Salah
satu tarian yang belakangan semakin jarang dipertontonkan adalah Gegeruk
Tandak. Tarian ini merupakan kesenian tradisional asal Kabupaten Lombok Utara.
Ini dianggap perlu dilestarikan sebab menjadi salah satu warisan budaya asal
NTB.
Pada
tahun 2016 lalu, pemerintah telah menetapkan puluhan warisan budaya tak benda
dari berbagai daerah. Tarian Gegeruk Tandak yang merupakan warisan
budaya masyarakat Lombok menjadi salah satunya.
“Sekarang
memang jarang ada yang mau menarikan tarian tradisional. Namun demikian kita
tetap berusaha untuk mengajarkan kepada anak-anak kita akan pentingnya
melestarikan budaya leluhur kita,” kata penari asal Lombok Utara Ismail, di
Mataram, Selasa (20/3/2018).
Gegeruk
tandak merupakan yaitu tarian kesenian tradisional yang
diperkirakan ada sejak abad 16 silam. Konon, tarian ini dilakukan
oleh masyarakat adat Bayan Beleq untuk mengusir binatang yang akan menggangu
tanaman para petani. Pada zaman dulu salah satu penghulu alim (tokoh
agama) dapat menyamar menjadi salah satu binatang yang menyerupai Mayung
Puteq (menjangan putih). Setelah penyamaran dilakukan Mayung
Puteq tersebut mengumpulkan semua binatang buas yang akan merusak tanaman
masyarakat.
Setelah
itu, dilakukan begundem (musyawarah) yang diiringi dengan melakukan
sebuah tarian (gegeruk). Berkat kesaktian yang dimiliki penghulu alim
yang sedang melakukan penyamaran, semua binatang buas dapat dipengaruhi.
Sehingga niat untuk merusak tanaman atau mengganggu manusia pun hilang.
Gegeruk
Tandak ini biasa dilakukan pada acara atau ritual adat tertentu seperti, begawe
beleq, begawe Alif, memayas dan nyunatang (khitanan). Bisa pula dilakukan
pada saat bercocok tanam pare oma atau pare rau (padi bulu)
yang dilakukan pada proses penanaman dan diperagakan dengan berbalas pantun.
“Ini
adalah warisan budaya kita yang harus kita jaga. Jangan sampai perkembangan
zaman ini membuat kita menjadi lupa tentang kewajiban kita melestarikan budaya
yang sudah diwariskan turun temurun,” ujarnya.
Kesenian
tradisional Gegeruk Tandak dimainkan oleh 13 orang yang menari
membentuk formasi barisan memanjang atau lingkaran. Dimana semuanya menari dan
melawas atau menembang, hingga saling berbalas pantun. Mereka tidak menggunakan
alat musik pengiring. Musik pengiring hanya bunyi-bunyian yang ke luar dari
bibir masing-masing. Tarian tersebut merupakan suatu gabungan ekspresi
seni sastra, seni suara dan seni tari yang merupakan hasil olah pikir dan rasa.
Dalam kesenian tersebut, satu orang berperan sebagai oncek yaitu orang yang
dipercaya sebagai penyamaran penghulu alim yang berwujud sebagai mayung
puteq. Sedangkan 12 orang penari lainnya hanya berperan sebagai penari
pengiring semata. (Linggauni/Suara NTB)