Be Your Inspiration

Wednesday, 14 August 2019

Kerajaan Pamatan dalam Babad Lombok

Naskah kuno Babad Lombok
Nama Samalas berasal dari nama Gunung Api yang ada dalam naskah Babad Lombok. Ditulis pada daun lontar sekitar abad ke – 18 dalam bahasa Jawa Madya. Pengalihaksaraan dilakukan Lalu Gde Suparman tahun 1994. Dari naskah ini kemudian ditelusuri jejak peradaban yang tertimbun sisa letusan Samalas tahun 1257.  

Kutipan tersebut berbunyi “Gunung Rinjani longsor, Gunung Samalas runtuh, banjir dan batu gemuruh, jatuh di Desa Pamatan, lalu hanyut rumah, lumpur rubuh. Terapung apung di lautan. Penduduknya banyak yang mati.

Jika dihubungkan dengan peradaban kuno, sejumlah temuan benda arkeologi di Desa Aik Berik, Desa Tanak Beak dan Ranjok, Kecamatan Batukliang Kabupaten Lombok Tengah, semakin menguatkan bahwa benda-benda tersebut merupakan peninggalan setelah letusan Gunung Samalas tahun 1257 silam.

"Gerabah yang ditemukan di sana sama dengan gerabah yang ditemukan di Gunung Piring Truwai, yang merupakan peninggalan prasejarah. Dari hasil kajian giloginya juga, bahwa lapisan tanahnya menunjukan bahwa itu sudah berusia 700 tahun lebih. Jadi kalau dihubungkan dengan letusan Samalas itu cocok," ujar Kasubag Museum pada Museum Provinsi NTB, Bunyamin kepada Suara NTB, Senin (12/8/2019).

Penemuan sejumlah artepak di Desa Aik Berik tersebut, semakin menguatkan tentang keberadaan sebuah Kerajaan Pamatan yang lenyap tertimbung oleh letusan Samalas. Temuan-temuan benda-benda artefak tersebut bisa menjadi petunjuk untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari keberadaan Kerajaan Pamatan.

Sebab, benda-benda yang ditemukan itu memiliki kemiripan dengan benda-benda kuno yang ada di Vietnam. Hal itu tentu bisa menjadi petunjuk bahwa sebelum letusan Samalas terjadi pernah hidup peradaban yang cukup maju di Lombok, yang sudah menjalin hubungan perdagangan dengan dunia luar.

"Temuan itu memang sama dengan benda-benda kebudayaan milik Vietnam, dan dari hasil penelitian orang Amerika. Itu artinya bahwa nenek moyang kita sudah berinteraksi dengan dunia luar ketika itu," jelasnya.

Hanya saja, temuan tersebut belum cukup untuk bisa sampai pada kesempulan terkait dengan keberadaan Kerajaan Pamatan. Sebab di naskah kuno Babad Lombok, juga disebutkan bahwa Pamatan bukan kerajaan, namun hanya sebuah desa.

"Kalau Pamatan ini memang disebutkan Desa Pamatan, di Babad Lombok itu  bukan kerajaan, dan itu ada tujuh bait yang diceritakan tentang Pamatan. Jumlah penduduk Pamatan yang disebutkan sampai 10 ribu di naskah itu kemungkinan bukan penduduk Desa Pamatan, tapi penduduk Lombok," jelasnya.

Pulau Lombok diyakini banyak menyimpan sejarah besar, namun belum bisa digali dengan maksimal. Keyakinan itu bisa dilihat dari ditetapkannya Gunung Rinjani sebagai Geopark Dunia. Namun penggalian sejarah tersebut masih terkendala dengan tidak memiliki balai Arkeologi sendiri yang bisa fokus melakukan penelitian.

"Museum geologi itu sangat penting, karena kita sudah punya geopark skala internasional. Sekarang kan masih dibawah Bali kita, sehingga kalau kita punya Balai Arkeologi sendiri, mungkin bisa lebih maksimal untuk melakukan penelitian sejarah. Karena kita sangat kaya dengan peninggalan kebudayaan," sebut Bunyamin.

Peninggalan-peninggalan kebudayaan milik Lombok yang sudah ditemukan saat ini terisimpan di berbagai tempat, ada yang di Balai Arkeologi Bali, Museum Geologi Nasional dan juga beberapa ada di Belanda. Jika dilakukan penelitian lebih dalam, maka diyakini akan bisa ditemukan sejarah yang lengkap tentang peradaban yang pernah hidup pra letusan Samalas.

"Sejarah Lombok ini kayak missing link. Prasasti kita belum ada, kebanyakan manuskrip kita itu setelah Islam. Nah pada abad sebelumnya belum pernah ada. Kita tidak pernah tahu apakah itu artefak - artefak kita dibawa ke Belanda atau tertimbun  oleh letusan Samalas itu belum kita tahu. Karena beberapa yang sudah ditemukan ini ada tersimpan di Museum Nasional, di Belanda dan juga yang baru-baru ditemukan," ujarnya.

"Sekarang yang ada ini sejarah Lombok itu berbeda-beda antar daerah. Karena tidak ada sumber yang pasti. Karena itulah perlu lembaga Arkeologi sendiri, untuk melakukan penelitian baik dari sisi geologi maupun arkeologi. Kan temuan-temuan yang sekarang ini, baru sebatas temuan masyarakat yang ditindaklanjuti, tapi upaya penelitian lebih dalam itu belum ada," pungkasnya. (Hiswandi/Suara NTB)
Share:

Letusan Gunung Samalas yang Mengubur Kerajaan Pamatan Lombok

Kepala Desa Tanak Beak Maknun menunjuk ke arah sisa galian tanah uruk yang diperkirakan di bawahnya tertimbun Kerajaan Pamatan.

Selama tiga dasawarsa peneliti belum bisa menjawab pertanyaan mengenai letusan hebat abad pertengahan. Aktivitas super kegunungapian yang membuat perubahan iklim drastis Eropa dan sebagian Asia pada tahun 1258. Sampai kemudian muncul teori Gunung Samalas. Benarkah letusan maha dahsyat ini mengubur Kerajaan Pamatan?

