"Eee....," Prabu Santana tiba-tiba
memegang dadanya. Sebuah anak panah menancap tepat di jantungnya. Karena tak
tahan, dia pun tersungkur di atas tanah dan berteriak kesakitan.
Seorang pemuda lengkap dengan senjata panah dan pedang di pinggangnya tiba-tiba muncul di antara mereka. "Rasakan Santana. Mampus kau," ujarnya puas.
"Kumara. Apa yang kamu lakukan?" tanya Putri Ayuning.
"Yunda. Dia sudah membunuh ayahanda. Jadi saya balas dendam," jawab Pangeran Kumara enteng -- putra kedua Resi Rimbawan dengan Putri Giok. Putri Giok sudah meninggal dunia 3 tahun lalu, sebelum akhirnya tampuk kekuasaan diambil Prabu Brandana.
"Tapi bukan begitu caranya. Kita harus bersikap ksatria. Jangan curang seperti yang dilakukan Santana pada kita," ujarnya mengingatkan.
"Yang penting dia mati," jawabnya. "Saya puas," tambahnya dengan nada keras.
Para prajurit panah Kerajaan Mantang yang telah siaga siap-siap membidik sasaran. Namun, Panglima Ambara mengangkat tangan dan meminta para prajuritnya tidak melakukan balasan.
"Tahan senjata kalian!" teriak Ambara. "Jangan melakukan serangan!" perintahnya.
Ambara didampingi beberapa komandan pasukan menghampiri Prabu Santana yang mengerang kesakitan di tanah.
"Am.. bara," ujarnya terputus-putus.
"Iya Gusti Prabu," jawab Ambawa.
"Mungkin ini karma bagiku. Saya dulu juga melakukan hal yang sama pada Resi Rimbawan," ujarnya.
"Sekarang, bawa pasukan balik ke Mantang. Jangan ada korban lagi!" pesannya. "Saya titip putriku, Faradila. Jaga dia baik-baik," ujarnya dengan nada terputus-putus.
"Untukmu Ayuning dan Kumara. Saya minta maaf dan mohon agar warga kerajaan kami diizinkan mengambil air dari Mata Air Sari Gangga," ujarnya dengan suara yang semakin mengecil dan tangannya terkulai lemas.
Prabu Santana pun meninggal dengan karma yang sudah dilakukannya pada masa lalu.
"Baik Santana. Kami maafkan kau," ujar Putri Ayuning di hadapan jenazah Prabu Santana.
"Sekarang Ambara, bawa jenazah Prabu Santana pulang. Kremasikan dia baik-baik," perintah Putri Ayuning pada Ambara.
"Mengenai permintaan raja kalian akan kami pertimbangkan. Sekarang kalian pulanglah, keluarga kalian menanti di rumah," tambah Putri Ayuning.
"Siap paduka," jawabnya sambil berlutut. "Ayo prajurit bawa jenazah Prabu Santana pulang ke Mantang," tambahnya sambil mengangkat jenazah rajanya bersama beberapa prajurit yang lain.
Mereka kemudian menaikkan jenazah sang raja ke kereta kuda. Iring-iringan prajurit Mantang terus berjalan meninggalkan perbatasan dan kembali dengan bahagia, karena bisa berkumpul dengan keluarga.
"Panglima. Kenapa kita tak membalas kematian sang raja?" tanya Mudin, wakil panglima pada Ambara.
"Apa kau mau mati?" Jawabnya balik bertanya.
"Tidak panglima," jawab Mudin.
"Selagi kita masih punya kesempatan hidup. Kita manfaatkan. Kalau kita nekad melawan, kita semua akan habis," terangnya. "Bayangkan, kita berada di bawah bukit. Sementara pasukan musuh di atas. Apa kita bisa menang melawan mereka?" ujarnya balik bertanya.
"Benar Mudin. Kalau kita melawan sama artinya hanya menyerahkan nyawa," sela Kacek, salah satu pemimpin pasukan.
"Kau benar Kacek. Saat saya melihat sekeliling kita sudah dikepung pasukan Sari Gangga. Jadi saya tak mau mengorbankan prajurit dengan sia-sia," ujar Ambara sambil terus melangkah. "Lagipula, kita tak berkepentingan dengan urusan raja. Lain halnya, kalau raja masih hidup," tambahnya.
"Sudahlah. Sekarang kita pulang saja. Masalah Kerajaan Sari Gangga, nanti kita pikirkan. Yang penting, kita ketemu sama keluarga," celetuk Mudin.
"Lagi pula, perang tadi bukan urusan kita. Itu hanya ambisi sang raja saja ingin kuasai mata air Sari Gangga. Tapi sayangnya, sang raja tewas dari karma yang telah diperbuatnya sendiri," terang Ambara pada prajuritnya.
"Masalah mendapatkan air suci dari mata air Sari Gangga, nanti saya pergi menghadap Prabu Brandana dan Putri Ayuning. Mereka sepertinya tidak mempermasalahkan kita datang mengambil, asal dengan niat baik," tambah Ambara.
"Mudah-mudahan panglima," ujar mereka serempak.
Sementara Prabu Brandana dan seluruh prajuritnya kembali ke istana kerajaan. Satu kompi prajurit ditempatkan di beberapa pintu masuk di wilayah perbatasan. Mereka kembali dengan wajah gembira, karena musuh berhasil dikalahkan. Selain itu, tidak ada satu pun prajurit dan warga yang terluka atau tewas.
