Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi tukar cenderamata dengan Pimpinan rombongan Komisi X DPR RI Ferdiansyah. |
Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi menerima
kunjungan Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur
NTB, Jumat (17/6/2016). Hadir Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
NTB H. L. Moh. Faozal dan sejumlah budayawan. Maksud Kunjungan Komisi X adalah menjaring
informasi yang substansif dari budayawan dalam rangka perumusan Rencana
Undang-Undang (RUU) tentang Kebudayaan.
Pimpinan rombongan yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia
Kerja (Panja) RUU tentang Kebudayaan Ferdiansyah, SE, MM memilih Provinsi NTB
sebagai salah satu daerah kunjungan, karena memandang Provinsi NTB sebagai
salah satu provinsi yang kaya akan budaya. “RUU ini cukup panjang
perjalanannya. Oleh karena itu, kami membutuhkan masukan terkait materi apa
saja yang belum masuk ke dalam RUU tersebut,” ujarnya.
Latar belakang perumusan RUU tentang Kebudayaan,
karena ada kehawatiran terjadinya infiltrasi budaya akibat dari efek negatif
globalisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum yang menyeluruh untuk
mencegah terjadinya infiltrasi budaya yang dapat mengikis kebudayaan nasional. “Di
sini kami ingin memberikan payung hukum dalam usaha pelestarian budaya nasional
maupun budaya daerah. Jati diri bangsa terlihat dari bagaimana kita
mempertahankan kearifan lokal. Kekuatan bangsa Indonesia hadir karena
kebhinekaannya,” ungkap Ferdiansyah.
Menanggapi kunjungan ini, Gubernur NTB TGH. M.
Zainul Majdi menyampaikan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam
merumuskan UU tentang Kebudayaan. Pertama, definisi kebudayaan nasional harus
disepakati bersama. “Apa saja cakupan kebudayaan nasional. Jika ada pembatasan,
harus ada dasar pembatasan tersebut. Jadi, perlu adanya kejelasan tentang konsep
kebudayaan nasional,” jelasnya.
Kedua, penting bagi pemerintah daerah mengetahui posisi
kebudayaan daerah di kebudayaan nasional. Banyak sekali inisiatif-inisiatif
kebudayaan yang berkembang di daerah perlu diapresiasi oleh kebudayaan
nasional. Ketiga, Indonesia belum memandang kebudayaan sebagai suatu aset atau
kebanggaan. “Contoh sederhana harusnya tayangan di maskapai Indonesia
menunjukkan kekayaan budaya di daerah tersebut, sehingga ketika penumpang
berkunjung ke daerah tersebut mengetahui bahwa daerah yang akan dikunjungi
memiliki kekayaan budaya yang luar biasa,” pungkasnya. (*)
0 komentar:
Post a Comment