Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi saat memberikan sambutan pada pembekalan hukum dari Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto, Selasa (11/8/2015) malam. |
Penegakan hukum yang
adil dan pemahaman hukum secara holistik oleh para penyelenggara negara
merupakan hal pokok dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Pemahaman hukum akan membuat penyelenggara negara, termasuk pemerintah daerah
di dalamnya dapat bekerja dengan maksimal dan berinovasi tanpa takut terkena
jerat hukum.
Hal tersebut dijelaskan
oleh Gubernur NTB, Dr. TGH. M Zainul Majdi saat membuka acara pembekalan hukum
dan diaog bersama dengan Wakil Jaksa Agung RI, Selasa (11/08/2015) di Gedung
Graha Bhakti Praja. “Pembekalan Materi Hukum merupakan salah satu
bentuk komitmen Provinsi NTB untuk mewujudkan kualitas tata kelola pemerintahan
(good governance) yang bertanggung
jawab. Oleh karena itu, Provinsi NTB mengundang pimpinan jaksa agung agar
memberikan pemahaman terhadap aspek hukum,”
Hadir pula dalam acara
Hj. Erica Zainul Majdi, Wakil Jaksa Agung (Wakajagung) RI, Dr. D. Andhi
Nirwanto beserta isteri, Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, Martono, SH, MH,
Sekretaris Daerah Provinsi NTB H. Muhammad Nur, SH, MH, Penjabat Bupati Lombok
Utara, Ashari,
SH, MH,
Penjabat Walikota Mataram, Dra. Putu Selly Andayani, M.Si, Wakil
Bupati Lombok Tengah H. Lalu Normal Suzana, dan Plt. Lombok Barat H.Fauzan
Khalid, S.Ag, M.Si,
Dalam sambutannya,
gubernur mengungkapkan mendukung penegakan hukum secara penuh, yaitu dengan
memahami sepenuhnya peraturan-peraturan hukum yang ada agar sebagai pemimpin
atau pelaksana pembangunan jangan sampai niatnya baik namun karena ada
ketidakpahaman dapat bermasalah terhadap hukum.
“Keadilan adalah hak
yang asasi dan nilai keadilan adalah pondasi. Oleh karena itu, tidak ada alasan
bagi siapapun untuk tidak mendukung sepenuh hati penegakan hukum di dalam
level-level tanggung jawab yang ada, “terang Gubernur yang akrab di sapa TGB
ini.
Hukum itu harus
menyasar kepada orang yang jahat bukan orang yang melakukan kesalahan tanpa
sengaja atau tanpa maksud jahat. Kalau ada yang salah mohon di beri bimbingan
agar kesalahan itu bisa diluruskan.
“Jika ada yang memiliki
indikasi kuat menyalahgunakan kewenangannya secara sengaja untuk kepentingan
dirinya atau memperoleh dana dengan cara yang tidak halal, maka harus di hukum dengan
seberat-beratnya,” lanjutnya.
Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto dan Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi pose bersama aparat penegak hukum di NTB di Graha Bhakti Praja Kantor Gubernur NTB Selasa (11/8/2015) malam. |
Dalam kesempatan yang
sama Dr. D. Andhi Nirwanto menjelaskan bahwa penjara di Belanda tidak sepenuh
penjara di Indonesia, karena pelaksanaan hukum di Belanda diselesaikan dengan
kebijakan integritas. Di sana pejabat pemerintah yang melanggar hukum tidak
diselesaikan dengan hukum pidana. Berbeda dengan Indonesia yang banyak perkara
kecil diselesaikan dengan pengadilan.
Oleh karena itu, penjara-penjara di
Indonesia kelebihan kapasitas. Padahal biaya operasional penjara cukup tinggi
ini menggunakan uang negara. “Dengan demikian, tren penegakan hukum ke depannya perlu dipertimbangkan untuk
ditinjau ulang dengan mengedepankan keadilan restorasi. Selama ini kita hanya
menggunakan keadilan retribusi, jadi menjebloskan orang ke penjara bisa menyelesaikan
masalah”, ujarnya.
Lebih lanjut, Ia
menerangkan undang-undang sebagai hukum tertulis memiliki keterbatasan, tidak
mampu mengatur secara rinci untuk mengatasi persoalan konkret dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Diskresi timbul karena hukum sebagai bagian dalam
kehidupan masyarakat sangat kompleks, tidak bisa mengatasi semua permasalahan
diatur dalam perundang-undangan secara detail. hukum bersifat statis karena
tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Seringkali hukum kalah cepat
dibandingkan penjahat.
Dalam tataran pemerintahan bisa dilakukan diskresi untuk
menyelesaikan persoalan yang bersifat penting, karena tidak di atur dalam
perundang-undangan atau ada stagnasi dalam pemerintahan. Syarat-syarat itu di
atur dalam pasal 24 undang-undang administrasi pemerintahan. “Pejabat
pemerintahan yang melakukan diskresi harus memenuhi syarat sesuai dengan tujuan
diskresi tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Kalau hal
ini dipahami insya allah tidak bakal
terjerat tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Mengakhiri dialognya,
Wakajagung RI menyampaikan ada kekhawatiran dalam melemahkan kerangka
pemberantasan korupsi. Dalam proses pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan
dua cara, yaitu penindakan dan pencegahan. Pemerintah terus berusaha untuk melakukan
pencegahan terhadap korupsi, yaitu dengan menerbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 2015
tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
“Tidak semua hal yang menimbulkan
kerugian uang negara dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Ketika ada hasil
temuan yang ada indikasi kerugian negara, tetapi dalam proses penyelidikan uang
tersebut dikembalikan kepada negara maka proses penyelidikan tersebut harus
dihentikan karena tidak memenuhi unsur-unsur penyelidikan yang merugikan
negara”, pungkasnya. (Humas NTB)
0 komentar:
Post a Comment