Ahli geologi mengupas Samalas dalam Geomagz Volume 6 Nomor 1 terbitan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI 2016. Pemerhati Kebumian, Atep Kurnia menjelaskan ahli akhirnya mengurucutkan bahwa misteri letusan 1258 ditengarai akibat aktivitas satu gunung api di Indonesia.

Hal itu merujuk pada temuan 15 ahli gunung api dunia yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) Vol 110 No 42. Ditulis dengan tajuk “Source of the great A.D 1257 mistery eruption unveiled, Samalas volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia.”

Ahli dari Indonesia yang terlibat yakni Geolog pada Badan Geologi Bandung Indyo Pratomo, akademisi Geografi Universitas Gadjah Mada Danang Sri Hadmoko, dan mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono.

Atep menyebut tulisan itu menyatakan bahwa sumber letusan misterius abad pertengahan itu berasal dari kompleks Gunung Api Rinjani, Indonesia. Penanggalan 14C mengindikasikan bahwa klimaks letusan yang membentuk kaldera itu terjadi pada abad ke-13 (Akira Takada, 2003).

Sementara Penelitian Rinjani Franck Lavigne dkk menyimpulkan bahwa letusan gunung api di sekitar Kompleks Rinjani ini lebih besar dibandingkan letusan Gunung Tambora 1815. Lavigne, tulis Atep, menganalisis data stratigrafi dan geomorfologi, vulkanologi fisik, penanggalan radiokarbon, geokimia tefra, dan kronik.

Lavigne melanjutkan bahwa letusan itu melepaskan 40 kilometer kubik abu setinggi 43 kilometer. Total magma yang dilepaskan sebesar 40,2 ± 3 km3 Dense Rock Equvalent (DRE) atau kesetaraan volume batuan yang dierupsikan. Letusan itu setara magnitudo 7.

Lavigne menemukan perbandingan gelas yang ditemukan di inti es dengan material hasil letusan tahun 1257 yang menunjukkan kemiripan. Hal itu menjadi rujukan yang memperkuat hubungan letusan tahun 1257. Letusan itu menjadi yang terbesar selama periode holosen hingga menyebabkan anomali iklim pada tahun 1258 utamanya di belahan utara bumi.

Atep melanjutkan hasil temuannya. Bahwa Lavigne mencari jawaban mengenai literatur tertulis dari sumber lokal. Lavigne memutuskan untuk mencarinya di Perpustakaan Leiden, Belanda dan Perpustakaan KITLV, yang menyediakan dokumentasi Indonesia di masa lalu.

Pencairan Lavigne, masih tulis Atep, menemunkan naskah Babad Lombok. Babad Lombok menurut Sasak and Javanese Literature (Morisson, 1999) memilki beberapa versi. Perpustakaan Nasional memberi kode Bd Codex 395.

Naskah Babad Lombok yang dikutip Lavigne berisi naskah tambo sejarah Lombok sejak Nabi Adam hingga kondisi politik Lombok pada sekitar periode lahirnya naskah babad yakni abad ke-18, tulis Atep.



Naskah itu ditranslliterasi dan ditranskripsi Lalu Wacana (1979). Lavigne menemukan Samalas dalam Babad Lombok tersebut. Nama Samalas merujuk pada gunung api yang berbarengan meletusnya dengan Rinjani, sesuai kutipan naskah tersebut.

Kutipan itu berbunyi, seperti disadur dari Atep, “Gunung Renjani kularat, miwah gunung samalas rakrat, balabur watu gumuruh, tibeng Desa Pamatan, yata kanyut bale haling parubuh, kurambaning segara, wong ngipun halong kang mati.” Artinya, berdasarkan Lalu Wacana, “Gunung Rinjani longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah-rumah roboh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.

Atep melanjutkan, bahwa Indyo Pratomo (2013) menyatakan temuan Gunung Samalas berimplikasi terhadap disiplin kegunungapian dan mitigasi bencana, serta memberikan peluang penelitian baru di bidang arkeologi hingga sejarah nusantara pada masa lalu.  

Jejak Peradaban Sisa Samalas   

Hingga akhir abad ke – 20, sejarah pembentukan Kaldera Rinjani terus dalam penelitian oleh ilmuwan  ternama seperti Heriyadi (2003), Asnawir (2004) dan Frank Lavigne (2013). Kesimpulan  riset bahwa kaldera Rinjani terbentuk abad ke 13, sementara berhasil mengungkap misteri letusan pada abad itu bersumber dari Gunungapi Samalas tahun 1957. Bagaimana upaya mengungkap peradaban kuno sekitar 700 tahun lalu itu di Lombok?

Balai Arkeologi Bali wilayah kerja Bali, NTB, dan NTT melakukan penelitian awal Jejak Budaya di Dusun Ranjok, Desa Aik Berik, dan Dusun Tanak Bengan Desa Tanak Beak, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, pada tanggal 6 sampai 8 Juni 2018 lalu. Dari simpulan penelitian tersebut, temuan-temuan arkeologis tersebut, ada sisa-sisa kebudayaan masa lalu.
 
Kepala Desa Tanak Beak Maknun dan pengurus Pokja Samalas foto di atas permukaan tanah bekas galian C. Di bawah  tanah itu diduga masih tertimbun perdabatan kuno


Kepala Balai Arkeologi Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, NTT, Drs. I Gusti Made Suarbhawa, kepada
Suara NTB, menyampaikan, pihaknya sudah melakukan penelitian awal pada tahun 2018 lalu. Laporan penelitian itu merupakan laporan kegiatan insiden berdasarkan laporan masyarakat dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB tentang adanya temuan di lokasi penambangan pasir di Dusun Ranjok, Kecamatan Batukliang Utara.

Selain dari Balai Arkeologi Bali, pada kegiatan itu juga terlibat tim dari Balai Geologi Bandung untuk mengidentifikasi masalah terkait letusan gunung api. Tim dari Balai Arkeologi Bali terdiri atas Drs. I Gusti Made Suarbhawa, Drs. I Nyoman Sunarya, dan I Wayan Sumerata, S.S.



Kegiatan penelitian diawali dengan melakukan survei di lokasi penelitian, pada areal penambangan tanah uruk dan pasir yang luasnya kurang lebih 50 are Dusun Ranjok. Pada awalnya pada 1 Juni 2018 masyarakat Dusun Ranjok menemukan benda-benda kuno di sebidang tanah. Saat melakukan penambangan tanah uruk dengan cara tradisional di kedalaman 35 meter dari permukaan tanah awal, salah seorang buruh tambang menemukan benda-benda yang diduga sisa aktivitas manusia masa lalu.

Setelah dilakukan penegamatan terhadap tanah yang sudah digali, tampak singkapan dengan beberapa lapisan tanah, tetapi tidak begitu jelas karena kondisi tanah yang lembab dan terdapat aliran air di bawahnya. Meski pun demikian, masih dapat diidentifikasi beberapa lapisan tanah yang merupakan debu vulkanik bercampur fumis.

Gusti Made menjelaskan, tim juga menindaklanjuti informasi tentang lokasi penambangan yang terdapat di Desa Tanak Beak, secara administratif masih termasuk wilayah Batukliang Utara. Jarak antara penambangan di Dusun Ranjok dengan lokasi di Dusun Tanak Bengan sekitar 5 kilometer. Di lokasi ini juga ditemukan sebaran fragmen gerabah dari berbagai varian bentuk, keramik, dan benda logam.

“Oleh karena indikasi permukaan sangat banyak, tim hanya melakukan dokumentasi pada tempat-tempat yang paling banyak sebaran temuannya. Beberapa temuan kemudian diambil untuk dijadikan sampel penelitian. Belum diketahui dari mana asal temuan ini. Apakah tertransfortasi dari tempat lain akibat letusan gunung api, ataukah di tempat ini dulunya sebuah pemukiman,” jelas Gusti Made.

Tim menyimpulkan bahwa temuan-temuan arkeologis di Dusun Ranjok, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang, merupakan sisa-sisa kebudayaan masa lalu. Dibuktikan oleh temuan gerabah, keramik, beras, dan tulang. Temuan tersebut dianggap dapat mewakili  bahwa di lokasi itu pernah ada aktivitas masyarakat masa lalu. “Sedangkan belum ada temuan fitur lain, temuan lepasnya belum mampu menggambarkan pola pemukiman di lokasi ini,” ujarnya.

Gusti Made menjelaskan, sebab-sebab terkuburnya permukiman ini diduga akibat bencana alam letusan gunung api, karena semua artefak yang ditemukan berada di bawah lapisan abu vulkanik dan piroklastik gunung api. “Untuk melacak hal tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut yang komprehensif,” katanya.

Pihaknya menyarankan agar Pemerintah Daerah Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Tengah segera melakukan upaya perlindungan dan konservasi di Dusun Tanak Bengan, Desa Tanak Beak, dan Dusun Ranjol, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara.

Sebenarnya, akhir tahun 2018, Balai Arkeologi merencanakan penelitian lanjutan, akan tetapi karena bencana alam gempa Lombok dengan berbagai dampaknya, penelitian ditunda dan sampai saat ini belum ada penelitian lanjutan. “Kami juga sangat berkepentingan agar tahun 2020 bisa terlaksana,” pungkasnya. (Wahyu Widiantoro/Atanasius Roni Fernandes Suara NTB)

Share:

Monday, 12 August 2019

Sulitnya Mendapat Penganan Tradisional Khas Lombok di Pasar Sendiri

Cerorot, makanan khas Lombok yang sulit ditemukan di pasaran. Lebih mudah membeli pizza atau burger, daripada beli cerorot. 
Beragam jenis penganan modern membanjiri pasar. Umumnya, penganan yang dibuat dalam skala industri. Pelan-pelan, penganan lokal ditinggalkan. Padahal, menjaga penganan lokal adalah upaya mempertahankan kearifan lokal tak tergerus. Seperti apa upaya kiat dan upaya pengusaha lokal dalam mempertahankan eksistensi penganan lokal agar tidak tergerus zaman.

Mencari penganan lokal untuk dikonsumsi atau dijadikan oleh-oleh masih sulit. Hanya ada beberapa toko atau pedagang di pasar yang menjual penganan lokal, seperti kelepon kecerit, jaje tujak, renggi, cerorot, nagasari, opak-opak, poteng dan lainnya. Beda halnya, kalau kita ingin membeli penganan modern atau luar daerah banyak ditemukan di toko-toko roti hingga pedagang kecil di masyarakat. 

Harus diakui masih sedikit yang mempertahankan tetap memproduksi penganan tradisional ini. Regenerasi produsen panganan lokal mengkhawatirkan. Mereka tersaing oleh produk penganan modern yang justru ditengarai banyak memicu beragam jenis penyakit, karena dibuat dengan beragam campuran bahan-bahan pewarna dan pemanis modern.

Sebaliknya, pangan lokal yang dibuat masih dengan cara-cara tradisional justru lebih terjamin risiko kesehatannya. Sayangnya, modernisasi membuat panganan lokal makin dikucilkan.

Adalah Industri Kecil Menengah (IKM) Sasak Maiq di Senteluk, Lombok Barat adalah salah satu produsen produk olahan pangan lokal. Produksinya cukup beragam, mulai dari tortilla atau keripik rumput laut, terasi Lombok, dodol rumput laut, kopi rumput laut, abon ikan hingga rengginang rumput laut. Semua bahan bakunya diambil dari petani lokal.

Baiq Siti Suryani selaku pengelola Sasak Maiq menuturkan, produk olahan pangan lokal semakin beragam. Namun belum semua jajanan yang menjadi warisan leluhur masyarakat Lombok dibuat sedemikian rupa untuk selanjutnya dijual ke wisatawan. Yang diproduksi selama ini adalah produk tahan lama yang berbahan baku rumput laut, ubi ungu, singkong dan abon ikan.
Cerorot dan makanan tradisional Lombok lainnya saat dipamerkan.
“ Kami juga membuat rengginang rumput laut, rengginang ubi ungu dan rengginang singkong. Respons pembeli bagus, terlebih kami tidak menggunakan pewarna makanan, kami hanya menggunakan pewarna alami,” kata Baiq Siti Suryani pada Ekbis NTB di Lapangan Bumi Gora Kantor Gubernur NTB, Jumat (9/8/2019).

