Di perbatasan Desa Darmaji dan Pengadang, tiga
penunggang kuda sedang beristirahat di tepi sungai. Mereka duduk di antara
bebatuan yang biasa dijadikan sebagai tempat duduk oleh para penggembara.
"Meton. Hari sudah mulai gelap. Kita istirahat di sini atau langsung menuju ke ibukota kerajaan," ujar Dabok membuka percakapan.
"Ya, kalau saya sih lebih baik kita langsung saja. Saya khawatir, ada orang jahat yang mengganggu kita selama istirahat di sini," jawab Putri Faradila dengan tetap beraksen laki-laki.
"Kalau saya terserah Fadil saja," jawab Kacek sambil tetap menyebut nama samaran Faradila.
"Baiklah. Kalau kalian berdua tidak mau menginap sini, kita segera berangkat," jawab Dabok sambil bangkit dari tempat duduknya. Kacek dan Putri Faradila pun ikut bangkit dan naik ke punggung kuda masing-masing.
Mereka pun memacu kudanya menyusuri areal jalan setapak di Lendang Kunyit hingga perbatasan Jurang Jaler. Kawasan yang dipenuhi padang dan ladang ini terlihat sangat indah. Apalagi dari tempat yang berada di ketinggian ini bisa melihat matahari terbenam di ujung barat cakrawala Pulau Lombok.
Namun, tanpa mereka sadari tiga pasang mata terus membuntuti mereka. Saat mereka berada di sungai yang ditumbuhi pepohonan lebat, tiga orang asing bersenjata lengkap menghadang.
Mereka pun menghentikan kudanya sambil bersiap siaga. "Siapa kalian? Mengapa kalian menghadang kami?" tanya Dabok dengan nada keras.
"Ha ha ha ... Serahkan harta kalian!" teriak seorang di antara mereka. Sementara dua lainnya sudah menghunus pedang dan bersiap menyerang.
"Serahkan harta kami? Emang siapa kalian?" tanya Dabok lagi.
"Jangan banyak tanya! Kalau kalian ingin selamat, serahkan semua hartamu," teriak mereka tak sabaran.
"O, kalian pikir kami takut. Hadapi kami dulu," ujar Kacek sambil menghunus pedangnya. Sementara Putri Faradila hanya tersenyum kecil, melihat aksi perampok itu. Malahan dia menantang, jika mereka berhasil menyentuh bagian tubuhnya, hartanya akan diberikan semua.
"Berani?" tantangnya sambil tersenyum mengejek.
"Kurang ajar," jawab salah satu perampok dan merupakan pimpinannya. "Hayo anak-anak, serang mereka," perintahnya.
Dua anak buahnya pun menyerang. Pertandingan satu lawan satu pun tak terelakkan. Kacek, Putri Faradila dan Dabok pun berusaha melumpuhkan musuh-musuhnya.
Tak berapa lama kemudian, tiga perampok itu babak belur dihajar, sehingga memilih melarikan diri.
"Ayo lari anak-anak," teriak pimpinan perampok. "Lariiiiii....."
Kacek yang hendak mengejar ketiganya dilarang Dabok. "Tak usah dikejar. Mereka hanya perampok kecil yang sengaja mencegat para pejalan malam saja,".
"Kalian luar biasa. Ilmu beladiri kalian bagus," puji Dabok. "Di mana semeton belajar silat?" tanyanya lagi.
"Kami hanya belajar untuk beladiri," jawab Kacek pendek.
"Semeton berkelahi seperti pendekar yang memiliki ilmu tinggi," sahut Dabok penasaran.
"Side (anda) juga. Ilmumu lumayan tinggi. Saya perhatikan tadi tidak semua tenaga dipergunakan," tanya Putri Faradila balik.
"Ah itu biasa saja," jawab Dabok pendek. "O ya lebih baik sekarang kita lanjutkan perjalanan, sebentar kita sampai ibukota," tambahnya sambil naik ke atas punggung kuda. Kacek dan Putri Faradila pun naik ke punggung kudanya. (BERSAMBUNG)
"Meton. Hari sudah mulai gelap. Kita istirahat di sini atau langsung menuju ke ibukota kerajaan," ujar Dabok membuka percakapan.
"Ya, kalau saya sih lebih baik kita langsung saja. Saya khawatir, ada orang jahat yang mengganggu kita selama istirahat di sini," jawab Putri Faradila dengan tetap beraksen laki-laki.
"Kalau saya terserah Fadil saja," jawab Kacek sambil tetap menyebut nama samaran Faradila.
"Baiklah. Kalau kalian berdua tidak mau menginap sini, kita segera berangkat," jawab Dabok sambil bangkit dari tempat duduknya. Kacek dan Putri Faradila pun ikut bangkit dan naik ke punggung kuda masing-masing.
Mereka pun memacu kudanya menyusuri areal jalan setapak di Lendang Kunyit hingga perbatasan Jurang Jaler. Kawasan yang dipenuhi padang dan ladang ini terlihat sangat indah. Apalagi dari tempat yang berada di ketinggian ini bisa melihat matahari terbenam di ujung barat cakrawala Pulau Lombok.
Namun, tanpa mereka sadari tiga pasang mata terus membuntuti mereka. Saat mereka berada di sungai yang ditumbuhi pepohonan lebat, tiga orang asing bersenjata lengkap menghadang.
Mereka pun menghentikan kudanya sambil bersiap siaga. "Siapa kalian? Mengapa kalian menghadang kami?" tanya Dabok dengan nada keras.
"Ha ha ha ... Serahkan harta kalian!" teriak seorang di antara mereka. Sementara dua lainnya sudah menghunus pedang dan bersiap menyerang.
"Serahkan harta kami? Emang siapa kalian?" tanya Dabok lagi.
"Jangan banyak tanya! Kalau kalian ingin selamat, serahkan semua hartamu," teriak mereka tak sabaran.
"O, kalian pikir kami takut. Hadapi kami dulu," ujar Kacek sambil menghunus pedangnya. Sementara Putri Faradila hanya tersenyum kecil, melihat aksi perampok itu. Malahan dia menantang, jika mereka berhasil menyentuh bagian tubuhnya, hartanya akan diberikan semua.
"Berani?" tantangnya sambil tersenyum mengejek.
"Kurang ajar," jawab salah satu perampok dan merupakan pimpinannya. "Hayo anak-anak, serang mereka," perintahnya.
Dua anak buahnya pun menyerang. Pertandingan satu lawan satu pun tak terelakkan. Kacek, Putri Faradila dan Dabok pun berusaha melumpuhkan musuh-musuhnya.
Tak berapa lama kemudian, tiga perampok itu babak belur dihajar, sehingga memilih melarikan diri.
"Ayo lari anak-anak," teriak pimpinan perampok. "Lariiiiii....."
Kacek yang hendak mengejar ketiganya dilarang Dabok. "Tak usah dikejar. Mereka hanya perampok kecil yang sengaja mencegat para pejalan malam saja,".
"Kalian luar biasa. Ilmu beladiri kalian bagus," puji Dabok. "Di mana semeton belajar silat?" tanyanya lagi.
"Kami hanya belajar untuk beladiri," jawab Kacek pendek.
"Semeton berkelahi seperti pendekar yang memiliki ilmu tinggi," sahut Dabok penasaran.
"Side (anda) juga. Ilmumu lumayan tinggi. Saya perhatikan tadi tidak semua tenaga dipergunakan," tanya Putri Faradila balik.
"Ah itu biasa saja," jawab Dabok pendek. "O ya lebih baik sekarang kita lanjutkan perjalanan, sebentar kita sampai ibukota," tambahnya sambil naik ke atas punggung kuda. Kacek dan Putri Faradila pun naik ke punggung kudanya. (BERSAMBUNG)
0 komentar:
Post a Comment