Setelah sarapan seadanya, mereka pun bersiap-siap berangkat. Dengan menunggang kudanya, mereka pun menuju lokasi acara di mata air Sari Gangga.
Di tengah perjalanan, mereka pun berpisah.
''Dil dan Cek, kalian berdua bisa langsung ke acara. Ikuti saja para warga yang ke sana. Nanti, kalian bisa ketemu dengan acaranya.
''Ok, Bok,'' jawab Putri Faradilla singkat.
Setelah itu, Dabok pun memacu kudanya ke arah yang berlawanan. Dabok yang juga Pangeran Kumara ini pun segera bergegas menuju istana untuk membersihkan tubuhnya dan membuka penyamarannya.
Putri Faradilla dan Kacek yang masih bengong pun melanjutkan perjalanannya. Dengan mengikuti iring-iringan warga ke lokasi mata air Sari Gangga, mereka perlahan-lahan memacu kudanya.
Tak berapa lama kemudian, bersama warga lainnya mereka pun sampai mata air.
Putri Faradilla dan Kacek yang baru pertama kali melihat air yang jernih itu pun berdecak kagum. Namun, mereka hanya sebatas kagum di perasaan saja, karena khawatir penyamaran mereka terbongkar. Mereka pun menambatkan kudanya di bawah pohon asam yang tidak jauh dari lokasi mata air. Apalagi acara sebentar lagi dimulai.
Sementara Kacek melihat ke sana kemari, namun mereka tidak menemukan warga dari Kerajaan Mantang.
Namun, dari kejauhan Kacek melihat sosok yang mirip dengan laki-laki yang baru dikenalnya. Sosok laki-laki itu mirip dengan Dabok. Orang yang mengajaknya menghadiri acara ritual di mata air Sari Gangga. Tapi, laki-laki itu berpakaian sangat rapi, kulitnya putih dan menggunakan sapuk (tali ikat kepala khas Lombok). Dia mirip dengan Pangeran Kumara, sosok yang membunuh Prabu Santana dengan anak panahnya.
Sementara di sampingnya berjalan perempuan yang menjadi panutan Kerajaan Sari Gangga, Putri Ayuning diiringi dayang-dayang kerajaan.
"Bukankah itu Dabok, Dil?" bisik Kacek pada Putri Faradila.
"Yang mana?" tanya Putri Faradila penasaran.
"Itu, yang berjalan sama Putri Ayuning," jawab Kacek sambil menunjuk ke arah gerbang istana.
"Hemmm," gumamnya. "Kalau melihat perawakannya, memang benar dia. Tapi kalau dari segi wajah, tak mungkin dia," ujarnya masih terus memastikan.
"Kalau yang ini agak putih. Sementara Dabok, kulitnya agak kehitam-hitaman," sahutnya lagi. "Tapi nanti saya cari tahu," ujarnya dalam hati.
Namun pembicaraannya mereka terputus, karena semua yang hadir diminta menyembah pada sang raja, karena mau menuju lokasi acara. Putri Ayuning dan Pangeran Kumara pun berjalan menuju lokasi yang telah dipersiapkan.
Sementara Prabu Brandana masih berada di istana sambil menunggu waktu yang telah ditetapkan, yakni matahari tegak lurus dengan bumi. Sampai akhirnya, ritual pun dimulai.
Pendeta utama, Resi Papuq Rowoh mulai membakar dupa dan kemenyan. Asap dan bau kemenyan itu pun memenuhi tempat ritual.
Seluruh warga Kerajaan Sari Gangga yang hadir dengan khusyuk mengikuti ritual sampai akhirnya acara selesai. Warga yang hadir berusaha mencari berkat dari air suci yang sudah didoakan bersama.
Secara bergantian warga meminum air yang sudah mereka siapkan sebelumnya di tempat yang mudah dibawa, seperti kuali, kendi maling. Mereka kemudian kembali mengisi air untuk dibawa pulang dan disiram di sekeliling rumah dan sawah ladangnya.
Sementara sesajen yang dibawa dibiarkan di tempat semula dengan harapan para dewa dan dewi menerima sesembahan yang diberikan. Selain itu, sebagai bentuk tanda syukur atas karunia yang telah diberikan setahun sebelumnya dan sukses untuk tahun berikutnya.
Pada bagian lain, Putri Faradila dan Kacek sudah bangkit dari tempat duduknya dan menuju sebuah pohon asem yang rindang. Mereka kemudian duduk beralaskan daun pisang yang merupakan bekas tempat duduk warga yang datang.
"Kita duduk di sini, Cek,'' kata Putri Faradila.
"Baik Dil, siapa tahu Dabok datang menemui kita," ujar Kacek.
Saat mereka duduk, tiga pasang mata dari kejauhan memperhatikan mereka. "Siapa itu, Kumara?" tanya Putri Ayuning pada Pangeran Kumara yang duduk di dekatnya.
"Kelihatannya, mereka bukan orang sini," timpal Prabu Brandana.
"Benar Kanda Prabu," jawab Pangeran Kumara. "Mereka teman saya. Saya ketemu mereka di Kopang kemarin," tambahnya.
"Coba perhatikan Dinda. Yang satu itu, sepertinya bukan laki-laki," celetuk Prabu Brandana sambil menunjuk ke arah tempat duduk Putri Faradila dan Kacek.
"Yang mana, kanda prabu," tanya Putri Ayuning penasaran.
"Itu dinda. Yang duduk sambil nyandar di pohon asem," jawab Prabu Brandana.
"Memang dia bukan laki-laki," jawab Pangeran Kumara pendek.
"Kok kamu tahu?" tanya Putri Ayuning penasaran.
"Dinda sama mereka sudah semalam dan setengah hari. Jadi saya tahu, mana laki-laki dan perempuan," jawab Kumara.
"Coba undang mereka datang ke istana nanti sore!" perintah Prabu Brandana. "Saya ingin kenalan dengan mereka," tambahnya.
"Baik kanda prabu," kata Kumara menyanggupi. Setelah itu, Pangeran Kumara bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju istana. Pangeran Kumara pun segera ganti baju dan kembali menyamar jadi rakyat biasa. (BERSAMBUNG)
0 komentar:
Post a Comment