Be Your Inspiration

Sunday, 31 January 2016

Tikar Pandan Lombok yang Terancam Punah

Membuat tikar pandan Lombok di Dusun Tunggu Lawang
Kuripan Lombok Barat
Dusun Tunggu Lawang Desa Kuripan Selatan dikenal sebagai sentra kerajinan tikar daun pandan duri di Lombok Barat (Lobar). Puluhan tahun lalu, hampir semua warga setempat menggeluti kerajinan tersebut. Hasil kerajinan perajin di dusun ini bahkan menyasar hingga ke luar daerah, seperti Bali dan Jawa.

Namun sekarang, kerajinan tikar itu hampir punah karena tidak ada regenerasi.  Apalagi banyak tikar produksi pabrik dari bahan baku plastik dan bahan lain yang dijual dengan harga murah dan tahan lama. Atas dasar itu, pelestarian apa yang menjadi peninggalan nenek moyang harus terus dipertahankan. Inilah yang menjadi tugas pemerintah dalam memberikan pemahaman pada masyarakat.


Tikar pandan Lombok.

Untuk menuju daerah kerajinan ini, butuh tenaga ekstra, karena lokasinya lumayan jauh berjarak sekitar 5 kilometer dari jalur besar Kuripan. Akses menuju lokasi itu juga cukup berat, melalui jalurnya rusak. Sepanjang jalur tersebut, terhampar lahan pertanian yang sudah ditanami bibit padi. Tampak dari kejauhan, hamparan sawah hijau. Selain dikenal sebagai daerah penghasil batu bata daerah ini juga sebagai daerah pertanian. Sekitar 30 menit di perjalanan, tibalah di kampung kerajinan tikar pandan Tunggu Lawang.

Salah satu perajin tikar pandan yang masih bertahan adalah Inaq Siti Aminah (60) atau biasa disapa Papuq Minah. Ia bertahan menjadi perajin, karena tak ada pilihan lain. Bahkan dari hasil kerajinan inilah, dirinya bertahan hidup dan menghidupi empat cucunya.

Meski sudah tua, tangan Papuq Minah masih cekatan menganyam helai demi helai daun pandan. “Saya menjadi perajin sejak puluhan tahun lalu, semenjak masih gadis. Dari jual kerajinan ini kami bisa makan,’’ tuturnya, Sabtu (23/1/2016).
Tikar Pandan Lombok yang peminatnya mulai berkurang

Diakuinya, puluhan tahun silam warga setempat hampir semuanya menggeluti kerajinan tikar. Banyaknya warga yang tertarik pada kerajinan ini, karena tidak ada pekerjaan lain. Selain itu, hasil jualnya pun lumayan. Di era keemasannya, hasil kerajinan tikar yang diproduksi warga setempat dijual ke luar daerah. Dirinya menjual hingga ke Bali dan ke Jawa melalui pengepul.  Bahkan, karena hasil kerajinan ini banyak dicari oleh peminatnya kerap kali ia kesulitan memenuhi pesanan.

Namun, seiring waktu, justru kerajinan ini makin mundur saja. Hal ini dikarenakan, warga tak banyak lagi menggelutinya. Warga beralih ke pekerjaan lain yang lebih cepat memberi penghasilan dan lebih banyak untungnya. Warga mulai berpindah membuat batu bata, memecah batu dan lain-lain. Penyebab lainnya, warga tak lagi banyak menggeluti kerajinan tikar, karena bahan baku daun pandan duri semakin sulit diperoleh.

Pohon pandan duri yang merupakan bahan baku tikar pandan. 

Daun ini, memiliki musim petik. Perajin perlu menunggu waktu lumayan lama menunggu daun tumbuh. Hal ini menyebabkan warga banyak memakai lahan tanaman pandannya untuk membuat batu bata.

Di tengah banyak warga meninggalkan kerajinan tikar pandan, ia sendirian tetap bertahan membuat kerajinan. Di dusun itu, tinggal dua orang yang masih menjadi perajin. Menurutnya, untuk membuat kerajinan tikar ini ia butuh modal Rp 50 ribu lebih. Modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan lelah dan untung yang diperoleh. Dengan modal Rp 200 ribu, ia hanya mampu membeli 4 kodi (gulung) daun pandan duri. Di dalam satu kodi, terdapat 15-20 lembar daun pandan duri. Belum lagi, dirinya kesulitan memperoleh bahan baku di lapangan.
Tikar pandan yang sudah dikeringkan dan siap dianyam menjadi tikar

Baginya, proses pembuatan tikar ini terbilang mudah-mudah sulit. Ia yang terbiasa membuat tikar, dalam sehari hanya mampu membuat 3-4 buah tikar. Proses pembuatannya mulai dari penjemuran daun pandan. Proses penjemuran ini pun tergantung kondisi cuaca. Jika kondisi panas, maka penjemuran bisa dua minggu saja. Sedangkan jika kondisi hujan, seperti saat ini waktu jemur bisa hingga tiga-empat minggu.  “Kalau tidak kering sekali daun pandannya sulit dianyam,”imbuhnya.

Setelah dijemur, barulah peroses selanjutnnya digulung. Proses penggulungan ini juga memakan waktu. karena perlu kesabaran dan ketelatenan.

Untuk membuat satu buah tikar, memerlukan 2-3 kudi. Dalam sehari katanya, ia mampu membuat 3 buah tikar. Setelah selesai dibuat, tikar-tikar buatannya dipasarkan langsung ke Pasar Gerung dan Kuripan. Biasanya ia menjual tikarnya ke pasar Gerung sekali seminggu, biasanya hari Rabu. Tikar buatannya langsung dijual ke pengepul dengan harga miring. Selain itu, ia juga membawa ke pasar Kuripan. Biasanya, tikarnya akan dibeli oleh pembeli dari Sukarara Lotim. Ia mengaku dari hasil penjualan, ia memperoleh bayaran Rp 300 ribu lebih.

Dari hasil penjualan ini, ia hanya memperoleh untung Rp 50-60 ribu saja. Sebab sisa hasil penjualannya disimpan untuk modal membeli bahan baku daun pandan duri. Sedangkan untung yang diperoleh digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Meski demikian, untung dari jual kerajinan tikar pandan sangat kurang, karena dirinya harus memberi makan 4 cucunya.  Selain itu, dirinya tak memperoleh bantuan dana dari pemerintah. Namanya tak tercatat sebagai penerima bantuan. Ia sendiri heran kenapa dirinya tak masuk sebagai penerima bantuan dana dari pemerintah di era Presiden Joko Widodo. “Rumah pun saya tidak ada, saya ini numpang di rumah anak,” ujarnya. (heru/Lombok Barat)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive