Membuat tikar pandan Lombok di Dusun Tunggu Lawang Kuripan Lombok Barat |
Dusun Tunggu Lawang Desa Kuripan Selatan dikenal sebagai sentra
kerajinan tikar daun pandan duri di Lombok Barat (Lobar). Puluhan tahun lalu,
hampir semua warga setempat menggeluti kerajinan tersebut. Hasil kerajinan
perajin di dusun ini bahkan menyasar hingga ke luar daerah, seperti Bali dan
Jawa.
Namun sekarang, kerajinan tikar itu hampir punah karena
tidak ada regenerasi. Apalagi banyak
tikar produksi pabrik dari bahan baku plastik dan bahan lain yang dijual dengan
harga murah dan tahan lama. Atas dasar itu, pelestarian apa yang menjadi
peninggalan nenek moyang harus terus dipertahankan. Inilah yang menjadi tugas
pemerintah dalam memberikan pemahaman pada masyarakat.
Tikar pandan Lombok. |
Untuk menuju daerah kerajinan ini, butuh tenaga ekstra,
karena lokasinya lumayan jauh berjarak sekitar 5 kilometer dari jalur besar
Kuripan. Akses menuju lokasi itu juga cukup berat, melalui jalurnya rusak.
Sepanjang jalur tersebut, terhampar lahan pertanian yang sudah ditanami bibit
padi. Tampak dari kejauhan, hamparan sawah hijau. Selain dikenal sebagai daerah
penghasil batu bata daerah ini juga sebagai daerah pertanian. Sekitar 30 menit
di perjalanan, tibalah di kampung kerajinan tikar pandan Tunggu Lawang.
Salah satu perajin tikar pandan yang masih bertahan adalah
Inaq Siti Aminah (60) atau biasa disapa Papuq Minah. Ia bertahan menjadi
perajin, karena tak ada pilihan lain. Bahkan dari hasil kerajinan inilah, dirinya
bertahan hidup dan menghidupi empat cucunya.
Meski sudah tua, tangan Papuq Minah masih cekatan menganyam
helai demi helai daun pandan. “Saya menjadi perajin sejak puluhan tahun lalu,
semenjak masih gadis. Dari jual kerajinan ini kami bisa makan,’’ tuturnya, Sabtu (23/1/2016).
Tikar Pandan Lombok yang peminatnya mulai berkurang |
Diakuinya, puluhan tahun silam warga setempat hampir
semuanya menggeluti kerajinan tikar. Banyaknya warga yang tertarik pada kerajinan
ini, karena tidak ada pekerjaan lain. Selain itu, hasil jualnya pun lumayan. Di
era keemasannya, hasil kerajinan tikar yang diproduksi warga setempat dijual ke
luar daerah. Dirinya menjual hingga ke Bali dan ke Jawa melalui pengepul. Bahkan, karena hasil kerajinan ini banyak
dicari oleh peminatnya kerap kali ia kesulitan memenuhi pesanan.
Namun, seiring waktu, justru kerajinan ini makin mundur
saja. Hal ini dikarenakan, warga tak banyak lagi menggelutinya. Warga beralih ke
pekerjaan lain yang lebih cepat memberi penghasilan dan lebih banyak untungnya.
Warga mulai berpindah membuat batu bata, memecah batu dan lain-lain. Penyebab
lainnya, warga tak lagi banyak menggeluti kerajinan tikar, karena bahan baku
daun pandan duri semakin sulit diperoleh.
Pohon pandan duri yang merupakan bahan baku tikar pandan. |
Daun ini, memiliki musim petik. Perajin perlu menunggu waktu
lumayan lama menunggu daun tumbuh. Hal ini menyebabkan warga banyak memakai
lahan tanaman pandannya untuk membuat batu bata.
Di tengah banyak warga meninggalkan kerajinan tikar pandan,
ia sendirian tetap bertahan membuat kerajinan. Di dusun itu, tinggal dua orang
yang masih menjadi perajin. Menurutnya, untuk membuat kerajinan tikar ini ia
butuh modal Rp 50 ribu lebih. Modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan lelah
dan untung yang diperoleh. Dengan modal Rp 200 ribu, ia hanya mampu membeli 4 kodi
(gulung) daun pandan duri. Di dalam satu kodi, terdapat 15-20 lembar daun pandan
duri. Belum lagi, dirinya kesulitan memperoleh bahan baku di lapangan.
Tikar pandan yang sudah dikeringkan dan siap dianyam menjadi tikar |
Baginya, proses pembuatan tikar ini terbilang mudah-mudah
sulit. Ia yang terbiasa membuat tikar, dalam sehari hanya mampu membuat 3-4
buah tikar. Proses pembuatannya mulai dari penjemuran daun pandan. Proses
penjemuran ini pun tergantung kondisi cuaca. Jika kondisi panas, maka
penjemuran bisa dua minggu saja. Sedangkan jika kondisi hujan, seperti saat ini
waktu jemur bisa hingga tiga-empat minggu.
“Kalau tidak kering sekali daun pandannya sulit dianyam,”imbuhnya.
Setelah dijemur, barulah peroses selanjutnnya digulung.
Proses penggulungan ini juga memakan waktu. karena perlu kesabaran dan ketelatenan.
Untuk membuat satu buah tikar, memerlukan 2-3 kudi. Dalam
sehari katanya, ia mampu membuat 3 buah tikar. Setelah selesai dibuat,
tikar-tikar buatannya dipasarkan langsung ke Pasar Gerung dan Kuripan. Biasanya
ia menjual tikarnya ke pasar Gerung sekali seminggu, biasanya hari Rabu. Tikar
buatannya langsung dijual ke pengepul dengan harga miring. Selain itu, ia juga
membawa ke pasar Kuripan. Biasanya, tikarnya akan dibeli oleh pembeli dari
Sukarara Lotim. Ia mengaku dari hasil penjualan, ia memperoleh bayaran Rp 300
ribu lebih.
Dari hasil penjualan ini, ia hanya memperoleh untung Rp
50-60 ribu saja. Sebab sisa hasil penjualannya disimpan untuk modal membeli
bahan baku daun pandan duri. Sedangkan untung yang diperoleh digunakan untuk
membeli kebutuhan sehari-hari.
Meski demikian, untung dari jual kerajinan tikar pandan sangat kurang, karena dirinya harus memberi makan 4 cucunya. Selain itu, dirinya tak memperoleh bantuan dana dari pemerintah. Namanya tak tercatat sebagai penerima bantuan. Ia sendiri heran kenapa dirinya tak masuk sebagai penerima bantuan dana dari pemerintah di era Presiden Joko Widodo. “Rumah pun saya tidak ada, saya ini numpang di rumah anak,” ujarnya. (heru/Lombok Barat)
0 komentar:
Post a Comment