Be Your Inspiration

Monday, 17 December 2018

Minimarket dan Tantangan Ekonomi Desa di Pulau Lombok

Kondisi warung yang berada di depan ritel modern di Batulayar Lombok Barat. Banyak warung di sekitar ritel modern merasakan dampak dari keberadaan ritel modern. 
BADAN Pusat Statistik (BPS) mengungkap persoalan ekonomi kerakyatan di desa di dalam keterancaman. Menjamurnya minimarket memicu tergerusnya wirausaha kecil. Minimarket, atau lumrah disebut ritel modern dalam beberapa tahun terakhir masuk ke NTB. mula-mula, keberadaannya hanya dijumpai di kota-kota. Pelan tapi pasti, jumlahnya kian banyak. Dan menggerogoti ceruk pasar hingga ke desa-desa.



TENTU ia tak masuk begitu saja. ada campur tangan pemerintah daerah hingga minimarket dengan jaringan ritel yang menggurita ini tiba-tiba saja jumlahnya terus membengkak. Dan seolah tak lagi kenal tempat. Asal ada peluang, ritel-ritel modern terus merangsek.

Sangat tak bisa dibayangkan makin terjepitnya pedagang-pedagang kecil. Ritel modern ini secara terbuka dipertemukan pada medan tarung head to head dengan pedagang-pedagang kecil. Bagaimana mungkin? Jaringan bisnis dengan pemodal raksasa ini dapat ditaklukkan oleh pedagang-pedagang tradisional yang modalnya hanya kacangan?

Malam Minggu biasanya jalur Mataram menuju utara ke Senggigi akan terasa berbeda. Jejeran pedagang-pedagang kecil sederhana di jalur kiri kanan menuju objek wisata legendaris di Lombok Barat ini cukup banyak.



Ada perbedaaan yang mencolok, antara ritel modern dan kios-kios kecil yang ada di sepanjang jalan. Kios-kios milik pedagang tradisional hanya disiram cahaya lampu remang-remang. Di bagian lain, ritel modern nampak gemerlap. Terang benderang.  Secara alam bawah sadar, rasa ingin berbelanja kita tentu lebih tertuju kepada ritel-ritel modern yang dikemas mencuri perhatian itu. Rasanya lebih mantap berbelanja di sana.

Di sebuah warung kecil di Dusun Duduk, Batulayar Lombok Barat, terdapat sebuah warung yang beroperasi dekat ritel modern yang terlihat mentereng.  Dalam jangka waktu beberapa lama, tak satupun pembeli datang menghampiri warung ini. Padahal di warung sederhana ini, aneka makanan cemilan disediakan atau rokok. Di tambah di depannya bahan bakar kendaraan eceran.

Di seberang jalan, ritel modern nampak tak sepi kunjungan. Dari yang jalan kaki, menggunakan kendaraan roda dua, hingga kendaraan-kendaraan pribadi. Mereka terhenti, lalu masuk dan keluar menenteng bawaan.



Nurhayati – sang pemilik warung kesal ditanya sebegitu bertolakbelakang keadaannya. Sejak hadirnya ritel modern itu, praktis jualannya tak lagi seperti dulu. Hasil berjualan seadanya. Yang laku hanyalah rokok bijian, di tambah bensin eceran, itupun kalau sehari terjual tak lebih dari lima botol. Bahkan terkadang laku hanya sebotol bensin.

“Sebelum ini ada, malam Minggu kita bisa jualan sampai di atas jam 12. Ada saja pembeli masuk. Sekarang jangan harap. Betul-betul sepi,” ujarnya kecewa.
Ritel modern di wilayah Lombok Barat
Telah enam tahun ia jualan di pinggir jalan ini. Hadirnya ritel modern di seberang jalan praktis telah mengubah keadaannya. Ia kehilangan pasar. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Nurhayati berusaha serabutan. Dua anaknya harus dihidupi, dan hidup terus berlanjut.



Minimarket itu menurutnya tiba-tiba saja beroperasi. Tanpa pemeritahuan, kendati telah dipertanyakan oleh pedagang-pedagang kecil di sekitarnya. Tak ada daya, meski para pedagang pinggiran jalan ini menolak keras hadirnya minimarket itu. “Mau bagaimana lagi. Kita terima saja, karena sudah telanjur diizinkan buka,” ujarnya.

Ia dan beberapa pedagang kecil di sekitarnya juga nyaris tak mendapat manfaat. Untuk membeli barang isian kiosnyapun, Nurhayati tak membeli dengan pola kemitraan. Bahkan cenderung harga jual barangnya lebih mahal ketimbang ditempat ia biasa mendapatkannya.
Senggigi masihlah dihitung desa. Pusat wisata pantai ini harusnya menjadi tempat empuk pedagang-pedagang kecil mencari nafkah. Sayangnya, tidak demikian. Minimarket di bawah satu brand menjamur. Menjaring uang-uang belanja recehan wisatawan di sana.



Berbalik haluan menuju pulang. Melintasi jalan-jalan desa di Gunung Sari. Desa-desa penyangga Senggigi ini rupanya dikawal ketat pemodalnya. Minimarket juga menjamur. Antara yang satu dengan yang lain jaraknya sangat dekat.  Beberapa pemilik kios turut resah. Mereka kalah saing. Tapi ada dayanya, tangan pemerintah daerah membuat mereka tak kuasa menolak persaingan berat itu.  

Sementara di Jalan Ade Irma Suryani Mataram. Banyak warung atau usaha kecil harus bersaing untuk mendapatkan pembeli, baik sesama pemilik warung atau dengan usaha berskala besar. Sebagian pedagang memilih menjual produk tradisional dan tidak dijual di ritel modern, seperti sayur mayur, lauk pauk yang sudah jadi, es kelapa, sate, nasi bungkus dan lainnya.



Sejumlah pedagang menyadari, kalau mereka berjualan seperti yang dijual di tempat yang bagus, barang mereka tidak akan laku. Apalagi, harga antara pedagang kecil dan di ritel modern ada perbedaan cukup  signifikan. Namun, banyak di antara pedagang kecil yang tetap berjualan beberapa produk yang dibutuhkan, seperti rokok, mi instan, manisan dan makanan ringan lainnya.

Di lain pihak, Kepala BPS Provinsi NTB, hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 yang diselenggarakan telah mengungkap  tantangan besar ekonomi kerakyatan di desa.Hasil Podes menunjukkan, desa dengan keberadaan minimarket pada keadaan tahun 2014 – 2018 mengalami peningkatan sebesar 49 persen. Atau dari sebanyak 197 desa, menjadi 293 desa yang menjadi jaringan pasarnya.

“Saya sudah sampaikan juga ke Bu Wagub, karena minimarket ini sudah ada. Tinggal, bagaimana caranya agar minimarket ini bisa menjual produk-produk lokal,” ujarnya.

Pendataan Podes dilaksanakan tiga kali dalam 10 tahun. Tahun 2018 ini, Podes dilaksanakan pada Mei secara sensus melibatkan kepala desa, lurah atau setingkat di bawahnya. Suntono, menggambarkan secara umum, berdasarkan hasil Podes 2018di Provinsi NTB tercatat 1.143 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa yang terdiri dari 995 desa, 145 kelurahan dan 3 UPT.  Podes juga mencatat sebanyak 117 kecamatan dan 10 kabupaten/kota. (Bulkaini/Ekbis NTB)

Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive