Udin dengan berugak atap ijuk hasil karyanya di Desa Kekait Gunung Sari Lombok Barat |
DESA Kekait
Gunung Sari Lombok Barat memiliki banyak potensi sumber daya alam (SDA).
Pemanfaatan SDA ini tergantung dari kreativitas masyarakat sekitar. Jika
masyarakat kreatif, maka mereka akan mampu bersaing dalam berusaha. Sebaliknya,
jika tidak kreatif, masyarakat sekitar akan jadi penonton atau malahan akan
tersingkir dari kampung halaman.
Besarnya potensi
SDA yang dimiliki desanya dan desa tetangganya melatarbelakangi Udin, salah
satu pengusaha ijuk atau atap ijuk di Desa Kekait dalam berusaha. Semula Udin
hanya fokus mengirim ijuk dalam jumlah
yang cukup besar ke Bali. Namun, melihat potensi usahanya berjalan stagnan dan
tidak terlalu berkembang, Udin pun mencoba mengembangkan usahanya dengan
memanfaatkan ijuk. Apalagi ijuk di sekitar Kekait dan daerah lain di Gunung
Sari mudah didapat. Sebagai salah satu penampung ijuk di Kekait, dirinya
tinggal memesan pada masyarakat yang mencari ijuk ke tengah hutan.
Atas dasar itu, Udin kemudian membuat atap berugak dari ijuk dan dipajang di rumahnya. Melihat tampilan berugak yang cukup modis membuat banyak orang tertarik dan memesan, baik untuk perumahan, tempat ibadah, khususnya pura, rumah makan, cottage dan hotel. Bahkan, pada tahun 2015 lalu, Udin mengaku tidak pernah sepi pemesan. Setiap hari selalu ada saja orderan atau pesanan yang masuk ke tempatnya.
‘’Tapi pada tahun ini, pemesan tidak terlalu banyak. Saya tidak tahu penyebabnya. Mudah-mudahan pada tahun depan, pemesannya lebih banyak lagi,’’ tuturnya di Desa Kekait Gunung Sari, Minggu (4/12/2016).
Ijuk yang siap dikirim ke Bali untuk atap pura dan berugak atap ijuk Gunung Sari Lombok Barat |
Udin
mengaku, saat ini hanya dirinya yang menggeluti atap ijuk di Gunung Sari.
Apalagi, ada beberapa asesoris yang tidak mampu dibuat pengusaha lain. Di mana,
asesoris ini diklaim mampu membuat tampilan berugak atau tempat ibadah menjadi
lebih cantik dan enak dipandang. Namun, masyarakat atau pengusaha yang memesan
atap ijuk masih terbatas, yakni untuk rumah ibadah dan pengusaha hotel.
‘’Terkadang
pihak hotel mikir-mikir juga menggunakan atap ijuk. Apalagi, dibandingkan
dengan atap ilalang lebih murah. Sementara atap ijuk sangat mahal,’’ ujarnya,
seraya menambahkan, baru-baru ini sudah mengerjakan pembuatan atap berugak
hotel di Sekotong dan Senggigi.
Untuk satu
berugak ukuran sekepat (tiang empat),
pembeli harus membayar yakni sebesar Rp 4 juta. Sementara berugak ukuran sekenam (tiang enam) biaya atapnya
mencapai Rp 6 juta. Lain halnya, jika menggunakan atap ilalang, pembeli hanya
membayar Rp 1,5 juta. Malahan di tempat lain, pembeli dengan uang Rp 4 juta
bisa mendapatkan 1 berugak. Mahalnya, penggunaan ijuk sebagai atap, karena
sebagai pengusaha membeli berdasarkan kilogramnya. Di tempatnya di Kekait,
dirinya harus membeli Rp 3.000 per kilogram dari masyarakat. Sementara kalau
dijual atau dibawa ke Bali harganya jauh lebih mahal, karena pertimbangan biaya
distribusi.
Seorang pekerja sedang menganyam ijuk untuk dijadikan atap berugak atau atap pura |
Bagi
masyarakat yang menggunakan ijuk sebagai atap berugaknya, tambah Udin, bisa
bertahan lama. Udin mencontohkan, atap Pura Mayura yang menggunakan atap ijuk
mampu bertahan ratusan tahun dan diganti beberapa waktu lalu menggunakan
genteng. Beda halnya, jika masyarakat menggunakan ilalang sebagai atap berugak
atau rumah hanya bertahan selama lima tahun. ‘’Kalau gunakan atap ijuk, bisa
tahan lama. Malahan, kayu penyangga atau bagian yang lain duluan lapuk atau
diganti,’’ klaimnya.
Meski
demikian, ujarnya, untuk membuat atap ijuk harus melalui proses. Di mana,
sebelum anyaman atau engkelan atap
ijuk ditaruh di atap harus dibersihkan dan dicari ijuk yang bagus. Setelah itu
dianyam menggunakan tali ijuk yang sudah diolah, kemudian dipotong sesuai batas
yang telah ditentukan dan disisir, sehingga menjadi lebih rapi. ‘’Jadi kenapa
atap dari ijuk mahal, karena kuat dan tahan lama. Termasuk prosesnya juga
beda,’’ terangnya.
Di satu
sisi, Udin juga mengharapkan pemerintah memperhatikan usaha yang digeluti
pengusaha kecil di Desa Kekait. Dirinya tidak ingin, janji pemerintah yang akan
memberikan bantuan modal atau peralatan di tahun 2000 lalu terulang kembali.
Baginya, dukungan pemerintah terhadap usaha masyarakat sangat diharapkan dan
tidak hanya janji-janji semata. (Marham)
0 komentar:
Post a Comment