|
Tas Ketak Raisa buatan warga Dusun Peresak Timur Desa Karang Bayan Lingsar Lombok Barat (dokumentasi Uul) |
BERAWAL dari sebuah unggahan artis nasional, Raisa
Andriana, mengenakan sebuah tas anyaman ketak
beberapa bulan lalu, pamor tas ketak berbentuk bulat itu naik ke
permukaan. Pesanan mulai berdatangan pada para perajin ketak, karena keinginan masyarakat
untuk memiliki tas yang sekarang familiar disebut ‘tas Raisa’ itu.
Seperti yang dialami Awidi, perajin ketak sekaligus
pemilik UD Nusa Indah di Dusun Peresak Timur, Desa Karang Bayan, Lingsar yang setiap
harinya selalu kebanjiran pesanan tas Raisa ini.
Di rumah sekaligus bengkel kerjanya, tampak para
pekerja membuat tas ketak ini dengan membagi tugas, mulai menganyam, mengoven,
sampai mempercantik tampilan akhir tas sebelum sampai ke tangan konsumen. “Tas
Raisa ini memang sekarang sedang jadi tren sejak 2 tahun belakangan. Ini trend
yang paling lama, tanpa jeda,” terang Widi, panggilan akrabnya, saat ditemui di
rumahnya, Kamis (29/3/2018).
Namun, diakuinya, tren ini semakin menjadi
setelah digunakan Raisa dan efeknya meluas kepada masyarakat luas. “Sekarang perajin ketak
semuanya sedang kebanjiran pesanan tas ini, mulai perajin di Lombok Tengah dan
Lombok Barat,” jelasnya.
Di Lombok Barat sendiri, ada 2 desa yang dikenal
sebagai sentra kerajinan ketak yaitu Karang Bayan dan Batu Mekar. Widi yang
sudah memulai kerajinan ketak sejak tahun 1995 ini menerangkan jika ketak ini
menjadi tulang punggung pencaharian masyarakat kedua desa tersebut, selain
hasil bumi. “Total saya memiliki anggota perajin mencapai 341 orang se-Kecamatan Lingsar, yang 15 di antaranya adalah pengepul,”
sebut pria 47 tahun ini.
|
Proses pembuatan tas ketak di Desa Karang Bayan Lingsar Lombok Barat (dokumentasi Uul) |
Ketak yang menjadi bahan baku utama pembuatan tas
ketak didapat Widi dari berbagai tempat. Mulai dari hasil hutan sekitar
desanya, bahkan didatangkan dari Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan berbagai
wilayah lainnya di Indonesia. “Dalam sebulan, saya bisa menghabiskan sampai
1.000 ikat ketak yang 1 ikat isinya 100 batang dengan harga Rp 25-50 ribu untuk
ketak yang berkualitas terbaik,” akunya.
Kenaikan harga bahan baku, imbuhnya, disebabkan
kenaikan pesanan yang berimbas pada harga bahan baku. Proses pembuatan tas
ketak sendiri dimulai dengan membagi batang ketak menjadi 6 bagian yang
kemudian ditipiskan menggunakan serut agar bisa dianyam.
“Setelah itu, baru kemudian dianyam sesuai ukuran tas
yang diinginkan, biasanya ukuran yang paling umum dibuat diameter 20 cm,” papar
Widi.
Dalam sehari, perajin bisa membuat 5 buah tas
berukuran kecil, sedangkan tas berukuran besar bisa menghabiskan waktu sampai 1
minggu lamanya. “Itu tergantung dari ketekunan perajinnya juga, kalau dia tekun
cepat jadinya,” ujarnya.
Untuk produksi tas Raisa, dirinya bisa memproduksi
sampai 300 tas/harinya yang setiap harinya selalu diburu oleh para konsumen
setianya. Ia menambahkan, ia bisa mengirim sampai 1.000 buah tas Raisa setiap
minggunya ke Bali.
Harga untuk tas Raisa ini termasuk terjangkau berkisar
Rp 150 – 250 ribu/buah tergantung ukuran tas. “Dalam sehari, alhamdulillah saya
bisa jual sampai Rp 15 – 20 juta untuk para reseller yang memang sudah banyak,”
kata Widi.
Pasarannya pun diakuinya sudah merambah pasar nasional
bahkan luar negeri. “Dulu saat bom Bali, usaha saya sempat mati suri. Saat saya
menghidupkan kembali, saya mencoba memasarkan melalui website dan dapat pesanan
dari luar negeri yang bisa berlangsung sampai sekarang,” terangnya. Dibantu
oleh anaknya, dirinya sekarang sudah memiliki langganan tetap terutama untuk
pasar Jepang.
“Di Jepang, kami sudah memiliki pembeli tetap yang
dalam setahun bisa pesan sampai 3 kali. Bahkan anak saya berencana untuk
berkunjung ke Jepang dalam waktu dekat,” kata Widi.
Secara nasional, ia mengaku sudah banyak memiliki reseller yang tersebar di berbagai
daerah yang memang mengambil barang di dirinya. Pembeli dari luar negeri,
imbuhnya, lebih menyukai warna-warna kerajinan ketak yang natural sesuai warna
aslinya. Tidak seperti pembeli lokal yang menyukai warna-warna cerah yang
menarik perhatian. Makanya tas Raisa ini tersedia dalam berbagai warna sesuai
pesanan dari konsumen. “Warna itu diperoleh dari proses pewarnaan yang dilakukan
dalam tahap akhir,” ujar Widi.
Saat ditanyakan, lebih menguntungkan mana penjualan
secara lokal atau ekspor, dirinya mengaku lebih untung yang ekspor.
“Perbandingannya memang 75 : 25 untuk pasaran luar negeri, tetapi harga kan
lebih tinggi kesana,” jelasnya.
Selain tas ketak, Widi juga memproduksi berbagai
kerajinan ketak lainnya, mulai dari tatakan gelas sampai hiasan dekorasi
interior rumah. “Harganya mulai dari Rp 5 ribu untuk tatakan gelas itu, sampai
Rp 1 jutaan untuk
keranjang laundry dan bola dekorasi interior rumah ukuran besar,” terangnya.
Ke depannya, ia berharap usaha ketak ini bisa semakin
berkembang terutama saat pariwisata NTB yang sekarang sedang berkembang.
“Keinginan terbesar saya memiliki galeri sendiri yang langsung nyambung dengan
bengkel kerjanya, agar pengunjung yang datang bisa melihat langsung prosesnya,”
tambahnya. (uul Efriyanti Prayoba/Ekbis NTB)