Untuk menambah variasi produk olahan pangan lokal, Sasak Maiq juga mengolah jus jagung dengan aneka variasi, sehingga konsumen bisa memilih sesuai dengan selera. Variasi ini bagian dari inovasi agar mampu bertahan pascagempa tahun 2018 lalu. Karena pascagempa, nyaris seluruh dunia usaha terdampak, tak terkecuali IKM yang bergerak di bidang produksi makanan.

Menurutnya, satu tahun pascagempa usahanya belum benar-benar pulih. Hal ini tercermin dari perolehan omzet usaha. Sebelum gempa kata Suryani, omzet bulanan yang bisa diperoleh sekitar Rp 150 juta per bulan. Namun saat ini, omzet yang diperoleh sekitar Rp 60 juta per bulan. Ia optimis seiring dengan program pemulihan pasca bencana yang masih terus dilakukan serta geliat pariwisata NTB, usaha IKM di Lombok akan membaik di masa yang akan datang.

“ Dulu sebelum gempa bisa mencapai 150 juta, sekarang kami rasakan hanya sekitar 50, atau 60 juta. Namun sejak Juli kemarin mulai ada sedikit perubahan,” terangnya. 

Semua produk yang dihasilkan oleh Sasak Maiq dijual di sejumlah gerai modern, toko roti, lingkungan sekolah dan tersedia di situs penjualan berbasis daring. Penjualan lewat daring cukup diandalkan, karena banyak konsumen yang melakukan pemesanan melalui situs.

Ia mengatakan, agar IKM dapat berkembang dengan baik, maka semua syarat-syarat untuk berkembang harus terpenuhi, seperti adanya label halal MUI, PIRT, keterangan kedaluwarsa dan lainnya. “ Itu semua bisa diurus. Insya Allah tidak sulit jika ada kemauan, apalagi pemerintah daerah memberikan kemudahan untuk pengurusan itu,” terangnya.

Penganan modern menjadi penguasa pasar. Sementara penganan tradisional terancam punah. Seharusnya re-branding dilakukan.

Penegasan ini disampaikan Ketua Indonesian Chef Association (ICA) atau Asosiasi Chef Indonesia NTB, Anton Sugiono. Penganan tradisional ( produk lama), jika tak ditampilkan dengan bagus bisa jadi hanya tinggal menunggu waktu kepunahannya.  

Penganan tradisional menurutnya, belum berani tampil mengikuti zaman. Seharusnya, ia telah ditampilkan dengan kemasan yang bagus, sehingga menarik minat konsumen. Anton menyebut contoh wajik, dodol yang merupakanan penganan tradisional. Sampai saat ini, belum dikemas menarik, mengikuti selera zaman. Penganan ini hanya dibuat biasa-biasa saja. Jika tetap seperti ini, akan ditinggalkan.

Beda jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Terutama daerah yang sadar dengan potensi pariwisatanya. Pangan tradisionalnya adalah kearifan lokal yang dijaga kelestarian. Pangan tradisional ditampilkan dengan kemasan yang sangat menarik. Tak heran kemudian pangan tradisionalnya menjadi di toko oleh-oleh.

Dengan perkembangan zaman saat ini, Anton mengatakan konsumen sangat mengerti tentang kualitas dan standarisasi. Pangan lokal tidak dilihat sekilas. Tetapi dinilai dari proses pembuatannya. Legalitas penjualannya juga diperhatikan. Misalnya sudah ada tidaknya izin dari Dinas Kesehatan dan BPOM. “Konsumen sudah mengerti standarisasi. Sanitasi, dan pengolahannya. Sehingga faktor ini tidak bisa diabaikan,” jelas Anton.

Kelepon, salah satu penganan tradisional yang masih memiliki daya tarik. Kendati demikian, kelepon ini masih disajikan seperti yang biasa. Menurutnya, produsen harus berani membuatnya tampil lebih menarik.

ICA NTB juga turut melestarikan penganan tradisional ini. Apalagi komitmen yang tertuang dalam AD/ART ICA sudah jelas, agar penganan lokal/tradisional harus terus dipertahankan. Kelepon salah satu contohnya. Biasanya disajikan sebagai menu-menu tradisional dalam setiap kegiatan di hotel. Kelepon juga tidak sekadar disajikan, seperti model penyajian para pedagang.  ‘’Untuk meningkatkan daya tariknya, kelepon ini bisa disusun dalam bentuk boneka. Atau sejenisnya. Tidak sekadar dijejer di atas wadah, seperti yang biasa kita lihat,’’ imbuhnya.

Untuk melestarikan penganan tradisional ini, Chef Hotel Puri Indah Mataram ini mengatakan, ada ketentuan di hotel untuk menyajikan pangan lokal. Misalnya, di Puri Indah, setiap sarapan disiapkan sajian tigapo, getuk, juga cerorot. Demikian juga pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di hotel. Diatur komposisi menu sajian. 1 pangan tradisional lokal, 1 pangan modern.

Anton mengatakan, seluruh anggota ICA sepakat untuk membantu pemerintah melestarikan pangan lokal. Salah satunya dengan cara mengkampanyekan pangan lokal dalam setiap sajian hotel. Tapi pemerintah juga harus aktif. Sarannya, agar pangan lokal tetap lestari. Para produsen harus diberikan pelatihan. cara membuat pangan higienis, penggunaan alat dan bahan, serta pengemasannya.(Ekbis NTB)
Share:

Serbat dan Gula Aren Khas Desa Langko Rambah Pasar Luar Negeri

Ibu Negara Hj. Iriana Joko Widodo didampingi Ketua TP PKK NTB Hj. Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah saat menunjukkan produk Serbat, minuman khas Lombok dalam sebuah pameran di Jakarta beberapa waktu lalu.

Serbat, minuman yang tak asing di telinga masyarakat Lombok umumnya. Dulu minuman ini dihidangkan ketika para petani turun ngaro atau membajak sawah untuk persiapan bercocok tanam. Kini minuman tradisional khas Lombok ini pun berhasil menembus Istana Negara dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo pun sudah mencoba minuman ini.

Minuman dengan campuran jahe merah dan gula aren ini dibuat oleh petani untuk menghangatkan tubuh ketika kedinginan akibat bermandi lumpur saat membajak sawah.  Minuman serbat ini juga kerap dihidangkan ketika acara-acara kematian dan peringatan hari besar. Kini, produk lokal ini agak jarang ditemukan dan dikonsumasi masyarakat umum.

Namun melalui tangan terampil, Abdul Hadi pelaku usaha olahan aren Longseran Barat Selatan (LBS) Mandiri Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat (Lobar) ini ingin mengangkat serbat sebagai penganan lokal yang sehat dan tak kalah dengan produk modern.

Bahkan ia ingin mengubah mindset masyarakat bahwa serbat bisa dijadikan mata pencaharian yang potensial. Serbat ini pun diolah menjadi beragam olahan, mulai dari kopi jahe serbat hingga es krim berbahan baku gula aren. Hasil olahan gula aren dan serbat yang dibuat Abdul Hadi ini pun telah masuk ke ritel-ritel modern bahkan hingga ke luar negeri.

Diwawancarai Ekbis NTB, Sabtu (10/8/2019), mantan TKI ini menceritakan awal mula dirinya membuat serbat tahun 2016 lalu. Idenya membuat serbat muncul karena terdorong dari rasa prihatin akibat gempuran produk penganan modern dari luar yang masuk ke daerah Lombok, termasuk minuman dari bahan jahe. Sementara ia berpikir, daerah ini memiliki bahan baku berlimpah dan jauh lebih original (asli). Dibandingkan produk luar ini, belum diketahui tingkat keasliannya apakah ada caumpuran bahan kimia atau tidak.

Di desanya sendiri banyak warga membudidayakan jahe. Ia pun mencoba bertanya-tanya ke para orang tua, apa minuman khas Lombok yang bisa dibuat untuk menyaingi minuman modern tersebut. Dari keterangan para orang tua tersebut, disebutlah serbat sebagai salah satu minuman khas lokal yang dibuat dari campuran jahe dan gula aren.

‘’Berjalannya waktu, saya coba buat. Terus-menerus mencoba sampai tiga bulan seperti apa komposisi dan rasanya, bisa diterima ndak oleh konsumen? Saya membuat hanya berbekal bertanya-tanya ke orang tua,’’ terang dia.
Abdul Hadi bersama Gubernur NTB H. Zulkieflimansyah saat acara Jumpa Bang Zul dan Ummi Rohmi tahun 2018.
Awal mula mencoba membuat serbat, ia menggunakan modal sendiri dengan peralatan seadanya. Ia membuat serbat dari bahan jahe merah, sere, kayu manis. Lambat laun ia terus berupaya mencoba membuat serbat dengan varian berbeda seperti bubuk. Itupun masih dengan cara tradisional. Ia membuat serbuk serbat agar minuman ini bisa diseduh di mana saja. Setelah dikembangkan dan memperlihatkan cara membuat serbat ini kepada yang ahli,ternyata cara pembuatan serbat yang dilakukannya benar.

Selama satu tahun awal-awal mengembangkan serbat, ia mengalami jatuh bangun. Sebab saat itu ia belum memiliki alat. Sehingga ketika itu, ia tak bisa memproduksi serbat ketika cuaca tidak bagus. Ditambah lagi ia belum memiliki oven. Di saat bersamaan ia dikejar waktu harus ikut pameran di sejumlah tempat, sehingga ia pun terkadang tidak bisa ikut. “Selama satu  tahun itu, saya jatuh bangun. Hampir-hampir putus asa,’’ akunya. Akan tetapi ia tak mundur begitu saja, lebih-lebih produk serbat yang dibuatnya sudah telanjur mulai dikenal oleh masyarakat.

Dengan peralatan seadanya, dalam sehari ia hanya mampu membuat 6 sachet serbat. Itupun kata dia begitu sulit dan lama. Namun karena ia memiliki tekad kuat, iapun terus bertahan. Apa yang dirintisnya kini telah membuahkan hasil. Pelan tapi pasti,usaha pembuatan serbatnya pun berkembang. Hingga kemudian dibantu mesin pengolah oleh Pemkab Lobar, kendati ia masih mengolah semi manual. Saat ini produksinya mampu mencapai 25 Kg per hari, bahkan kalau bekerja sampai malam hari bisa mencapai 50 Kg serbat.

Di samping tingkat produksi yang jauh meningkat, ia juga bisa membuat gula aren menjadi olahan beragam. Awalnya hanya membuat serbat, namun berkembang menjadi gula semut. Tak berhenti di situ, bagi pecinta kopi ia pun mencoba meracik kopi jahe gula aren. Produk kopi jahe gula aren ini pun banyak digemari oleh masyarakat. ‘’Terakhir ini saya mencoba membuat es krim gula aren,’’ katanya. 

Bahan pemanis inti yang dipakai untuk membuat es krim ini dari gula aren. Kini produk yang dihasilkan telah mampu merambah pasar luar. Sejauh ini produknya sudah masuk ke pasar modern, Ruby dan pesanan lokal termasuk kantor-kantor pemda banyak yang memesan produknya.
Pihaknya juga menjual melalui online dan masuk di Bukalapak, namun belum terlalu laris. Tak hanya pangsa pasar lokal yang dirambahnya, namun sudah masuk ke pasar luar daerah seperti daerah jawa. 

Kebanyakan kata dia dikirim Jakarta. Di samping merambah pasar sejumlah daerah, produk yang dihasilkan ini sudah sampai ke beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura.

Meski  pengiriman melalui tangan orang ketiga, namun sejauh ini orderan dari luar negeri mencapai 10 kardus. Dari hasil penjualan produknya ini,  ia mampu meraup, dibandingkan dulu per hari ia hanya memperoleh 250-500 ribu per bulan. Sedangkan saat ini, omsetnya telah mencapai Rp 20-30 juta per bulan. Dari usahanya ini, ia mampu mempekerjakan 6 orang karyawan dari warga sekitar. 

Namun saat permintaan yang tinggi, pihaknya menambah pekerja untuk mengejar target.  Sejauh ini ia mengalami kendala alat kristalitator yang belum ada. “Ada rencana bantuan dari Disperindag untuk pengemas,”jelas dia.

Di sisi lain, Abdul Hadi mengaku usaha pengolahan gula aren yang digelutinya tak hanya semata bisa menjadi mata pencaharian bagi dirinya dan warga setempat. Namun yang jauh lebih mulia dari adanya usahanya ini,  bisa menekan pembuatan tuak atau miras tradisional. Sebab kata dia dulu aren yang berlimpah ini dimanfaatkan oleh warga untuk mengolahnya menjadi minuman keras (miras) tradisional. Bahkan banyak pengepul miras tradisional berbahan aren di daerahnya.