Waktu pun berlalu, malam pun datang. Warga yang sebelumnya mengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul bersama keluarga. Apalagi sudah beberapa hari mereka dihadapkan dengan rasa was-was setelah pasukan Mantang datang ingin menyerang. (Bersambung)
Seorang pemuda lengkap dengan senjata panah dan pedang di pinggangnya tiba-tiba muncul di antara mereka. "Rasakan Santana. Mampus kau," ujarnya puas.
"Kumara. Apa yang kamu lakukan?" tanya Putri Ayuning.
"Yunda. Dia sudah membunuh ayahanda. Jadi saya balas dendam," jawab Pangeran Kumara enteng -- putra kedua Resi Rimbawan dengan Putri Giok. Putri Giok sudah meninggal dunia 3 tahun lalu, sebelum akhirnya tampuk kekuasaan diambil Prabu Brandana.
"Tapi bukan begitu caranya. Kita harus bersikap ksatria. Jangan curang seperti yang dilakukan Santana pada kita," ujarnya mengingatkan.
"Yang penting dia mati," jawabnya. "Saya puas," tambahnya dengan nada keras.
Para prajurit panah Kerajaan Mantang yang telah siaga siap-siap membidik sasaran. Namun, Panglima Ambara mengangkat tangan dan meminta para prajuritnya tidak melakukan balasan.
"Tahan senjata kalian!" teriak Ambara. "Jangan melakukan serangan!" perintahnya.
Ambara didampingi beberapa komandan pasukan menghampiri Prabu Santana yang mengerang kesakitan di tanah.
"Am.. bara," ujarnya terputus-putus.
"Iya Gusti Prabu," jawab Ambawa.
"Mungkin ini karma bagiku. Saya dulu juga melakukan hal yang sama pada Resi Rimbawan," ujarnya.
"Sekarang, bawa pasukan balik ke Mantang. Jangan ada korban lagi!" pesannya. "Saya titip putriku, Faradila. Jaga dia baik-baik," ujarnya dengan nada terputus-putus.
"Untukmu Ayuning dan Kumara. Saya minta maaf dan mohon agar warga kerajaan kami diizinkan mengambil air dari Mata Air Sari Gangga," ujarnya dengan suara yang semakin mengecil dan tangannya terkulai lemas.
Prabu Santana pun meninggal dengan karma yang sudah dilakukannya pada masa lalu.
"Baik Santana. Kami maafkan kau," ujar Putri Ayuning di hadapan jenazah Prabu Santana.
"Sekarang Ambara, bawa jenazah Prabu Santana pulang. Kremasikan dia baik-baik," perintah Putri Ayuning pada Ambara.
"Mengenai permintaan raja kalian akan kami pertimbangkan. Sekarang kalian pulanglah, keluarga kalian menanti di rumah," tambah Putri Ayuning.
"Siap paduka," jawabnya sambil berlutut. "Ayo prajurit bawa jenazah Prabu Santana pulang ke Mantang," tambahnya sambil mengangkat jenazah rajanya bersama beberapa prajurit yang lain.
Mereka kemudian menaikkan jenazah sang raja ke kereta kuda. Iring-iringan prajurit Mantang terus berjalan meninggalkan perbatasan dan kembali dengan bahagia, karena bisa berkumpul dengan keluarga.
"Panglima. Kenapa kita tak membalas kematian sang raja?" tanya Mudin, wakil panglima pada Ambara.
"Apa kau mau mati?" Jawabnya balik bertanya.
"Tidak panglima," jawab Mudin.
"Selagi kita masih punya kesempatan hidup. Kita manfaatkan. Kalau kita nekad melawan, kita semua akan habis," terangnya. "Bayangkan, kita berada di bawah bukit. Sementara pasukan musuh di atas. Apa kita bisa menang melawan mereka?" ujarnya balik bertanya.
"Benar Mudin. Kalau kita melawan sama artinya hanya menyerahkan nyawa," sela Kacek, salah satu pemimpin pasukan.
"Kau benar Kacek. Saat saya melihat sekeliling kita sudah dikepung pasukan Sari Gangga. Jadi saya tak mau mengorbankan prajurit dengan sia-sia," ujar Ambara sambil terus melangkah. "Lagipula, kita tak berkepentingan dengan urusan raja. Lain halnya, kalau raja masih hidup," tambahnya.
"Sudahlah. Sekarang kita pulang saja. Masalah Kerajaan Sari Gangga, nanti kita pikirkan. Yang penting, kita ketemu sama keluarga," celetuk Mudin.
"Lagi pula, perang tadi bukan urusan kita. Itu hanya ambisi sang raja saja ingin kuasai mata air Sari Gangga. Tapi sayangnya, sang raja tewas dari karma yang telah diperbuatnya sendiri," terang Ambara pada prajuritnya.
"Masalah mendapatkan air suci dari mata air Sari Gangga, nanti saya pergi menghadap Prabu Brandana dan Putri Ayuning. Mereka sepertinya tidak mempermasalahkan kita datang mengambil, asal dengan niat baik," tambah Ambara.
"Mudah-mudahan panglima," ujar mereka serempak.
Sementara Prabu Brandana dan seluruh prajuritnya kembali ke istana kerajaan. Satu kompi prajurit ditempatkan di beberapa pintu masuk di wilayah perbatasan. Mereka kembali dengan wajah gembira, karena musuh berhasil dikalahkan. Selain itu, tidak ada satu pun prajurit dan warga yang terluka atau tewas.
Waktu pun berlalu, malam pun datang. Warga yang sebelumnya mengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul bersama keluarga. Apalagi sudah beberapa hari mereka dihadapkan dengan rasa was-was setelah pasukan Mantang datang ingin menyerang. (Bersambung)
0 komentar:
Post a Comment