Rusa, maskot NTB yang terancam punah |
Siapa yang tidak mengenal rusa. Atau orang Lombok menyebut,
hewan yang menjadi maskot NTB ini dengan nama mayung. Populasinya
setiap waktu terus menyusut. Perburuan liar, dan minimnya kegiatan penangkaran
membuatnya yang tersisa sekitar seribuan ekor. Padahal, Mayung ini telah
menjadi maskot NTB, bersamaan dengan lahirnya provinsi dengan dua pulau ini.
JENIS rusa
atau dengan nama latin (Cervus spp) merupakan satwa dilindungi. Hal ini sesuai
dengan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, jenis rusa
termasuk jenis satwa dilindungi. Jenis rusa di NTB adalah Rusa Timor (Cervus
timorensis). Sebagai hewan yang menjadi konsumsi dan peliharaan masyarakat,
Rusa Timor cukup banyak diminati, baik dari dalam daerah maupun luar daerah.
Tak heran, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB banyak mencegah
pengiriman rusa di pintu keluar dan masuk NTB
Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA NTB Lugi Hartanto,
menyebut, jumlah Rusa Timor di NTB di
alam saat ini populasinya diperkirakan hanya sekitar 1000-an ekor dan populasi
di penangkaran 500-an ekor.
Populasi tersebut, tersebar di beberapa kawasan baik hutan
konservasi maupun hutan lindung dan Hutan Produksi, Taman Nasional Gunung
Rinjani, Taman Nasional Tambora, Pulau Moyo, Beberapa kawasan hutan lindung
Rinjani dan sekitarnya, cagar alam Sangiang dan beberapa kawasan hutan lainnya.
Padahal berdasarkan survei rusa dan data di Pulay Moyo saja
pada tahun 1985. Populasi rusa sangat melimpah diperkirakan sebanyak 6.000 ekor
dan pada tahun 1995 atau 20 tahun kemudian jumlah populasinya di Pulau Moyo
menurun drastis diperkirakan sebanyak 1.000 ekor, karena perburuan.
Saat ini di Pulau Moyo, diperkirakan populasinya hanya
sekitar 200-an ekor. Penyebab lainnya, selain perburuan liar adalah kerusakan
habitat alami rusa yaitu kerusakan hutan akibat penebangan, kebakaran hutan dan
konversi hutan menjadi lahan.
Rusa NTB |
Perburuan rusa atau perburuan satwa dilindungi jenis rusa
merupakan tindak pidana. Hal ini dipertegas pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 21 ayat (2) jo pasal
40 ayat (2) bahwa setiap orang dilarang untuk
menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut,
dan memperniagakan satwa satwa dilindungi. Di mana, sanksi pidananya penjara
paling lama 5 tahun dan denda Rp100 juta.
“Upaya yang dapat dilakukan untuk perlindungan rusa adalah
perlindungan dan pengamanan habitat alam yaitu hutan,dengan menekan perburuan
liar satwa tersebut, sosialisasi dan kampanye perlindungan jenis tersebut, dan
upaya peningkatan populasi melalui penangkaran rusa sebagai upaya budidaya
meningkatkan populasi rusa melibatkan masyarakat,” kata Lugi.
BKSDA NTB telah memberikan izin penangkaran kepada 50
penangkar. Izin penangkaran diterbitkan oleh BKSDA dengan salah satu syarat,
penangkar memiliki kewajiban mengembalikan ke alam sebesar 10 persen dari total
peningkatan populasi. “10 persen inilah
yang kami tagih ke penangkar. Salah satunya kepada PT. Sadhana Arifnusa,” kata
Lugi.
PT. Sadhana adalah salah satu penangkar besar rusa di NTB.
dia termasuk yang sukses melakukan penangkaran. Karena itu, F2 dari hasil
penangkarannya, ditarik untuk dilepasliarkan kembali ke alam. Demikian juga
penangkar-penangkar lainnya dari sebanyak 50-an izin penangkaran diterbitkan
BKSDA. “Kalau total 600 ekor populasi rusa di penangkaran, 10
persen kita tarik, lumayan itu untuk mendukung re-stoking,” imbuhnya.
Ia juga mendukung pengembangan jumlah penangkar rusa di NTB.
izin-izin akan dipermudah, cukup dengan biaya Rp500.000 untuk Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP), BKSDA akan menerbitkannya. Akan tetapi, syarat lain yang
paling utama tentu kesediaan penangkar untuk pemeliharaan/perawatan, mendapat
izin-izin dari lingkungan. Rusa yang akan dipelihara harus berkelamin jantan
dan betina. Satu jenis kelamin, izin tak diterbitkan. Karena tak mendukung
pengembangbiakannya. “Selama dipelihara dengan baik, boleh dikembangbiakkan
sendiri. Dan kita akan terbitkan izin penangkarannya,” imbuh Lugi.
Membuka ruang bagi penangkaran rusa ini juga berpotensi
secara ekonomis. Daging rusa bisa dijadikan kuliner khas NTB. pemerintah
memberikan ruang bagi masyarakat/penangkar untuk memperjualbelikannya, atau
untuk dipotong. “Setelah 10 persen dipenuhi, sisanya bisa dipotong, atau
bisa diperjualbelikan, khusus untuk cucunya. Dan ini bisa menjadi kuliner khas
NTB,” jelas Lugi.
0 komentar:
Post a Comment