Suara jangkrik dan
burung malam terdengar mengiringi tidur sang putri yang sedang tertidur lelap
dan bermimpi indah.
"Ah di mana aku ini? Indah sekali bunga-bunga ini," katanya sambil memegang bunga beraneka warna.
"Kau berada di Kayangan," jawab seorang laki-laki tampan di belakangnya sambil tersenyum.
"Siapa kau?" tanya Putri Faradila kaget.
"Aku Pangeran Kumara. Lagi ngapain di taman bungaku?" jawab Pangeran Kumara dan balik bertanya.
"Pangeran Kumara," kata Putri Faradila kaget. "Untung kau di sini. Kau akan kubunuh, karena telah membunuh ayahku," tambahnya dengan nada geram.
"Sabar nona cantik," goda Pangeran Kumara. "Jangan marah-marah begitu! Nanti kecantikanmu hilang," jawabnya sambil tersenyum.
"Aku tak butuh rayuanmu," kata Putri Faradila sambil siap-siap menyerang. "Rasakan pembalasanku ini. Hiaaat...," ujarnya sambil menerjang Pangeran Kumara dengan jurus-jurus mautnya.
Pangeran Kumara meladeni dengan santai serangan Putri Faradila yang sedang emosi. Bahkan beberapa kali tangan Putri Faradila ditangkap dan berpura-pura ingin memeluknya.
Putri Faradila yang sedang terbawa emosi tidak mampu mengontrol dirinya. Serangan yang dilakukannya justru membuat dirinya gampang dikalahkan. Bahkan, saat melakukan serangan membabi buta membuat dirinya terpeleset dan akan terjatuh dalam sebuah kolam dengan ukuran 4 kali 4 meter sedalam 2 meter.
Saat pasrah dengan keadaan, tiba-tiba tubuhnya sudah berada dalam pelukan seorang pria. Begitu menyadari tubuhnya dibawa Pangeran Kumara, Putri Faradila pun terdiam dan pura-pura pingsan.
Saat menikmati enaknya dipeluk Pangeran Kumara, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Putri Faradila yang sedang bermimpi indah pun terbangun. Mimpi dipeluk seseorang laki-laki pun buyar.
Di luar, matahari sudah menyinari bumi. Suara hiruk pikuk orang kerja sudah mulai terdengar.
"Tuan Putri," tiba-tiba terdengar suara dayang-dayang memanggil.
"Bangun, Tuan Putri. Ibunda ratu menunggu Tuan Putri," ujarnya pelan.
"Ya, suruh tunggu sebentar. Saya mau mandi dulu," jawab Putri Faradila dari dalam kamar tidurnya.
"Baik, Tuan Putri," sahut dayang-dayang sambil melangkah pergi.
Putri Faradila pun bangun. Sambil duduk di tepi ranjang dia mengingat mimpinya. Dia pun tersenyum sendiri dan masih memikirkan kebenaran mimpinya.
"Apa mungkin Pangeran Kumara? Ah tidak," gumamnya, seraya bangkit dan menuju pintu.
Setelah itu, dia pergi ke kamar mandi. Dia kemudian membersihkan tubuhnya setelah tidak mandi selama dua hari.
Selesai mandi dan berpakaian rapi serta sembahyang di pura, Putri Faradila pun menghadap Putri Ambarwati yang sudah menunggu di balairung istana.
"Duduklah," perintah Putri Ambarwati setelah Putri Faradila sampai.
"Hamba ibunda," ujarnya sambil menyembah dan bangkit untuk duduk di samping kursi yang ada di dekat ibunya.
"Kemana kamu kemarin? Ibu cemas dengan keselamatanmu," tanya Putri Ambarwati lembut.
"Hamba ke Kerajaan Sari Gangga," jawab Putri Faradila.
"Kerajaan Sari Gangga? Ngapain kamu ke sana?" tanya Putri Ambarwati seolah tak percaya.
"Sekadar jalan-jalan saja Ibunda. Kebetulan kemarin ada acara ritual suci di lokasi Mata Air Sari Gangga," jawabnya pendek.
"Ini hamba bawa air suci buat ibunda," tambah Putri Faradila sambil menyodorkan kendi berisi air pemberian Pangeran Kumara.
"Dila, Dila.. Untung kamu tak apa-apa dan tak dikenal orang Sari Gangga. Ibu khawatir, kalau kamu dikenal sama mereka, kamu akan diapa-apain," ujar ibunya khawatir.
"Tapi Dila tak apa-apa. Dila sampai rumah dengan selamat," kata Putri Faradila membela diri.
"Syukurlah," jawab Putri Ambarwati terharu.
"Tapi nanda pikir, mereka sudah tahu siapa nanda Tapi mereka membiarkanku pergi," tutur Putri Faradila.
"Lho, kok bisa?" tanya ibunya heran.
"Sebenarnya, nanda ketemu orang Sari Gangga dalam perjalanan dari Kopang ke Sari Gangga bernama Dabok. Sekilas, perawakan Dabok seperti Pangeran Kumara. Meski dia sempat curiga saat menginap di salah satu rumah penduduk, dia tak berbuat senonoh pada nanda," tambahnya.
"Bagaimana kamu bisa curiga, Dabok itu Pangeran Kumara?" tanya ibunya balik.
"Ada beberapa bagian tubuh yang tidak ditutupi Dabok atau siapa namanya si Kumara yang sama. Tapi saya diam saja," jawabnya. "Malahan..." ujarnya terputus.
"Malahan kenapa?" tanya Sang ratu penasaran.
"Tadi malam nanda mimpi ketemu Pangeran Kumara dan hamba sempat dipeluknya saat berusaha menolong nanda yang akan jatuh di sebuah lubang," jawabnya dengan nada malu.
"Dila Dila.... Kamu jangan jatuh cinta pada Pangeran Kumara. Dia itu musuh kita, dia telah membunuh ayahmu?"
"Lha, kan dulu ayah juga telah membunuh ayahnya, sehingga dia balas dendam," protes Putri Faradila. "Masak kita harus terus saling bunuh? Terus semua anak cucunya begitu terus. Apa ibunda mau seperti itu?" tanyanya balik.
"Ibu tak mau seperti itu. Tapi apa kata rakyat, jika pembunuh ayahnya justru menikahi anaknya," ujar Ambarwati beralasan.
"Siapa yang mau menikah sama dia? Ibu, kita semua inginkan kedamaian. Jangan ada lagi saling bunuh membunuh hanya karena persoalan sepele. Apalagi kita ini kerajaan kecil," kata Putri Faradila membela diri.
"Kita memang kerajaan kecil. Kita ingin hidup damai dan jauh dari gangguan. Tapi, ibu harap, kamu jangan jatuh cinta pada Pangeran Kumara," ujar Ambarwati kembali memperingatkan anaknya.
"Nanti kita lihat bunda. Mudah-mudahan nanda tidak tertarik pada Pangeran Kumara," ujarnya sambil mendesah dan pamit pada ibunya.
Setelah itu, sambil menuntun kuda kesayangannya Putri Faradila pergi menyusuri alam pedesaan. Di sepanjang jalan yang dilalui, warga desa yang bertemu dengannya menunduk dan menyembah. Putri Faradilla mencoba melihat realita kehidupan masyarakat yang masih membutuhkan perhatian pemerintah kerajaan. (BERSAMBUNG)
"Ah di mana aku ini? Indah sekali bunga-bunga ini," katanya sambil memegang bunga beraneka warna.
"Kau berada di Kayangan," jawab seorang laki-laki tampan di belakangnya sambil tersenyum.
"Siapa kau?" tanya Putri Faradila kaget.
"Aku Pangeran Kumara. Lagi ngapain di taman bungaku?" jawab Pangeran Kumara dan balik bertanya.
"Pangeran Kumara," kata Putri Faradila kaget. "Untung kau di sini. Kau akan kubunuh, karena telah membunuh ayahku," tambahnya dengan nada geram.
"Sabar nona cantik," goda Pangeran Kumara. "Jangan marah-marah begitu! Nanti kecantikanmu hilang," jawabnya sambil tersenyum.
"Aku tak butuh rayuanmu," kata Putri Faradila sambil siap-siap menyerang. "Rasakan pembalasanku ini. Hiaaat...," ujarnya sambil menerjang Pangeran Kumara dengan jurus-jurus mautnya.
Pangeran Kumara meladeni dengan santai serangan Putri Faradila yang sedang emosi. Bahkan beberapa kali tangan Putri Faradila ditangkap dan berpura-pura ingin memeluknya.
Putri Faradila yang sedang terbawa emosi tidak mampu mengontrol dirinya. Serangan yang dilakukannya justru membuat dirinya gampang dikalahkan. Bahkan, saat melakukan serangan membabi buta membuat dirinya terpeleset dan akan terjatuh dalam sebuah kolam dengan ukuran 4 kali 4 meter sedalam 2 meter.
Saat pasrah dengan keadaan, tiba-tiba tubuhnya sudah berada dalam pelukan seorang pria. Begitu menyadari tubuhnya dibawa Pangeran Kumara, Putri Faradila pun terdiam dan pura-pura pingsan.
Saat menikmati enaknya dipeluk Pangeran Kumara, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Putri Faradila yang sedang bermimpi indah pun terbangun. Mimpi dipeluk seseorang laki-laki pun buyar.
Di luar, matahari sudah menyinari bumi. Suara hiruk pikuk orang kerja sudah mulai terdengar.
"Tuan Putri," tiba-tiba terdengar suara dayang-dayang memanggil.
"Bangun, Tuan Putri. Ibunda ratu menunggu Tuan Putri," ujarnya pelan.
"Ya, suruh tunggu sebentar. Saya mau mandi dulu," jawab Putri Faradila dari dalam kamar tidurnya.
"Baik, Tuan Putri," sahut dayang-dayang sambil melangkah pergi.
Putri Faradila pun bangun. Sambil duduk di tepi ranjang dia mengingat mimpinya. Dia pun tersenyum sendiri dan masih memikirkan kebenaran mimpinya.
"Apa mungkin Pangeran Kumara? Ah tidak," gumamnya, seraya bangkit dan menuju pintu.
Setelah itu, dia pergi ke kamar mandi. Dia kemudian membersihkan tubuhnya setelah tidak mandi selama dua hari.
Selesai mandi dan berpakaian rapi serta sembahyang di pura, Putri Faradila pun menghadap Putri Ambarwati yang sudah menunggu di balairung istana.
"Duduklah," perintah Putri Ambarwati setelah Putri Faradila sampai.
"Hamba ibunda," ujarnya sambil menyembah dan bangkit untuk duduk di samping kursi yang ada di dekat ibunya.
"Kemana kamu kemarin? Ibu cemas dengan keselamatanmu," tanya Putri Ambarwati lembut.
"Hamba ke Kerajaan Sari Gangga," jawab Putri Faradila.
"Kerajaan Sari Gangga? Ngapain kamu ke sana?" tanya Putri Ambarwati seolah tak percaya.
"Sekadar jalan-jalan saja Ibunda. Kebetulan kemarin ada acara ritual suci di lokasi Mata Air Sari Gangga," jawabnya pendek.
"Ini hamba bawa air suci buat ibunda," tambah Putri Faradila sambil menyodorkan kendi berisi air pemberian Pangeran Kumara.
"Dila, Dila.. Untung kamu tak apa-apa dan tak dikenal orang Sari Gangga. Ibu khawatir, kalau kamu dikenal sama mereka, kamu akan diapa-apain," ujar ibunya khawatir.
"Tapi Dila tak apa-apa. Dila sampai rumah dengan selamat," kata Putri Faradila membela diri.
"Syukurlah," jawab Putri Ambarwati terharu.
"Tapi nanda pikir, mereka sudah tahu siapa nanda Tapi mereka membiarkanku pergi," tutur Putri Faradila.
"Lho, kok bisa?" tanya ibunya heran.
"Sebenarnya, nanda ketemu orang Sari Gangga dalam perjalanan dari Kopang ke Sari Gangga bernama Dabok. Sekilas, perawakan Dabok seperti Pangeran Kumara. Meski dia sempat curiga saat menginap di salah satu rumah penduduk, dia tak berbuat senonoh pada nanda," tambahnya.
"Bagaimana kamu bisa curiga, Dabok itu Pangeran Kumara?" tanya ibunya balik.
"Ada beberapa bagian tubuh yang tidak ditutupi Dabok atau siapa namanya si Kumara yang sama. Tapi saya diam saja," jawabnya. "Malahan..." ujarnya terputus.
"Malahan kenapa?" tanya Sang ratu penasaran.
"Tadi malam nanda mimpi ketemu Pangeran Kumara dan hamba sempat dipeluknya saat berusaha menolong nanda yang akan jatuh di sebuah lubang," jawabnya dengan nada malu.
"Dila Dila.... Kamu jangan jatuh cinta pada Pangeran Kumara. Dia itu musuh kita, dia telah membunuh ayahmu?"
"Lha, kan dulu ayah juga telah membunuh ayahnya, sehingga dia balas dendam," protes Putri Faradila. "Masak kita harus terus saling bunuh? Terus semua anak cucunya begitu terus. Apa ibunda mau seperti itu?" tanyanya balik.
"Ibu tak mau seperti itu. Tapi apa kata rakyat, jika pembunuh ayahnya justru menikahi anaknya," ujar Ambarwati beralasan.
"Siapa yang mau menikah sama dia? Ibu, kita semua inginkan kedamaian. Jangan ada lagi saling bunuh membunuh hanya karena persoalan sepele. Apalagi kita ini kerajaan kecil," kata Putri Faradila membela diri.
"Kita memang kerajaan kecil. Kita ingin hidup damai dan jauh dari gangguan. Tapi, ibu harap, kamu jangan jatuh cinta pada Pangeran Kumara," ujar Ambarwati kembali memperingatkan anaknya.
"Nanti kita lihat bunda. Mudah-mudahan nanda tidak tertarik pada Pangeran Kumara," ujarnya sambil mendesah dan pamit pada ibunya.
Setelah itu, sambil menuntun kuda kesayangannya Putri Faradila pergi menyusuri alam pedesaan. Di sepanjang jalan yang dilalui, warga desa yang bertemu dengannya menunduk dan menyembah. Putri Faradilla mencoba melihat realita kehidupan masyarakat yang masih membutuhkan perhatian pemerintah kerajaan. (BERSAMBUNG)
0 komentar:
Post a Comment