat, miwah gunung samalas rakrat, balabur watu gumuruh, tibeng Desa
Pamatan, yata kanyut bale haling parubuh, kurambaning segara, wong ngipun
halong kang mati.” Artinya, berdasarkan Lalu Wacana, “Gunung Rinjani
longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa
Pamatan, rumah-rumah roboh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan,
penduduknya banyak yang mati.
Atep
melanjutkan, bahwa Indyo Pratomo (2013) menyatakan temuan Gunung Samalas
berimplikasi terhadap disiplin kegunungapian dan mitigasi bencana, serta
memberikan peluang penelitian baru di bidang arkeologi hingga sejarah nusantara
pada masa lalu.
Jejak Peradaban Sisa Samalas
Hingga
akhir abad ke – 20, sejarah pembentukan Kaldera Rinjani terus dalam penelitian
oleh ilmuwan ternama seperti Heriyadi
(2003), Asnawir (2004) dan Frank Lavigne (2013). Kesimpulan riset bahwa kaldera Rinjani terbentuk abad ke
13, sementara berhasil mengungkap misteri letusan pada abad itu bersumber dari
Gunungapi Samalas tahun 1957. Bagaimana upaya mengungkap peradaban kuno sekitar
700 tahun lalu itu di Lombok?
Balai
Arkeologi Bali wilayah kerja Bali, NTB, dan NTT melakukan penelitian awal Jejak
Budaya di Dusun Ranjok, Desa Aik Berik, dan Dusun Tanak Bengan Desa Tanak Beak,
Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, pada tanggal 6 sampai 8 Juni 2018
lalu. Dari simpulan penelitian tersebut, temuan-temuan arkeologis tersebut, ada
sisa-sisa kebudayaan masa lalu.
Kepala Desa Tanak Beak Maknun dan pengurus Pokja Samalas
foto di atas permukaan tanah bekas galian C. Di bawah tanah itu
diduga masih tertimbun perdabatan kuno
Kepala
Balai Arkeologi Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, NTT, Drs. I Gusti Made
Suarbhawa, kepada Suara NTB, menyampaikan,
pihaknya sudah melakukan penelitian awal pada tahun 2018 lalu. Laporan
penelitian itu merupakan laporan kegiatan insiden berdasarkan laporan
masyarakat dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB tentang adanya
temuan di lokasi penambangan pasir di Dusun Ranjok, Kecamatan Batukliang Utara.
Selain
dari Balai Arkeologi Bali, pada kegiatan itu juga terlibat tim dari Balai
Geologi Bandung untuk mengidentifikasi masalah terkait letusan gunung api. Tim
dari Balai Arkeologi Bali terdiri atas Drs. I Gusti Made Suarbhawa, Drs. I
Nyoman Sunarya, dan I Wayan Sumerata, S.S.
Kegiatan
penelitian diawali dengan melakukan survei di lokasi penelitian, pada areal
penambangan tanah uruk dan pasir yang luasnya kurang lebih 50 are Dusun Ranjok.
Pada awalnya pada 1 Juni 2018 masyarakat Dusun Ranjok menemukan benda-benda kuno
di sebidang tanah. Saat melakukan penambangan tanah uruk dengan cara
tradisional di kedalaman 35 meter dari permukaan tanah awal, salah seorang
buruh tambang menemukan benda-benda yang diduga sisa aktivitas manusia masa
lalu.
Setelah
dilakukan penegamatan terhadap tanah yang sudah digali, tampak singkapan dengan
beberapa lapisan tanah, tetapi tidak begitu jelas karena kondisi tanah yang
lembab dan terdapat aliran air di bawahnya. Meski pun demikian, masih dapat
diidentifikasi beberapa lapisan tanah yang merupakan debu vulkanik bercampur
fumis.
Gusti
Made menjelaskan, tim juga menindaklanjuti informasi tentang lokasi penambangan
yang terdapat di Desa Tanak Beak, secara administratif masih termasuk wilayah
Batukliang Utara. Jarak antara penambangan di Dusun Ranjok dengan lokasi di
Dusun Tanak Bengan sekitar 5 kilometer. Di lokasi ini juga ditemukan sebaran
fragmen gerabah dari berbagai varian bentuk, keramik, dan benda logam.
“Oleh
karena indikasi permukaan sangat banyak, tim hanya melakukan dokumentasi pada
tempat-tempat yang paling banyak sebaran temuannya. Beberapa temuan kemudian
diambil untuk dijadikan sampel penelitian. Belum diketahui dari mana asal
temuan ini. Apakah tertransfortasi dari tempat lain akibat letusan gunung api,
ataukah di tempat ini dulunya sebuah pemukiman,” jelas Gusti Made.
Tim
menyimpulkan bahwa temuan-temuan arkeologis di Dusun Ranjok, Desa Aik Berik,
Kecamatan Batukliang, merupakan sisa-sisa kebudayaan masa lalu. Dibuktikan oleh
temuan gerabah, keramik, beras, dan tulang. Temuan tersebut dianggap dapat
mewakili bahwa di lokasi itu pernah ada
aktivitas masyarakat masa lalu. “Sedangkan belum ada temuan fitur lain, temuan
lepasnya belum mampu menggambarkan pola pemukiman di lokasi ini,” ujarnya.
Gusti
Made menjelaskan, sebab-sebab terkuburnya permukiman ini diduga akibat bencana
alam letusan gunung api, karena semua artefak yang ditemukan berada di bawah
lapisan abu vulkanik dan piroklastik gunung api. “Untuk melacak hal tersebut
diperlukan penelitian lebih lanjut yang komprehensif,” katanya.
Pihaknya
menyarankan agar Pemerintah Daerah Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah
segera melakukan upaya perlindungan dan konservasi di Dusun Tanak Bengan, Desa
Tanak Beak, dan Dusun Ranjol, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara.
Sebenarnya,
akhir tahun 2018, Balai Arkeologi merencanakan penelitian lanjutan, akan tetapi
karena bencana alam gempa Lombok dengan berbagai dampaknya, penelitian ditunda
dan sampai saat ini belum ada penelitian lanjutan. “Kami juga sangat
berkepentingan agar tahun 2020 bisa terlaksana,” pungkasnya. (Wahyu Widiantoro/Atanasius Roni Fernandes Suara NTB)