![]() | |
|
Kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia dan terbilang
terindah di Asia Tenggara itu diketahui merupakan warisan dunia yang sudah di
tetapkan UNESCO. Komplek Candi seluas 39,8 hektar sangat ramai dikunjungi para
wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Masuk kompleks candi pengunjung dewasa membayar biaya masuk
sebesar Rp 40 ribu dan Rp20 ribu bagi anak-anak. Meski di dalam ada beberapa
pilihan suguhan atraksi unik berbayar, namun sangat banyak yang menikmatinya.
Selain suguhan keunikan candi setinggi 47 meter, para pengunjung bisa
berswafoto dan menikmati sajian atraksi yang cukup beragam. Meski di luar harga
tiket, namun cukup banyak yang menikmati kesenangan berwisata di Candi
Prambanan atau disebut juga Candi Roro Jongrang ini. Sekitar kawasan candi ini
juga sudah ada museum.
Di pintu keluar, semua pengunjung melewati pasar yang
menjual oleh-oleh khas Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ada baju dan souvenir dengan
beragam bentuk dan model yang menarik. Penempatan pasar pada pintu keluar
seperti "memaksa" pengunjung untuk berbelanja.
Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Dispar Lotim, Ahyak
Mudin mengatakan
secara prinsip semua destinasi itu sama. Ada objek wisata berupa alam pantai,
gunung dan situs budaya serta situs bersejarah lainnya. Hanya saja dalam
tataran manajerial ada beberapa perbedaan-perbedaan. Termasuk yang bisa dipelajari di Perambanan yang dinilai
sudah cukup profesional dalam menata destinasi.
Dalam hal manajemen tata kelola destinasi, Lotim perlu
banyak belajar dari Bali dan Jawa. Pilihannya berkunjung ke Yogyakarta,
khususnya ke Taman Wisata Prambanan karena diketahui sudah ada keterlibatan
masyarakat sekitar dan pemerintah. Destiasi dikelola oleh masyarakat dengan
konsep Destination Managament
Organization (DMO). "Ini bisa menjadi sampel yang bagus untuk
dikembangkan di Lombok Timur," ungkapnya.
Menurut Ahyak, DMO ada dua sisi besar. Bisa melibatkan
masyarakat pada sisi pertama dan kehadiran dari pemerintah sendiri. Jajaran
pemerintah, tersebut Dispar perlu mendorong penguatan sumberdaya manusia di
birokrasi dan pelaku wisata. Sisi kedua perlu penguatan komunitas-komunitas
pelaku wisata. Banyak komunitas yang perlu di dorong terus untuk lebih
profesional. "Seperti Pokdarwis, kelompok wanita dan komunitas lain yang
ada di sekitar destinasi wisata,"
ucapnya.
Penguatan kapasitas pun tidak bisa sembarangan. Perlu
dibuatkan kelembagaannya. Terpenting keterakuan komunitas dalam bentuk
regulasi. "Semisal ada SK Bupati untuk melegalkan komunitas tersebut
sehingga tidak berbenturan dengan komunitas lain," imbuhnya.
Selanjutnya mengenai kemasan atau desain di kawasan
destinasi dalam konteks wisata kekinian tidak perlu sama. Apa yang terlihat di
Perambanan tidak sama karakteristiknya dengan Lombok. Pasalnya, dalam
pengaturan tata kelola harus melihat karakteristik destinasi. Semisal soal
kepurbakalaan atau situs-situs budaya mungkin berbeda dengan pantai atau gunung
yang menjadi karakteristik Lotim. "Karenanya kita coba fokuskan pembelajarannya pada manajemen.
Masalah desain destinasi lanjutnya, sedapat mungkin tata lay out-nya tidak meninggalkan
karakteristik setempat. Tata kelola ini harus berkelanjutan. Tidak saja bangunan
fisik yang dihadirkan. Semisal spot foto di objek wisata. Tidak diinginkan
bertahan setahun saja lalu ditinggalkan karena berubah. "Kita inginnya
yang sustainabel, antar fisik dan program ini berkelanjutan. Pemeritah dengan
peran serta masyarakatnya semua berkelanjutan menikmati kemajuan wisata," katanya.
(Rusliadi/Lombok Timur)
0 komentar:
Post a Comment