Be Your Inspiration

Tuesday, 17 September 2019

Prosesi Boteng Tunggul Warnai Event Kesenian dan Budaya Pringgasela

Prosesi adat Boteng Tunggul Kecamatan Pringgasela Lombok Timur
Gubernur NTB, Dr.H. Zulkieflimansyah menegaskan bahwa pariwisata, tidak  harus identik dengan Laut dan gunung saja. Tetapi juga berbagai aktivitas seni budaya dan tradisi yang perlu terus diperkaya dan dilestarikan, sebagai aset wisata daerah.

NTB  kaya dengan warna warni seni budaya dan tradisi rakyat. "Hampir di setiap desa wisata tersimpan potensi seni budaya dan tradisi, termasuk kerajinan tenun dan busana yang perlu dieksplore lebih lanjut," kata Gubernur yang akrab disapa Doktor Zul itu saat menutup Event Kesenian & Budaya Pringgasela, di Kecamatan Pringgasela Lombok Timur, Senin (16/9-2019).



“Prosesi Boteng Tunggul ini yang sudah berusia 8 abad adalah warisan budaya yang luar biasa, harus tetap dijaga,” tambah Gubernur.

Boteng Tunggul adalah sebuah tradisi sakral yang biasa  digelar oleh masyarakat desa Pringgasela Kabupaten Lombok Timur NTB mengiringi upacara adat Gawe Desa.

Boteng sendiri berarti berdiri dan Tunggul adalah kain tenun  yang dibuat pertama kali oleh tokoh tenun setempat yaitu Lebai Nursini. Kini tunggul tersebut telah berumur ± 850 tahun, yang berarti sudah berada di tangan generasi pewaris ke - 17. Tradisi ini sebagai cermin sejarah perjalanan tenun Pringgasela.

Dalam prosesi adat  Boteng Tunggul adalah kain tenun (Tunggul) yang diikatkan pada sebuah pohon bambu petung, sehingga tampak seperti umbul-umbul. Kain tunggul itu dipercaya memiliki nilai kesakralan tinggi, sehingga ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi ketika akan mengibarkan dalam suatu kegiatan adat gawe desa.


BACA JUGA : Tenun Gedogan Lombok Timur Menuju Persaingan Internasional 

Demikian juga bambu petung sebagai tiang Tunggul, selain harus diambil utuh mulai dari bagian akar sampai ujungnya, juga orang yang mengikatkan kain itu hanyalah oleh pewaris tradisi, diiringi dengan seni tradisional Sasak yaitu Gendang Belek dan kesenian Rantok.

Ketua Panitia Alunan Budaya Desa Pringgasela, Ahmad Feriawan mengatakan, masyarakat Pringgasela menganggap Tunggul ini adalah tenun Pringgasela di mana mereka sadar bahwa mereka dilahirkan dengan tenun, sehingga harus dijaga sampai kapanpun.
Boteng Tunggul yang diklaim sudah berusia 8 abad
Tunggul ini juga sering digunakan sebagai media pengobatan dengan memanjatkan do'a dan salawat.
Ia menceritakan bahwa Tunggul terakhir kali dikibarkan pada tahun 1979 silam, ketika pewaris dari kain ini menikah. Sejak saat itu, masyarakat sudah tidak pernah melihat tunggul dikibarkan.

Seluruh tradisi budaya yang dimiliki masyarakat, kata dia, harus dilestarikan dan pelestarian itu ada di Kebudayaan. Karena itu tahun 2020, ia berharap pemerintah daerah punya museum untuk melestarikan keragaman adat dan tradisi yang ada di masyarakat. Terlebih Tunggul yang berusia delapan abad tersebut.



Hal senada dikatakan Kepala Dinas Pendidikan dan KebudayaanNTB, Rusman, SH, MH. Dia mengatakan pelestarian budaya adalah bagian yang harus menjadi perhatian. Budaya sebagai cermin dari masyarakat.

"Ini menjadi perhatian kami di Dinas Dikbud, bagaimana ke depannya kita bisa mencari format yang baik sehingga budaya yang dimiliki betul-betul lestari dan menjadi asset yang berharga," ujarnya.
Di sekolah, jelas Rusman, kekayaan budaya NTB sudah mulai masuk sebagai pelajaran muatan lokal. Bahkan khusus untuk tenun, SMKN 2 Selong membuka jurusan khusus terkait kerajinan tenun. Ini menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di masyarakat.

Selain upacara adat Boteng Tunggul, Alunan Budaya Desa Pringgasela, juga  menampilkan beragam atraksi seni seperti fashion show kain tenun, Pameran UKM dan Tari Tenun. Kerajinan tenun sendiri menjadi khas Pringgasela. Produk tenun yang dihasilkan tak hanya beredar di Nusantara, tapi mulai menembus pasar dunia. (Diskominfotik NTB).

Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive