PADA dasarnya Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTB
enggan menanggapi polemik tentang pemberian balas jasa kepada guide. Sebab perdebatannya tak akan
berakhir sampai kapanpun. Menurutnya, lebih baik sama – sama saling menguatkan
untuk membangun pariwisata NTB.
Fee guide, menurut
Ketua HPI Provinsi NTB, Dr.Ainuddin, SH, MH, adalah gaji yang diberikan
perusahaan (travel agent) tempat guide bernaung. Sementara imbalan yang
diberikan oleh pemilik art shop (pasar
seni) kepada guide disebut komisi.
Di lapangan istilah guide
fee berkembang. Yang diidentikan sebagai imbalan pengusaha art shop kepada guide. Bahkan disebut-sebut pemberian itu bisa mencapai 50 persen
dari harga penjualan barang kepada dari wisatawan yang dibawa oleh guide.
Ainuddin mempertanyakan mengenai komisi yang diberikan
kepada guide sampai 50 persen. Jika
ada, HPI mengharapkan ada laporan yang disertai bukti. ‘’Jikau dia anggota HPI,
saya gunting lisensinya. Cobalah, tunjukkan kita buktinya,’’ tegas pengacara
ini akhir 2016.
Menurutnya, pemberian komosi sampai 50 persen itu, hanya
diperdengarkan oleh pengusaha atau pemilik art
shop yang jarang dikunjungi oleh rombongan wisatawan yang didampingi oleh guide. Karena menurutnya tidak ada
produk yang sangat layak untuk dijual kepada wisatawan. ‘’Lihat Sasaku,
Gandrung, Lombok Exotice, dan lain-lain. Tidak ada yang teriak soal komisi.
Yang teriak itu orang-orang yang barangnya tidak layak jual, oknum itu,’’
tegasnya.
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia NTB Dr. Ainuddin |
Yang ada saat ini sepertinya berat melakukan permainan harga
barang. Di tempat-tempat penjualan suvenir masing-masing sudah dicantumkan
label harga di setiap produk. Ainuddin mempertanyakan, apakah kemudian harga
barangnya bisa diutak-atik untuk menyisihkan komisi kepada guide?
Pemberian komisi kepada guide
menurutnya hal mutlak dan berlaku di hampir seluruh negara. Di luar negeri,
bahkan guide mendapat komisi dari
berbagai jenis. Di daerah-daerah wisata maju seperti Bali juga memberlakukan
demikian. Namun tidak ada protes, karena seluruh pihak sepakat untuk membungkus
apapun yang bisa berimplikasi membuat wisatawan tidak nyaman. Semua menyatukan
suara yang sama.
“Sekarang pertanyaannya, apakah sekarang persoalan ini akan
terus – terus di blow up, oleh oknum, lalu oleh media. Lebih baik kita
sama-sama berbuat untuk pariwisata kita,” imbuhnya. Mengapa tempat-tempat
penjualan tertentu jarang dikunjungi oleh guide.
Bisa saja selain karena produknya yang tidak layak, pengusaha-pengusaha di tempat
itu justru tak pernah ambil bagian untuk memajukan pariwisata NTB.
‘’Di Sekarbela, pengusahanya teriak-teriak hanya melihat
barang dagangannya yang tidak laku. Sementara jarang kita dengar ada gerakannya
yang mendukung pariwisata langsung. Lalu apakah kemudian ini menjadi persoalan
yang kita panjang lebarkan. Lebih baik ayo
sama-sama membangun pariwisata kita,’’ ajaknya.
Guide memiliki
peran strategis untuk memajukan pariwisata. Jika guide selalu dipojokkan, kemudian berdampak langsung kepada
pariwisata NTB, khawatirnya akan terjadi pengangguran-pengangguran baru. Terkait
besaran komisi ini, Ainuddin mengatakan sudah ada komitmen bersama antara guide (berlisensi/legal) dengan pemilik art shop, maksimal 20 persen komisi.
Sementara, Ahyar agak kecewa, guide kerap disebut-sebut bermain fee. Ahyar adalah salah satu guide
senior di NTB. ia telah menjadi abdi pramuwisata lebih dari 20 tahun. Ia
mengenal betul hampir seluruh sisi pariwisata, bahkan hal-hal paling kecil
sekalipun yang berkaitan dengan sektor pariwisata.
Siapa yang tak mengenalnya di hampir seluruh pusat oleh-oleh,
pasar seni di Lombok. Ahyar adalah guide
freelance, tidak terikat di salah satu perusahaan travel. Karena itulah
yang membuatnya sangat tidak asing bagi pemilik-pemilik art shop dan perusahaan travel
agent.
Pengurus BPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kota
Mataram ini bersama rekan-rekannya bahkan berencana akan meminta klarifikasi
kepada media-media yang menulis soal fee
guide, seolah-olah guide selalu
dipojokkan. Padahal guide memiliki
peran strategis dan mendukung suksesnya pariwisata.
‘’Tidak ada itu, bukan. Tidak ada cerita (soal fee guide 40 sampai 50 persen),” kata
Ahyar pada Ekbis NTB.
Ia mengklarifikasi pemahaman masyarakat yang selama ini
berkembang soal fee guide. Di
kalangan guide, uang balas jasa yang
diberikan oleh pemilik art shop dibahasakan komisi. Sementara yang disebut fee guide adalah pendapatan/gaji yang
diterima dari travel agent tempat
masing-masing guide bergantung.
Soal fee guide,
tentu tak bisa diintervensi oleh pihak manapun berapa besaran yang diterimanya.
Karena hal tersebut adalah kesepakatan internal antara guide dengan perusahaan travel
agent yang menjadi tempatnya bernaung.
Selanjutnya soal komisi yang diberikan art shop, tidak tertera dalam kesepakatan manapun besaran yang
harus diberikan kepada guide. Hal itu
tergantung berapa yang diikhlasnya oleh pemilik art shop. Mungkin hal itu wajar, sebagai bentuk terima kasih
pemilik art shop karena guide telah memfasilitasi kunjungan dan
belanja wisatawan.
Meski demikian, para guide
telah sepakat, bahwa komisi yang diterima jangan lebih dari 20 persen. Umumnya
15 persen yang diterima. Bahkan 10 persen, dari nilai belanja wisatawan yang
diantarnya berbelanja.
‘’Untuk baju, biasanya hanya 10 persen. Mutiara antara 15
sampai 20 persen, bahkan kita ambil 15 persen, karena di luar kita ‘’disikat’’.
Banyak pedagang-pedagang asongan,’’ jelas Ahyar. Guide menurutnya juga sangat paham, jangan sampai komisi yang
diberikan tinggi, justru imbasnya kepada wisatawan. Tentu akan berimbas juga
kepada guide sendiri.
Lanjut Ahyar, bahkan ada di antara art shop yang menjanjikan sampai 70 persen untuk memancing guide mengunjungi tempatnya. Tentu tidak
rasional komisi sebesar itu. Oleh para guide,
biasanya tawaran-tawaran seperti itu jarang diterima. Tetapi pemilik art shop mungkin melakukannya karena art shop yang terhitung baru tentu tidak
serta merta laris manis.
Lalu mengapa guide
hanya mengarahkan rombongan wisatawan kepada art shop – art shop tertentu? Ahyar mengatakan, banyak pengusaha art shop yang mungkin belum memahami
cara membangun komunikasi dengan guide.
Bagi art shop yang
sering dikunjungi, biasanya mereka mereka melakukan pendekatan kekeluargaan. ‘’Silaturrahmi
diperbanyak dengan guide, kalau guide sakit mungkin dijenguk. Pendekatan
kekeluargaan ini yang tidak banyak dilakukan sebenarnya. Bohong besar kalau
disebut karena komisi yang diberikan sampai 50 persen, tidak ada itu. Inilah
perlunya pendekatan personal (kepada guide)
dan pendekatan perusahaan (kepada agent
travel),’’ jelas Ahyar.
Semua pihak diminta untuk memahami persoalan ini. sebab pada
intinya, suksesnya pariwisata juga akan memberi dampak langsung kepada guide
itu sendiri. Pun kepada semua pihak.
Akan Ditertibkan
Mulai bulan Januari 2017 nanti, kegiatan pramuwisata atau guide yang bekerja di seluruh destinasi
wisata di NTB akan mulai ditertibkan. Penertiban akan dilakukan oleh tim yang
sudah dibentuk oleh Disbudpar NTB bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya.
Landasan aturan untuk mengatur pramuwisata ini sudah ada yaitu Perda tentang
Pramuwisata, tinggal dilakukan penegakan aturan.
“Saya sudah rapat dengan Ketua HPI ( Himpunan Pramuwisata
Indonesia ). Kita akan efektif memberlakukan Perda tentang tentang pramuwisata
itu. Ada empat hal yang diatur dalam Perda pramuwisata itu yaitu tentang
kualifikasi guide, kode etik, wilayah
berpraktik guide itu, serta SDM-nya,’’
kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar ) NTB H.Lalu Moh
Faozal, S.Sos, M.Si kepada Ekbis NTB.
Faozal mengatakan, langkah awal yang akan dilakukan oleh tim
ini adalah melakukan pertemuan antara HPI, Disbudpar, Kejaksaan dan Kepolisian.
Setelah dilakukan pertemuan diharapkan akan lahir format tindak lanjut terkait
empat hal pokok yang diatur dalam perda pramuwisata itu.
“Praktis nanti begitu kita sudah sepakat, maka pasti ada konsekwensinya. Misalnya saat
dia langgar kode etik maka lisensinya akan dicabut. Saat melakukan kegiatan di luar
ketentuan maka kita akan pastikan yustisi penindakan,’’ tegasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB H. L. Moh. Faozal |
Faozal menilai, HPI NTB memiliki komitmen yang tinggi untuk
melakukan penertiban terhadap praktik pramuwisata. Terlebih HPI telah
merumuskan dan mengikuti pembahasan perda pramuwisata dari awal, karena pada
dasarnya HPI sangat berkepentingan dengan eksekusi perda tersebut.
Salah satu isu besar dalam penertiban pramuwisata ini adalah
masalah fee atau komisi yang diminta oleh oknum pramuwisata saat mengantar tamu
berbelanja di toko suvenir. Dari informasi yang diperolehnya, fee yang diminta oleh pramuwisata kepada
toko suvenir memang berbeda beda, namun angkanya sekitar 10 hingga 20 persen.
Dalam pandangan Disbudpar, jumlah fee dengan besaran seperti itu dalam
hitungan bisnis sudah besar.
Dampaknya terhadap dunia wisata NTB cukup besar. Misalnya
berdampak pada kesan yang kurang baik dari wisatawan. Dia melihat persaingan
bisnis yang ditimbulkan oleh tindakan oknum pramuwisata yang memberlakukan fee
tinggi di toko suvenir menjadi tidak sehat. Di mana outlet yang tidak mampu
memberikan fee terhadap pramuwisata, mereka tidak akan dikunjungi. ‘’Itu kan praktik yang tidak baik” katanya.
Hal lain yang menjadi titik perhatian yaitu adanya
pramuwisata yang tidak memiliki lisensi atau izin berpraktik dalam bekerja.
Disbudpar NTB menerima laporan misalnya beberapa oknum pramuwisata di destinasi
wisata Senaru, Tiu Kelep dan sejumlah tempat lain tidak memiliki lisensi.
Padahal dalam ketentuan, semua pramuwisata yang beroperasi di NTB harus
mengantongi izin secara resmi.(bul/ris/Ekbis NTB)-
0 komentar:
Post a Comment