‘’Namun semenjak kami mengembangkan gula aren menjadi serbat, gula semut ini, pembuatan miras tradisional jauh menurun. Di daerah kami tidak ada lagi pengepul-pengepul tuak,’’ jelas dia.

Warga  mulai sadar bahwa cara mencari nafkah dengan membuat tuak, tidak berkah. Ke depan warga harus sadar kalaupun mendapatkan uang banyak dengan cara depat namun membuat tuak ternyata tidak berkah. Ia pun ingin memberikan contoh kepada masyarakat dengan kembali membuat aren menjadi serbat, dan penganan lainnya.

Di samping dengan berkembangnya Serbat ini, ia bisa mengangkat kembali kearifan lokal khas daerah Lombok melalui minuman. Sebab, kata dia, pengunjung yang datang dari luar pasti ingin apa minuman khas Lombok yang bisa diketahui mereka. Ke depan ia sangat berharap agar lebih terbuka lagi, kepada masyarakat untuk mengangkat kearifan lokal, seperti minuman dan sebagainya. Karena salah satu yang menjadi motivasinya mengembangkan minuman Serbat ini, karena ingin mengangkat kearifan lokal menjadi kekhasan dan identitas daerah Lombok.

Sebab kata dia di daerah lain seperti Bandung punya minuman khas Banrek, di Jawa punya minuman khas Wedang, lalu kalau jalan-jalan ke Polewali Sulawesi Barat punya minuman khas Saraba. ‘’Lalu kenapa kita ndak angkat Lombok ini lewat minuman Serbatnya sebagai lokal khasnya,’’jelas dia. Lebih-lebih di Lombok khususnya di Lobar punya bahan baku berlimpah, seperti jahe merah dan gula aren. Dibandingkan daerah lain seperti Garut, justru bahan baku aren di Lobar jauh lebih berlimpah. “Ini juga memotivasi saya,”jelas dia.

Dari sisi kesehatan juga Serbat dan gula aren ini jauh lebih sehat. Menurut dia gula aren ini sangat baik untuk kesehatan, dibandingkan gula pasir. Sebab Kandungan yang ada dalam gula aren ini sukrosa dengan kadar kalori sangat rendah, sedangkan gula putih sendiri memiliki kandungan glukosa dengan tinggi kalori.(Heru Zubaidi/Lombok Barat)
Share:

Wednesday, 7 August 2019

Rehabilitasi Pascagempa "Korbankan" Budaya Sasak Berusia 3.500 Tahun Sebelum Masehi

Workshop memahami dan menulis berita pascagempa, yang digagas LSM Gravitasi Mataram, Sabtu (3/8/2019).

Workshop media massa bertajuk Memahami dan Menulis Berita Pascagempa, yang digagas LSM Gravitasi Mataram, Sabtu (3/8/2019) mencuatkan sejumlah isu. Selain menggali masalah untuk diselesaikan, keberadaan media dituntut untuk menghadirkan solusi dalam pemberitaan. Namun terungkap hal menarik, bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan terdampak gempa yang dilakukan saat ini, mengorbankan khasanah budaya Sasak Lombok yang bertahan berabad-abad lamanya.

Budayawan sekaligus mantan Kepala Taman Budaya NTB, H. Lalu Agus Fathurrahman, dengan materi Membangun Kesadaran Kosmologis dan ekologis berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengurangan risiko bencana memaparkan, proses rehab rekon perumahan warga saat ini masih berorientasi rehabilitasi fisik. Pemerintah dipandang belum merehabilitasi psikis agar siap menghadapi bencana di masa depan.

Dalam paparannya, Agus menerangkan fungsi dan kekuatan Bale Balaq terhadap gempa. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Setiadi Sopandi, seorang Ahli Sejarah Arsitektur Universitas Indonesia.

Kenapa Bale Balaq bisa aman? Fathurrahman meyakini, kekuatan gempa berapapun, Bale Balaq tetap aman. Kondisi itu dipelajari oleh para ahli pondasi era sekarang, yang dikenal dengan istilah pondasi Jaring Laba-laba. Teknologi itu yang selanjutnya disempurnakan dengan teknologi yang bernama pondasi Jaring Pasak vertikal. "Ini belajarnya dari konstruksi rumah adat kita. Bahwa, berapa pun kekuatan hantaman gempa membuat rumah adat tidak akan jatuh," tegas Agus.

Dari pengalaman pondasi Rumah Adat Sasak Lombok, diterapkan di beberapa daerah. Seperti, 150 rumah yang dibangun di Aceh dengan pondasi serupa pada saat tsunami Aceh, 100 persen rumah selamat. Ada pula 15 bangunan bertingkat lima di Palu yang dibangun dengan pondasi itu, 100 persennya, selamat.

"Ini belajarnya dari mana, belajarnya dari konstruksi balok tiang yang kita miliki. Dan ini usianya 3.500 tahun Sebelum Masehi. Asli punyanya orang Sasak, ini penelitian dari Setiadi Sopandi, ahli sejarah arsitektur Universitas Indonesia. Tapi kita kemudian mengabaikan itu," tegasnya lagi.

Rumat adat Lombok yang bertahan dari guncangan gempa. (dokumentasi Kompas.com)
Semasih menjabat sebagai Kepala Museum Negeri NTB, Agus Fathurrahman juga pernah melihat model konstruksi serupa yang diterapkan pada salah satu kapal pesiar yang ia tumpangi. Di kapal pesiar itu, ia menyaksikan model konstruksinya persis sama dengan model konstruksi Bale Balaq. Dengan konstruksi itu, kapal pesiar tersebut tidak oleng saat digoyang kekuatan ombak. "Ini yang digunakan, dan kita punya, khasanah asli, tapi kita tidak pernah memperhatikan, alasannya kayu. Kenapa kayu menjadi persoalan. Katanya kalau gunakan kayu, hutan akan gundul. Siapa yang mau tebang (kayu) hutan?"

Ia bahkan berasumsi sejak awal, apabila dana bantuan dikelolakan ke masyarakat untuk membuat rumah sesuai kearifan lokal dan pemerintah memfasilitasi kedatangan kayu Kalimantan, maka dua persoalan sekaligus terselesaikan. Fisik rumah terbangun, dan kondisi psikis warga yang trauma akibat gempa terobati. Terlebih lagi, masyarakat sejak awal sudah punya pilihan, yakni Bale Balaq.

Baginya, rehabilitasi korban gempa yang dilakukan pemerintah sejauh ini adalah rehab fisik, dan belum menyasar rehab psikis dan mental warga. Korban gempa sejak awal ditimpa banyak masalah, dari kaget gempa, takut masuk rumah, ditekan oleh kepentingan aplikator, ditambah pula oleh kekecewaan akibat kebohongan oknum, maka tumpukan masalah psikis tersebut dipandang perlu untuk ditangani.

"Bencana itu tidak mematikan semua selama kita masih menghargai eksisten sebuah masyarakat yang memiliki budaya. Kita gunakan budayanya untuk membangkitkan kembali maka masalah selesai," tandasnya.

Sementara itu, Direktur Gravitasi Mataram, Munzirin, memaklumi korban gempa Lombok Utara dihadapkan pada banyak masalah. Mulai dari kualitas dan kuantitas rumah yang terbangun, kualitas dan kuantitas fasilitator, realisasi warga penerima rekening, hingga kebijakan anggaran dari pusat dan daerah.

"Gravitasi memandang semua pihak harus bersinergi, dan masing-masing berkontribusi sesuai profesi, terutama memberikan pemberdayaan pascagempa," katanya.

Kesempatan yang sama, Asisten III Setda KLU, Ir. H. Melta, mengakui pentingnya peran media massa pada penanganan pascagempa. Dimulai dari masa tanggap darurat, masa transisi hingga recovery ke depannya.

"Media merupakan mitra pemerintah yang menjadi kekuatan edukasi dan informasi. Saya ingat, saat gempa lampu mati, komunikasi putus. Kehadiran media bisa menyampaikan informasi kepada masyarakat sesuai kondisi yang ada," sebutnya. (Johari/Lombok Utara)
Share:

Friday, 26 July 2019

Wisatawan Mancanegara Bersihkan Pantai Senggigi dari Sampah Plastik

Wisatawan asing bersama warga lokal memungut sampah di tengah luat.  Sampah plastik mengotori  sepanjang pantai Senggigi dikeluhkan wisatawan

 Sampah plastik seperti bekas botol minuman, plastik kresek dan sisa bungkus makanan mengotori sepanjang pantai kawasan Senggigi. Kondisi ini menyebabkan keprihatinan dari sejumlah kalangan, termasuk wisatawan asing. Wisatawan asing  bersama warga lokal yang tergabung dalam komunitas pecinta lingkungan pun turun tangan membantu memungut sampah plastik di laut. Mereka berenang bahkan menyelam ke tengah laut untuk mengambil sampah plastik tersebut. 

Seperti yang dilakukan komunitas Lombok Ocean Care (LOC), salah satu komunitas yang peduli terhadap lingkungan. Di komunitas ini sudah bergabung puluhan orang dari warga lokal maupun warga asing (wisatawan asing).

Pada Minggu (21/7/2019), komunitas ini membersihkan sampah plastik di depan Hotel Kila. Warga lokal bersama wisatawan asing berenang ke tengah laut mengambil sampah yang berserakan.  Mereka menggunakan jaring untuk mengambil sampah yang mengapung di laut.


Sakinah, warga asing asal Jerman yang menginisiasi komunitas LOC menuturkan, pihaknya menginisiasi komunitas akibat keperihatinan terhadap kondisi sampah plastik di kawasan pesisir Pantai Senggigi. Pihaknya melakukan aksi kebersihan sampah plastik selama sebulan sekali.  "Lalu kami punya ide untuk mencari teman-teman yang snorkeling menyelam membersihkan sampah," jelas dia.  Pihaknya tiap hari minggu menyelam di lokasi pantai yang banyak sampah di laut.

Dalam melakukan aksi bersih sampah plastik ini, pihaknya kerjasama dengan Ikatan Bank Sampah Lombok. Mereka membeli sampah yang sudah bersih dan ikut aksi memberikan sosialisasi memilah serta mengolah sampah. Sampah yang berhasil diperoleh dalam sepekan mencapai 200 kilogram.

Diakui masih banyak sampah plastik di tengah laut.   Pihaknya tidak hanya mengambil sampah, namun pihaknya memiliki misi mensosialisasikan bahaya sampah plastik dan program zero waste agar masyakarat belajar bagaimana mengolah sampah. Sehingga masyakarat belajar mengolah sampah, sebab sampah bisa diolah menjadi kerajinan dan menghasilkan uang. "Karena kalau sekadar memungut sampah semua orang bisa, tapi kami punya misi mensosialisasikan bahaya sampah plastik," jelas dia. 


Front Office Manajer Kila Hotel dan Pool Villa Club, Ahmadi mengatakan adanya sampah plastik di sepanjang pantai ini dikeluhkan oleh wisatawan. Hal ini dilihat dari komentar wistawan tentang kebersihan di pantai. Wisatawan asing memberikan masukan agar persoalan sampah ini serius ditangani.  Dalam hal penanganan sampah ini perlu melibatkan semua pihak termasuk para pengusaha hotel.

Sementara itu, Camat Batulayar, Saharudin mengaku persoalan sampah memang menjadi masalah pelik. Masalah sampah inipun menjadi atensi nya awal menjabat camat Batulayar. "Kami sentuh dulu soal kebersihan, kami bergerak dan alhamdulillah diikuti oleh LCC sebelum jadi LOC," jelas dia. 

Kaitan dengan itu juga terbentuklah pokdarwis, sehingga geliat penanganan kebersihan semakin baik.  Bahkan penanganan sampah dilakukan selama sekali sepekan komunitas bersama kecamatan turun melakukan gotong royong. (Heru Zubaidi/Lombok Barat)

Share:

Desa Danger Tampilkan Inovasi Olah Sampah Jadi Bahan Bakar Minyak

Kepala Desa Danger, Kaspul Hadi, memantau proses ujicoba mesin pengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak di kantor desa setempat, Senin (22/7/2019)

Inovasi yang ditampilkan oleh Pemerintah Desa Danger Kecamatan Masbagik, Lotim berhasil menjadi juara I unggulan dalam pelaksanaan gelar teknologi tepat guna (TTG) tingkat Provinsi NTB yang dipusatkan di Lotim. Pemdes Danger menampilkan mesin pengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak, mulai dari minyak tanah, bensin dan solar.

Menurut Kepala Desa Danger, Kaspul Hadi, keberhasilan yang dicapai itu tidak terlepas dari kepedulian dan kerjasama semua pihak. Salah satunya kepedulian terhadap lingkungan untuk bagaimana sampah bernilai ekonomis. Dituturkannya, inisiatif pengolahan sampah dari kerajinan Gaharu yang ada di Danger menciptakan minyak wangi yang dikirim ke berbagai negara.

"Dari Gaharu yang menghasilnya minyak wangi inilah yang menginspirasi untuk membuat mesin pengolahan plastik menjadi bahan bakar," terangnya kepada Suara NTB, Senin (22/7/2019).

Adanya mesin pengolah sampah plastik ini kedepan bagaimana plastik-plastik yang ada di Desa Danger tidak lagi menjadi momok ditengah-tengah masyarakat. Melainkan sampah-sampah tersebut dapat menjadi sumber berkah. Sampah yang mampu menciptakan PADes untuk kembali pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. "Mesin yang kita ciptakan ini mampu memproduksi dari sampah plastik menjadi bahan bakar berupa bensin, solar dan minyak tanah," terangnya.

Keberadaan mesin pengolah sampah ini terus dilakukan ujicoba. Langkah ini dilakukan supaya inovasi yang dibuat oleh masyarakat dan Desa Danger ini betul-betul dapat berfungsi maksimal. Ini untuk menjawab persoalan sampah. Terciptanya mesin pengolah sampah ini sejalan dengan program Pemprov  NTB untuk mewujudkan NTB zero waste. "Dengan karya ini, apabila sudah berkembang dan sukses. Insya Allah mampu mendatang PADes dan mengatasi persoalan sampah menjadi berkah," jelasnya.

Ia berharap keberhasilan mesin pengolah sampah menjadi bahan bakar minyak menjadi juara I unggulan tingkat NTB tidak hanya sebatas juara. Namun bagaimana diharapkan pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi untuk mendukung dan mengawal inovasi TTG ini untuk dapat berkembang sehingga dapat berfungsi sebagaimana tujuannya.

Diketahui, terdapat empat penilaian pada gelar TTG ini, yaitu inovasi tepat guna yang juara pertama diraih alat pemotong kayu multi guna (KLU), sementara juara kedua adalah alat semprot (handsprayer) tenaga surya (Lombok Barat) dan juara ketiga alat pemupuk jagung (Dompu).

Sementara itu Lombok Timur meraih predikat sebagai Kabupaten Terbaik Tepat Guna Unggulan yang diraih oleh Desa Danger Kecamatan Masbagik, disusul Lombok Utara, dan Lombok Tengah. (Yoni Ariadi/Lombok Timur)
Share:

Tuesday, 2 July 2019

Branding Wisata Halal di NTB Harus Ada Perangkat Hukum

Islamic Center, pusat wisata halal di NTB.
Branding NTB sebagai destinasi wisata halal sudah tak perlu diperdebatkan. Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kabupaten Lombok Timur (Lotim) menyarankan NTB, termasuk Lotim di dalamnya ini perlu segera menguatkan keberadaan branding wisata halal tersebut. Sarannya segera dibuat perangkat hukumnya.


Hal ini disampaikan Ketua BPPD Lotim, Akhmad Roji kepada Suara NTB, Senin (1/7/2019). Dia menjelaskan, perangkat hukum yang diperlukan ini bisa berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati atau Peraturan Daerah (Perda).

Dukungan perangkat hukum yang jelas ini dinilai akan lebih mempercepat akselerasi pembangunan wisata di NTB. Branding wisata halal harapannya tidak lagi menjadi perdebatan publik. NTB sendiri sudah dinobatkan sebagai provinsi wisata halal.

Turunan dari predikat tersebut itulah yang harus dipersiapkan. Tidak lagi dimunculkan wacana baru mengenai apa yang akan dibuat sebagai branding baru. Saat ini yang perlu dilakukan bersama dengan seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata adalah aksinya. Wujud nyata dari upaya menciptakan wisata halal.

Menurut Akhmad Roji, kurang tepat jika terus-menerus saling menyalahkan soal branding apa yang akan dibuat untuk memajukan pariwisata Lombok - Sumbawa. Semua pihak harus bersama mempersiapkan diri menyongsong Lombok - Sumbawa sebagai destinasi wisata halal dunia.

Mengawalinya, bisa dimulai dengan membangun sistem kelembagaan wisata halal. Di antaranya memulai di tingkat satuan pendidikan dan perguruan tinggi. Bisa difungsikan madrasah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang memiliki ruh Muslim. Dengan demikian, kata Roji, akan lebih jelas apa yang menjadi capaiannya.


Konsep wisata halal ini bisa lebih didalami juga interpretasinya dalam sudut pandang wisata. Para ahli di bidang wisata juga bisa dilibatkan untuk membahasnya. Harus ada tolok ukur yang dibuat, sehingga bisa disimpulkan dalam waktu tertentu, bahwa destinasi wisata halal ini sudah benar-benar membumi di gumi Lombok - Sumbawa.

Mengisi konsep wisata halal ini bisa dilakukan dengan menggelar kegiatan-kegiatan yang bernuansa religi. Bisa digelar kegiatan sekala nasional bahkan internasional. Sejauh ini sebutnya branding wisata halal dengan penampilan khasanah budaya Islami di NTB belum pernah dilakukan. “Misalnya menggelar “Muslimah Fashion,” pameran barang kerajinan dari seluruh pesantren, tari zaman dan lainnya,” urainya.

Pemerintah daerah harapnya serius mengawal simbol Lombok - Sumbawa sebagai destinasi wisata halal. Diyakinkan, ketika semua elemen bergerak dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten, maka akan lebih cepat membumikan Lombok - Sumbawa sebagai destinasi wisata halal dunia. (Rusliadi/Suara NTB)

Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive