Belanja di ritel modern |
Jumlah ritel modern semacam Indomaret dan Alfamart di NTB
kian tak terbendung. Keberadaannya bahkan menembus lokasi yang seharusnya tidak
mereka tempati. Keberadaan ritel ini tidak hanya menjual produk dari luar, tapi
dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tempat mereka beroperasi. Sayangnya,
janji untuk mengakomodir produk lokal seperti menjadi macan kertas. Terbukti
hingga saat ini para pelaku UMKM mengaku sangat kesulitan masuk di ritel
modern. Kenapa?
SEKDA NTB Ir. H. Rosiady H. Sayuti, MSc., PhD, dalam sebuah
forum UMKM beberapa waktu lalu mengkritik ketatnya persyaratan dari produk UMKM
agar bisa masuk ke ritel modern. Pengelola UMKM harus dihadapkan dengan syarat
standarisasi produk yang begitu ketat. Selain itu, produk yang diterima ritel
modern, pengusaha UMKM harus menerima pembayaran dalam jangka waktu yang cukup
lama.
Sekda menceritakan pengalamannya langsung bagaimana sulitnya
produk lokal masuk ritel modern. Bahkan kesan yang muncul pada sekda, masuknya
produk ke ritel modern sengaja dipersulit. Inilah menjadi PR besar pemerintah
daerah mengawal komitmen kerjasama dengan ritel modern.
Konsumen pilih produk di ritel modern |
Pemprov NTB kerap menerima laporan mengenai
ketidakberpihakan ritel modern dengan para pelaku UMKM. Misalnya, memberikan
tempat yang tidak strategis bagi produk lokal, harga produk lokal di naikkan.
Sepertinya “seolah-olah” produk lokal memang tak diberi ruang untuk bersaing
mendapat simpati pasar. Dua bulan barang tidak laku, dikembalikan kepada
produsennya, dengan biaya pengembalian ditanggung sendiri oleh produsen.
Apa yang disampaikan Sekda NTB
ini sejalan dengan pengakuan sejumlah pengusaha UMKM di NTB. Hj. Zaenab, misalnya. Pemilik produk
sambel cengeh yang dijual di salah satu ritel berjaringan nasional mengakui
bagaimana sulitnya memasukkan produknya di ritel modern. Sejumlah persyaratan
harus dipenuhi, termasuk lamanya waktunya pembayaran produk.
Menurutnya, jika pengelola UMKM ingin memasukkan produknya harus
memperhatikan beberapa hal. “Yang paling diperhatikan adalah standarisasi
produknya, seperti kemarin saat mereka meminta untuk segel, langsung saya
penuhi,” terangnya.
Selain itu, produk UKM yang masuk ke ritel modern harus
dibekali dengan modal yang besar karena menurut pengalamannya, selama 3 bulan
pertama pengusaha tidak dibayar oleh ritel. “Bisa dibilang, itu kita seperti
menabung di sana karena mereka pesannya sampai ribuan botol, jadi benar-benar
harus kuat di modal,” kata Zaenab, Sabtu (9/12).
Tetapi, setelah 3 bulan dilewati, barulah dirinya mendapatkan
hasil dari produk yang dititipkan di ritel tersebut. “Sekarang tiap bulan
mereka pesannya sampai 1-2 dus sambal dan pembayarannya lancar, masih ada uang
saya di sana yang dari 3 bulan sebelumnya itu sebesar Rp 28 juta,” terangnya.
Produk Zaenab yang sudah hampir setengah tahun di ritel
modern itu diterima dengan baik oleh konsumen. “Saya sendiri yang langsung
datang ke kantornya dengan membawa sampel produk saya, baru kemudian mereka
mengecek langsung ke tempat saya dan deal,” jelasnya.
Produk lokal NTB di ritel modern |
Para pelaku UKM yang ingin produknya masuk ritel meodern,
imbuhnya, benar-benar harus memperhatikan kemasan dan masa kedaluwarsa. “Kalau
produk olahan seperti makanan itu karena kalau masa kwdaluarsanya kurang dari 8
bulan agak sulit, karena kalau di-return,
kita juga yang rugi,” jelasnya.
Untuk menghindari itu, ia biasanya menarik produknya 1-2
bulan sebelum masa kedaluwarsa dan dijual kembali. “Masa kedaluwarsa produk
saya 10 bulan, jadi 2 bulan sebelumnya saya jual kembali biar cepat habis,”
kata Zaenab.
Hal senada disampaikan Ahmad Ritaudin, pemilik produk kopi
Awet Muda, Narmada. Ia mengaku produknya sempat masuk ke ritel modern seperti
Transmart, tetapi sekarang dirinya mengaku tidak fokus ke sana lagi. “Produk
saya bisa masuk ke sana kemarin lewat koperasi, tetapi sekarang saya lebih
fokus untuk mencari pasar sendiri, baik melalui sosial media atau promosi,”
terangnya.
Hal ini dilakukannya, karena menurutnya, jika produknya sudah
masuk ritel modern sudah tidak terkesan sebagai produk oleh-oleh, tetapi sudah
komersial. “Saya mengejar untuk oleh-olehnya itu, karena ingin menonjolkan
kekhasan produknya,” kata Itok – sapaan akrabnya. Makanya, ia memutuskan hanya
sekali saja memasukkan produk miliknya ke ritel modern.
Selain itu, pihaknya mengaku jika pembayaran produk yang dimasukkan
ke ritel modern belum dibayar, tapi dirinya sudah saya mengikhlaskan. Ia
menambahkan, pelaku UKM lainnya yang memasukkan ke ritel modern itu juga banyak
yang belum dibayar. “Ribet proses administrasinya, jadi biarkan saja sudah,”
tukasnya.
Berbeda dengan Itok, Hj. Nurwadaini, pemilik produk Rinjani
Kopi, mengaku produknya yang dipasarkan ke salah satu ritel modern, pasarannya
cukup bagus. “Saya juga memasukkan produk saya ke sana lewat koperasi, saat
pertama mungkin ada puluhan bungkus yang saya taruh, pembayarannya juga lancar
tetapi melalui koperasi juga,” terangnya.
Dirinya tidak terlalu mengetahui kriteria yang diterapkan
oleh ritel saat meminta produknya, karena semuanya melalui koperasi. “Tetapi
mereka minta sampel terlebih dahulu, kalau sudah cocok baru deal,” jelasnya.
Saat ini, produknya sudah dipesan kembali oleh ritel tersebut, karena sudah
cukup banyak produknya yang laku.
“Ada juga pesanan dari ritel modern lainnya, tetapi produknya
beda, mereka mintanya nasi jinggo,” kata Daini.
Untuk produk makanan siap santap seperti itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikannya. “Buatnya tergantung dari berapa permintaan mereka dan kemasannya juga pakai daun pisang agar lebih cantik,” jelasnya. Selain itu, produk nantinya akan diambil langsung oleh pihak ritel di tempat produksinya langsung untuk dibawa ke toko. (Bulkaini /Uul Efriyanti Prayoba Ekbis NTB)
0 komentar:
Post a Comment