Pada siang hari di sebuah air terjun di Aiq
Bukak yang masuk wilayah Kerajaan Mantang, seorang perempuan cantik sedang
mandi. Air yang jernih dan dingin membuat perempuan ini seakan tak mau berhenti
mandi.
Tanpa disadari, seorang perempuan muda dengan pakaian seperti dayang-dayang tergopoh-gopoh mendatanginya. Dia terus saja mandi, sampai akhirnya melihat kehadiran perempuan itu di dekatnya.
"Ampun tuan putri," ujar dayang-dayang saat tiba di depan perempuan yang disebutnya tuan putri.
"Ada apa dayang-dayang?" tanyanya balik.
"Tuan putri Faradila ditunggu Panglima Ambara di istana?" jawabnya.
"Ada apa dia memanggilku?" ujar Putri Faradila yang merupakan putri tunggal Prabu Santana dari Ambarwati.
"Saya tidak tahu. Dia hanya meminta hamba memanggil tuan putri," jawabnya.
"Baiklah, tunggu aku sebentar. Aku akan ganti baju," ujarnya sambil masuk ke dalam sebuah bilik yang terbuat dari kayu. Setelah itu, dia keluar dan bersama dayang-dayang menemui Panglima Ambara.
Putri Faradila pun mempercepat langkahnya. Namun, ketika semakin dekat dengan aula istana, dia heran seluruh keluarga dan jajaran petinggi kerajaan hadir di tempat itu. Putri Faradila pun semakin tidak tenang dengan kondisi yang ada. Apalagi, tempat itu penuh dengan tangisan dan suasana sedih.
"Ayaahhh.." gumamnya dalam hati. "Ada apa dengan ayah?" ujarnya penuh tanda tanya.
"Ayaaaahhhhh," teriaknya ketika dia menyadari apa yang terjadi. "Siapa yang lakukan ini ayah?" tanyanya sambil menangis.
"Ampun tuan Putri," ujar Panglima Ambara sambil berdiri.
"Katakan Ambara! Siapa yang melakukan ini?" ujarnya penuh amarah. "Aku akan balas dendam," tambahnya dengan nada keras.
"Dila. Tahan amarahmu!" pinta Ambarwati, permaisuri raja. "Sekarang kita sedang berduka. Lupakan dulu balas dendammu," tambahnya.
"Tidak Bunda. Hamba tidak bisa terima ayahanda prabu dibunuh seperti ini," ujarnya sambil memegang gagang pedangnya.
"Bunda mengerti perasaan kamu," kata Ambarwati sambil mendekati anaknya yang sedang emosi. "Bunda tidak mau kehilangan semua orang-orang yang Bunda sayang," tambahnya sambil memeluk anaknya dan menangis.
"Panglima. Katakan, siapa yang membunuh ayahanda?" tanya Putri Faradila dengan suara serak sambil melepas pelukan ibunya.
"Ampun, tuan Putri. Sebenarnya, baginda terbunuh karena termakan karmanya sendiri," jawabnya pelan.
"Termakan karma sendiri bagaimana?" tanyanya heran.
"Sekali lagi ampun, tuan putri. Sebenarnya, dulu baginda prabu telah membunuh Resi Rimbawan dengan cara tidak ksatria. Sekarang beliau terbunuh dengan cara tidak ksatria pula," terang Ambara.
"Lalu siapa yang membunuh ayahanda?" tanya penasaran.
"Pangeran Kumara," jawabnya pendek.
"Pangeran Kumara?" desisnya dengan nada geram. "Awas tunggu pembalasanku!" tambahnya.
"Ampun tuan putri," Panglima Ambara nyeletuk. "Almarhum Paduka Prabu meminta agar kita tak membalas dendam. Paduka Prabu, sudah menerima takdir akibat karmanya," tambahnya.
"Menerima takdir bagaimana, maksudmu?" tanya Putri Faradila heran.
"Sebelum beliau meninggal, dia sempat berpesan pada hamba agar tidak ada balas dendam atas kematiannya. Cukup saja dia jadi tumbal terakhir atas perseteruan dengan Kerajaan Sari Gangga," terang Panglima Ambara.
"Tapi," ujarnya terputus.
"Beliau malah meminta hamba untuk menjaga Tuan Putri agar tidak membalas dendam. Almarhum Prabu meminta agar kita fokus membangun kerajaan kita," sahut Panglima Ambara lagi.
"Oh ya, Ambara bagaimana dengan mata air Sari Gangga? Apakah kita diizinkan minta pada Raja Sari Gangga?" celetuk Ambarwati.
"Gusti permaisuri. Pihak Kerajaan Sari Gangga sepertinya tak keberatan, jika kita ambil air suci di mata air Sari Gangga. Namun, sebelum kita diizinkan ke sana, saya harus menghadap Prabu Brandana dulu agar kita tidak dianggap mau mematai-matai mereka," jawab Ambara.
"Baiklah Ambara, Faradila dan lainnya. Sekarang, kita sedang berkabung. Kita persiapkan kremasi almarhum Prabu Santana. Besok, semua fasilitas kremasi sudah siap di alun-alun kerajaan," perintah Ambarwati.
"Selain itu, minta seluruh warga kerajaan hadir di acara kremasi," tambahnya.
"Baik, Gusti Permaisuri," jawab mereka semua yang hadir.
Tak terasa malam sudah datang. Rakyat Kerajaan Mantang sibuk mempersiapkan acara kremasi bagi sang raja. Para pendeta kerajaan berdoa dan membakar kemenyan dan dupa di sekitar lokasi persemayaman jasad raja.
Keluarga raja pun duduk bersimpuh mengelilingi jasad raja yang ditaruh di atas dipan berukir kayu jati. Setelah itu mereka beristirahat sambil menunggu pagi tiba.
Pagi pun tiba. Suara kokok ayam bersahutan dan suasana pagi sangat cerah. Alun-alun kerajaan sudah dipenuhi ribuan rakyat Kerajaan Mantang yang datang setelah mendengar pengumuman mengenai mangkatnya sang raja.
Jasad sang raja diletakkan di atas tempat pembaringan terakhir yang dibuat dari tumpukan kayu-kayu yang disiapkan untuk mengkremasi jenazah raja. Di sekelilingnya, sesajen berupa buah beraneka jenis seperti apel, rambutan, pisang diletakkan. Ada juga badan babi yang diguling, ayam hitam sudah disiapkan. Tidak lupa canang yang terdiri dari bunga berbagai rupa disiapkan.
Pendeta yang sejak raja meninggal masih terus membaca doa dengan harapan arwah sang raja senang di alamnya yang baru dan masuk nirwana.
Keluarga kerajaan, menteri, para panglima kerajaan sudah berkumpul dan bersiap dilakukan pengkremasian.
Setelah melalui prosesi keagamaan, istri Raja Santana Ambarwati bersama Putri Faradila membawa kayu yang ujungnya terbakar api dan menyulutnya ke tumpukan kayu tempat jenazah Raja Santana berada.
Air mata keduanya dan keluarga kerajaan lainnya tak terbendung. Mereka menyaksikan bagaimana sang raja yang dihormati sudah kembali menghadap Tuhan.
Selesai dikremasi, keluarga pun menggumpulkan abu sang raja dan menaruhnya dalam kendi yang sudah disiapkan khusus. Setelah itu, keluarga diiringi keluarga kerajaan membawa kendi tersebut ke air terjun Aik Bukaq dan menabur abu pada aliran air yang mengalir deras. Dari alam kembali menyatu dengan alam. (BERSAMBUNG)
Tanpa disadari, seorang perempuan muda dengan pakaian seperti dayang-dayang tergopoh-gopoh mendatanginya. Dia terus saja mandi, sampai akhirnya melihat kehadiran perempuan itu di dekatnya.
"Ampun tuan putri," ujar dayang-dayang saat tiba di depan perempuan yang disebutnya tuan putri.
"Ada apa dayang-dayang?" tanyanya balik.
"Tuan putri Faradila ditunggu Panglima Ambara di istana?" jawabnya.
"Ada apa dia memanggilku?" ujar Putri Faradila yang merupakan putri tunggal Prabu Santana dari Ambarwati.
"Saya tidak tahu. Dia hanya meminta hamba memanggil tuan putri," jawabnya.
"Baiklah, tunggu aku sebentar. Aku akan ganti baju," ujarnya sambil masuk ke dalam sebuah bilik yang terbuat dari kayu. Setelah itu, dia keluar dan bersama dayang-dayang menemui Panglima Ambara.
Putri Faradila pun mempercepat langkahnya. Namun, ketika semakin dekat dengan aula istana, dia heran seluruh keluarga dan jajaran petinggi kerajaan hadir di tempat itu. Putri Faradila pun semakin tidak tenang dengan kondisi yang ada. Apalagi, tempat itu penuh dengan tangisan dan suasana sedih.
"Ayaahhh.." gumamnya dalam hati. "Ada apa dengan ayah?" ujarnya penuh tanda tanya.
"Ayaaaahhhhh," teriaknya ketika dia menyadari apa yang terjadi. "Siapa yang lakukan ini ayah?" tanyanya sambil menangis.
"Ampun tuan Putri," ujar Panglima Ambara sambil berdiri.
"Katakan Ambara! Siapa yang melakukan ini?" ujarnya penuh amarah. "Aku akan balas dendam," tambahnya dengan nada keras.
"Dila. Tahan amarahmu!" pinta Ambarwati, permaisuri raja. "Sekarang kita sedang berduka. Lupakan dulu balas dendammu," tambahnya.
"Tidak Bunda. Hamba tidak bisa terima ayahanda prabu dibunuh seperti ini," ujarnya sambil memegang gagang pedangnya.
"Bunda mengerti perasaan kamu," kata Ambarwati sambil mendekati anaknya yang sedang emosi. "Bunda tidak mau kehilangan semua orang-orang yang Bunda sayang," tambahnya sambil memeluk anaknya dan menangis.
"Panglima. Katakan, siapa yang membunuh ayahanda?" tanya Putri Faradila dengan suara serak sambil melepas pelukan ibunya.
"Ampun, tuan Putri. Sebenarnya, baginda terbunuh karena termakan karmanya sendiri," jawabnya pelan.
"Termakan karma sendiri bagaimana?" tanyanya heran.
"Sekali lagi ampun, tuan putri. Sebenarnya, dulu baginda prabu telah membunuh Resi Rimbawan dengan cara tidak ksatria. Sekarang beliau terbunuh dengan cara tidak ksatria pula," terang Ambara.
"Lalu siapa yang membunuh ayahanda?" tanya penasaran.
"Pangeran Kumara," jawabnya pendek.
"Pangeran Kumara?" desisnya dengan nada geram. "Awas tunggu pembalasanku!" tambahnya.
"Ampun tuan putri," Panglima Ambara nyeletuk. "Almarhum Paduka Prabu meminta agar kita tak membalas dendam. Paduka Prabu, sudah menerima takdir akibat karmanya," tambahnya.
"Menerima takdir bagaimana, maksudmu?" tanya Putri Faradila heran.
"Sebelum beliau meninggal, dia sempat berpesan pada hamba agar tidak ada balas dendam atas kematiannya. Cukup saja dia jadi tumbal terakhir atas perseteruan dengan Kerajaan Sari Gangga," terang Panglima Ambara.
"Tapi," ujarnya terputus.
"Beliau malah meminta hamba untuk menjaga Tuan Putri agar tidak membalas dendam. Almarhum Prabu meminta agar kita fokus membangun kerajaan kita," sahut Panglima Ambara lagi.
"Oh ya, Ambara bagaimana dengan mata air Sari Gangga? Apakah kita diizinkan minta pada Raja Sari Gangga?" celetuk Ambarwati.
"Gusti permaisuri. Pihak Kerajaan Sari Gangga sepertinya tak keberatan, jika kita ambil air suci di mata air Sari Gangga. Namun, sebelum kita diizinkan ke sana, saya harus menghadap Prabu Brandana dulu agar kita tidak dianggap mau mematai-matai mereka," jawab Ambara.
"Baiklah Ambara, Faradila dan lainnya. Sekarang, kita sedang berkabung. Kita persiapkan kremasi almarhum Prabu Santana. Besok, semua fasilitas kremasi sudah siap di alun-alun kerajaan," perintah Ambarwati.
"Selain itu, minta seluruh warga kerajaan hadir di acara kremasi," tambahnya.
"Baik, Gusti Permaisuri," jawab mereka semua yang hadir.
Tak terasa malam sudah datang. Rakyat Kerajaan Mantang sibuk mempersiapkan acara kremasi bagi sang raja. Para pendeta kerajaan berdoa dan membakar kemenyan dan dupa di sekitar lokasi persemayaman jasad raja.
Keluarga raja pun duduk bersimpuh mengelilingi jasad raja yang ditaruh di atas dipan berukir kayu jati. Setelah itu mereka beristirahat sambil menunggu pagi tiba.
Pagi pun tiba. Suara kokok ayam bersahutan dan suasana pagi sangat cerah. Alun-alun kerajaan sudah dipenuhi ribuan rakyat Kerajaan Mantang yang datang setelah mendengar pengumuman mengenai mangkatnya sang raja.
Jasad sang raja diletakkan di atas tempat pembaringan terakhir yang dibuat dari tumpukan kayu-kayu yang disiapkan untuk mengkremasi jenazah raja. Di sekelilingnya, sesajen berupa buah beraneka jenis seperti apel, rambutan, pisang diletakkan. Ada juga badan babi yang diguling, ayam hitam sudah disiapkan. Tidak lupa canang yang terdiri dari bunga berbagai rupa disiapkan.
Pendeta yang sejak raja meninggal masih terus membaca doa dengan harapan arwah sang raja senang di alamnya yang baru dan masuk nirwana.
Keluarga kerajaan, menteri, para panglima kerajaan sudah berkumpul dan bersiap dilakukan pengkremasian.
Setelah melalui prosesi keagamaan, istri Raja Santana Ambarwati bersama Putri Faradila membawa kayu yang ujungnya terbakar api dan menyulutnya ke tumpukan kayu tempat jenazah Raja Santana berada.
Air mata keduanya dan keluarga kerajaan lainnya tak terbendung. Mereka menyaksikan bagaimana sang raja yang dihormati sudah kembali menghadap Tuhan.
Selesai dikremasi, keluarga pun menggumpulkan abu sang raja dan menaruhnya dalam kendi yang sudah disiapkan khusus. Setelah itu, keluarga diiringi keluarga kerajaan membawa kendi tersebut ke air terjun Aik Bukaq dan menabur abu pada aliran air yang mengalir deras. Dari alam kembali menyatu dengan alam. (BERSAMBUNG)
0 komentar:
Post a Comment