Nurhayati, salah satu penenun di Desa Peteluan Indah Lingsar membuat kain pesanan. Bersama suami Sapoan, mereka ingin menjadikan Desa Peteluan Indah sebagai sentra tenun di Lobar bagian utara. |
Selama ini, desa yang dikenal sebagai sentra tenun di
Lombok adalah Desa
Sukarara di Lombok Tengah dan Pringgasela di Lombok Timur. Di Lombok Barat (Lobar),
usaha tenun bisa dijumpai di Gerung. Namun, di Lobar bagian utara, usaha
kerajinan tangan dari alam, seperti ketak, bahan kelapa yang lebih banyak
eksis.
Inilah yang melatarbelakangi Sapoan, warga Dusun
Menjeli Permai, Desa Peteluan Indah, Lingsar, untuk memulai usahanya menjadikan
desanya sebagai sentra tenun Lombok di Lobar. “Saya memulai usaha ini sejak tahun 2013 silam setelah
saya menikah dengan istri saya yang berasal dari Sukarara,” terang pria pemilik
UD Galih Sasak ini saat ditemui di rumah sekaligus bengkel kerjanya.
Keterampilan istrinya, Nurhayati, menenun kain menjadi
modal awalnya memulai bisnis tenun. “Dulu alatnya hanya 1, itu pun kita buat
sendiri karena modal yang masih terbatas,” terang pria penyandang tunanetra
ini. Tetapi meskipun begitu, dirinya tidak menyerah untuk mulai memperkenalkan
tenun,
terutama kepada masyarakat sekitar rumahnya.
“Awalnya mereka cuman nanya-nanya saja, baru lama-lama tertarik
untuk belajar kepada saya,” kata Sapoan.
Tenun yang dibuatnya merupakan tenun yang biasa dibuat
istrinya dulu saat masih menjadi penenun di Sukarara. “Motif-motifnya merupakan motif
tradisional seperti Subahnala, Rangrang, dan lainnya,” ujarnya.
Nurhayati, salah satu penenun di Desa Peteluan Indah Lingsar |
Dalam menyusun motif kain, ia mengaku langsung pergi
ke Sukarara untuk meminta penyusunan benang serta motif kain tenunannya. “Kalau
di sini,
kami belum bisa makanya ke sana langsung,” terangnya.
Sedangkan benang yang dipakainya, kata Sapoan,
dibelinya di pasar terdekat. “Sama seperti yang lain, 1 buah kain tenun bisa
menghabiskan waktu sampai 1 bulan untuk dikerjakan. Paling cepat 15 hari jika
dikerjakan secara rutin,” tukasnya.
Ia menerangkan agar proses penenunan cepat selesai,
dirinya membagi tugas dengan istrinya. “Dia yang menenun, saya yang merangkai
benangnya,” tambahnya.
Untuk 1 buah kain tenun, Sapoan mematok harga mulai Rp 400 – 650 ribu
tergantung motif dan tingkat kesulitan kain. “Sudah banyak yang memesan ke
kami, mulai dari masyarakat sekitar sini sampai di sekitar Mataram,” ujarnya.
Niat awalnya yang ingin memperkenalkan tenun kepada
masyarakat sekitar pun terbukti berhasil, dilihat dari banyaknya masyarakat
yang ingin belajar menenun padanya. “Tingginya respons masyarakat itu, pihak desa
pun memberikan bantuan 5 alat tenun yang kami gunakan untuk memberikan
pelatihan tenun ke masyarakat,” terangnya.
Sapoan membagi 2 kelompok untuk pelatihan tenun
tersebut, yaitu kelompok non difabel dan kelompok difabel. “Metode pengajaran
untuk kelompok difabel dan non difabel ini berbeda sehingga harus dipisah,”
katanya.
Kelompok non difabel seperti dari kalangan ibu-ibu dan
remaja pengangguran ini, tambahnya, sudah mulai menunjukkan hasil karena kualitas tenunan mereka sudah
cukup bagus. “Kelompok difabel juga begitu, tetapi karena keterbatasan alat
jadinya mereka dilatih secara bergantian,” tukasnya.
Sapoan menceritakan bahwa beberapa waktu lalu dirinya
pernah dikunjungi oleh instansi terkait untuk melihat usahanya. “Mereka datang
untuk melihat langsung bagaimana kerja saya dan menjanjikan bantuan, semoga
benar,” harapnya.
Ia mengaku sangat ingin desanya dikenal sebagai sentra
tenun di Lombok Baratagar bukan hanya di daerah lain saja yang dikenal. “Bahkan
pak bupati Lobar kaget saat tahu di Peteluan Indah ada tenun karena selama ini
di Lobar belum ada, kecuali yang di Gerung itu,” jelasnya. (Uul Efriyanti Prayoba)
0 komentar:
Post a Comment