Be Your Inspiration

Tuesday, 16 June 2015

Perajin Topeng Labuapi Lombok Barat Banyak Beralih Profesi

Saheh, perajin topeng dari Labuapi menunjukkan hasil karyanya. 

Desa Labuapi Kecamatan Labuapi sudah dikenal menjadi sentra perajin topeng dan kerajinan kayu sejak tahun 1995. Krisis moneter yang melanda negara ini pada tahun 1998 bahkan tidak mempengaruhi kegiatan desa ini. Bahkan, kerajinan kayu ini mencapai masa jayanya pada era krisis tersebut.

Namun setelah kejadian Bom Bali
hingga sekarang, kerajinan ini mulai meredup.  Penyebabnya, pascabom Bali pangsa pasar kerajinan ini pun ikut terkena imbas sebab sebagian besar dipasarkan ke Bali.
Selain itu, minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap pembinaan para perajin menyebabkan perajin banyak yang banting setir ke usaha lain. Akibatnya, kerajinan topeng di desa ini di ambang mati suri, karena banyak ditinggal oleh para pengerajinnya.
Topeng khas Labuapi Lobar yang diklaim daerah lain. 

Salah seorang perajin yang masih bertahan adalah Saheh (40). Ia mengakui, memulai usaha sebagai perajin topeng sejak 17 tahun silam, persisnya tahun 1998-1999. Ketika itu, kerajinan topeng tengah naik daunnya. “Dulunya hampir 100 persen warga di kampung ini sebagai perajin, tapi sekarang jauh berkurang,” tuturnya saat ditemui di rumahnya, Minggu (14/6/2015).

Dulunya, kerajinan topeng menjadi salah satu sumber utama mata pencaharian masyarakat setempat. Waktu itu, ujarnya, hampir di setiap rumah warga  ada saja membuat kerajinan topeng. Ada kelompok pembuat topeng, pengamplas, pemahat, hingga proses finishing. Bahkan karena majunya kerajinan ini saat itu, anak SD – SMP pun ikut mencari uang melalui kerajinan ini.

Warga pun membentuk paguyuban untuk terus mempertahankan eksistensi kerajinan ini.  Kelompok-kelompok dibentuk secara swadaya untuk terus mengembangkan usaha ini, sebagai sektor utama di desa setempat. Dari sisi tingkat produksi kerajinan topeng waktu itu pun jauh lebih banyak, per bulan para perajin bisa memproduksi mencapai 3-5 ribu topeng per bulan, karena banyak yang memesan.  Sehingga hampir setiap pekan ada saja perajin yang berangkat ke Bali mengirim topeng.

Namun setelah tahun 2002, pascabom bali kerajinan ini mulai cenderung meredup. Kelompok yang tadinya aktif menjadi kurang aktif, sehingga banyak perajin yang pindah ke usaha lain. Ada yang ke bekerja di gudang, proyek dan sebagai buruh. Namun ia sendiri tetap bertahan, karena ingin mempertahankan kerajinan topeng khas Labuapi.

Diakuinya, kemerosotan kerajinan ini saat itu,  karena pengaruh pemasaran. Karena pengaruh kejadian Bom Bali, pemasaran topeng ini pun terkena imbas. Sebab bebanyakan pemasaran topeng dikirim ke Bali ditambah minimnya perhatian pemerintah daerah kerajinan ini pun semakin terpuruk. Tingkat produksi pun jauh menurun hampir 50 persen dari sebelumnya. “Pengunjung dan pemesan sepi, para perajin pun banyak yang gulung tikar,” akunya.

Selama belasan tahun sebagai perajin tidak pernah dibantu, baik itu akses modal dan peralatan oleh pemda dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Padahal, katanya, para perajin kesulitan akses modal. Ketika harus memenuhi pesanan dalam partai besar, para perajin ini kerap kali kesulitan modal untuk biaya produksi, karena pemesan hanya memberikan uang muka 5 persen. Akibatnya, banyak perajin terpaksa saling meminjam uang untuk menutupi sementara biaya produksi, setelah dibayar lunas oleh pemesan barulah bisa didibayar.

Para perajin juga terkendala peralatan. Kebanyakan para perajin membeli peralatan secara swadaya. Bahkan, ia terpaksa menggadaikan BPKB kendaraannya untuk bisa membeli peralatan seperti kompresor, pemahat, parang dan parang. Sementara untung yang diperoleh para perajin sendiri tidak terlalu besar, dibandingkan biaya produksi jauh lebih besar.

Harga jual topeng bervariasi tergantung ukuran dan kualitas, kalau kualitas topeng bagus harga jualnya Rp 55 ribu, sedangkan yang berukuran kecil Rp 40 ribu. “Itupun modalnya Rp 40 ribu, untungnya hanya Rp 15 ribu, itu pun masih kotor belum dihitung untuk para guide,” ujarnya.

Untuk menghidupkan lagi kerajinan di desanya, ia berharap pemda melirik para perajin yang masih ada. Pemda harus memberikan akses peralatan dan permodalan untuk mengembangkan usaha kerajinan topeng yang menjadi mata pencaharian turun temurun di desa itu.

Terpisah, Camat Labuapi, Baiq Mustika tak menampik jika kerajinan topeng memang mulai menurun. Karena itu pihanya akan berupaya menghidupkan lagi kerajinan yang sempat jaya di era tahun 1998 lalu tersebut. “Kami akan berkoordinasi dengan Dinas Perindag dan Dinas Koperasi untuk pembinaan pengerajin,” janjinya.

Pemda katanya pasti akan mengembangkan kerajinan ini, karena adanya program desa tematik, sebab Desa Labuapi bersama Desa Kuranji Dalang masuk desa wisata. Diharapkan dengan ditetapkannya sebagai desa tematik, maka usaha ini kembali bisa dikembangkan lagi.

‘’Untuk sementara, pemda dan kecamatan minimal perlu menjadi pengguna pertama hasil kerajinan topeng di Desa Labuapi. Hasil kerajinan bisa dibeli untuk keburuhan ornamen di kantor,’’ ungkapnya. (Heru)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive