Be Your Inspiration

Tuesday, 3 January 2017

Guide di NTB akan Ditertibkan


PADA dasarnya Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTB enggan menanggapi polemik tentang pemberian balas jasa kepada guide. Sebab perdebatannya tak akan berakhir sampai kapanpun. Menurutnya, lebih baik sama – sama saling menguatkan untuk membangun pariwisata NTB.
Fee guide, menurut Ketua HPI Provinsi NTB, Dr.Ainuddin, SH, MH, adalah gaji yang diberikan perusahaan (travel agent) tempat guide bernaung. Sementara imbalan yang diberikan oleh pemilik art shop (pasar seni) kepada guide disebut komisi.
Di lapangan istilah guide fee berkembang. Yang diidentikan sebagai imbalan pengusaha art shop kepada guide. Bahkan disebut-sebut pemberian itu bisa mencapai 50 persen dari harga penjualan barang kepada dari wisatawan yang dibawa oleh guide.
Ainuddin mempertanyakan mengenai komisi yang diberikan kepada guide sampai 50 persen. Jika ada, HPI mengharapkan ada laporan yang disertai bukti. ‘’Jikau dia anggota HPI, saya gunting lisensinya. Cobalah, tunjukkan kita buktinya,’’ tegas pengacara ini akhir 2016.
Menurutnya, pemberian komosi sampai 50 persen itu, hanya diperdengarkan oleh pengusaha atau pemilik art shop yang jarang dikunjungi oleh rombongan wisatawan yang didampingi oleh guide. Karena menurutnya tidak ada produk yang sangat layak untuk dijual kepada wisatawan. ‘’Lihat Sasaku, Gandrung, Lombok Exotice, dan lain-lain. Tidak ada yang teriak soal komisi. Yang teriak itu orang-orang yang barangnya tidak layak jual, oknum itu,’’ tegasnya.
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia NTB Dr. Ainuddin

Yang ada saat ini sepertinya berat melakukan permainan harga barang. Di tempat-tempat penjualan suvenir masing-masing sudah dicantumkan label harga di setiap produk. Ainuddin mempertanyakan, apakah kemudian harga barangnya bisa diutak-atik untuk menyisihkan komisi kepada guide?
Pemberian komisi kepada guide menurutnya hal mutlak dan berlaku di hampir seluruh negara. Di luar negeri, bahkan guide mendapat komisi dari berbagai jenis. Di daerah-daerah wisata maju seperti Bali juga memberlakukan demikian. Namun tidak ada protes, karena seluruh pihak sepakat untuk membungkus apapun yang bisa berimplikasi membuat wisatawan tidak nyaman. Semua menyatukan suara yang sama.
“Sekarang pertanyaannya, apakah sekarang persoalan ini akan terus – terus di blow up, oleh oknum, lalu oleh media. Lebih baik kita sama-sama berbuat untuk pariwisata kita,” imbuhnya. Mengapa tempat-tempat penjualan tertentu jarang dikunjungi oleh guide. Bisa saja selain karena produknya yang tidak layak, pengusaha-pengusaha di tempat itu justru tak pernah ambil bagian untuk memajukan pariwisata NTB.
‘’Di Sekarbela, pengusahanya teriak-teriak hanya melihat barang dagangannya yang tidak laku. Sementara jarang kita dengar ada gerakannya yang mendukung pariwisata langsung. Lalu apakah kemudian ini menjadi persoalan yang kita panjang lebarkan. Lebih baik ayo sama-sama membangun pariwisata kita,’’ ajaknya.
Guide memiliki peran strategis untuk memajukan pariwisata. Jika guide selalu dipojokkan, kemudian berdampak langsung kepada pariwisata NTB, khawatirnya akan terjadi pengangguran-pengangguran baru. Terkait besaran komisi ini, Ainuddin mengatakan sudah ada komitmen bersama antara guide (berlisensi/legal) dengan pemilik art shop, maksimal 20 persen komisi.
Sementara, Ahyar agak kecewa, guide kerap disebut-sebut bermain fee. Ahyar adalah salah satu guide senior di NTB. ia telah menjadi abdi pramuwisata lebih dari 20 tahun. Ia mengenal betul hampir seluruh sisi pariwisata, bahkan hal-hal paling kecil sekalipun yang berkaitan dengan sektor pariwisata.
Siapa yang tak mengenalnya di hampir seluruh pusat oleh-oleh, pasar seni di Lombok. Ahyar adalah guide freelance, tidak terikat di salah satu perusahaan travel. Karena itulah yang membuatnya sangat tidak asing bagi pemilik-pemilik art shop dan perusahaan travel agent.
Pengurus BPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kota Mataram ini bersama rekan-rekannya bahkan berencana akan meminta klarifikasi kepada media-media yang menulis soal fee guide, seolah-olah guide selalu dipojokkan. Padahal guide memiliki peran strategis dan mendukung suksesnya pariwisata.
‘’Tidak ada itu, bukan. Tidak ada cerita (soal fee guide 40 sampai 50 persen),” kata Ahyar pada Ekbis NTB.
Ia mengklarifikasi pemahaman masyarakat yang selama ini berkembang soal fee guide. Di kalangan guide, uang balas jasa yang diberikan oleh pemilik art shop dibahasakan komisi. Sementara yang disebut fee guide adalah pendapatan/gaji yang diterima dari travel agent tempat masing-masing guide bergantung.
Soal fee guide, tentu tak bisa diintervensi oleh pihak manapun berapa besaran yang diterimanya. Karena hal tersebut adalah kesepakatan internal antara guide dengan perusahaan travel agent yang menjadi tempatnya bernaung.
Selanjutnya soal komisi yang diberikan art shop, tidak tertera dalam kesepakatan manapun besaran yang harus diberikan kepada guide. Hal itu tergantung berapa yang diikhlasnya oleh pemilik art shop. Mungkin hal itu wajar, sebagai bentuk terima kasih pemilik art shop karena guide telah memfasilitasi kunjungan dan belanja wisatawan.
Meski demikian, para guide telah sepakat, bahwa komisi yang diterima jangan lebih dari 20 persen. Umumnya 15 persen yang diterima. Bahkan 10 persen, dari nilai belanja wisatawan yang diantarnya berbelanja.
‘’Untuk baju, biasanya hanya 10 persen. Mutiara antara 15 sampai 20 persen, bahkan kita ambil 15 persen, karena di luar kita ‘’disikat’’. Banyak pedagang-pedagang asongan,’’ jelas Ahyar. Guide menurutnya juga sangat paham, jangan sampai komisi yang diberikan tinggi, justru imbasnya kepada wisatawan. Tentu akan berimbas juga kepada guide sendiri.
Lanjut Ahyar, bahkan ada di antara art shop yang menjanjikan sampai 70 persen untuk memancing guide mengunjungi tempatnya. Tentu tidak rasional komisi sebesar itu. Oleh para guide, biasanya tawaran-tawaran seperti itu jarang diterima. Tetapi pemilik art shop mungkin melakukannya karena art shop yang terhitung baru tentu tidak serta merta laris manis.
Lalu mengapa guide hanya mengarahkan rombongan wisatawan kepada art shop – art shop tertentu? Ahyar mengatakan, banyak pengusaha art shop yang mungkin belum memahami cara membangun komunikasi dengan guide.
Bagi art shop yang sering dikunjungi, biasanya mereka mereka melakukan pendekatan kekeluargaan. ‘’Silaturrahmi diperbanyak dengan guide, kalau guide sakit mungkin dijenguk. Pendekatan kekeluargaan ini yang tidak banyak dilakukan sebenarnya. Bohong besar kalau disebut karena komisi yang diberikan sampai 50 persen, tidak ada itu. Inilah perlunya pendekatan personal (kepada guide) dan pendekatan perusahaan (kepada agent travel),’’ jelas Ahyar.
Semua pihak diminta untuk memahami persoalan ini. sebab pada intinya, suksesnya pariwisata juga akan memberi dampak langsung kepada guide itu sendiri. Pun kepada semua pihak.

Akan Ditertibkan

Mulai bulan Januari 2017 nanti, kegiatan pramuwisata atau guide yang bekerja di seluruh destinasi wisata di NTB akan mulai ditertibkan. Penertiban akan dilakukan oleh tim yang sudah dibentuk oleh Disbudpar NTB bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya. Landasan aturan untuk mengatur pramuwisata ini sudah ada yaitu Perda tentang Pramuwisata, tinggal dilakukan penegakan aturan.
“Saya sudah rapat dengan Ketua HPI ( Himpunan Pramuwisata Indonesia ). Kita akan efektif memberlakukan Perda tentang tentang pramuwisata itu. Ada empat hal yang diatur dalam Perda pramuwisata itu yaitu tentang kualifikasi guide, kode etik, wilayah berpraktik guide itu, serta SDM-nya,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar ) NTB H.Lalu Moh Faozal, S.Sos, M.Si kepada Ekbis NTB.
Faozal mengatakan, langkah awal yang akan dilakukan oleh tim ini adalah melakukan pertemuan antara HPI, Disbudpar, Kejaksaan dan Kepolisian. Setelah dilakukan pertemuan diharapkan akan lahir format tindak lanjut terkait empat hal pokok yang diatur dalam perda pramuwisata itu.
“Praktis nanti begitu kita sudah sepakat,  maka pasti ada konsekwensinya. Misalnya saat dia langgar kode etik maka lisensinya akan dicabut. Saat melakukan kegiatan di luar ketentuan maka kita akan pastikan yustisi penindakan,’’ tegasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB H. L. Moh. Faozal

Faozal menilai, HPI NTB memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan penertiban terhadap praktik pramuwisata. Terlebih HPI telah merumuskan dan mengikuti pembahasan perda pramuwisata dari awal, karena pada dasarnya HPI sangat berkepentingan dengan eksekusi perda tersebut.
Salah satu isu besar dalam penertiban pramuwisata ini adalah masalah fee atau komisi yang diminta oleh oknum pramuwisata saat mengantar tamu berbelanja di toko suvenir. Dari informasi yang diperolehnya, fee yang diminta oleh pramuwisata kepada toko suvenir memang berbeda beda, namun angkanya sekitar 10 hingga 20 persen. Dalam pandangan  Disbudpar, jumlah fee dengan besaran seperti itu dalam hitungan bisnis sudah besar.
Dampaknya terhadap dunia wisata NTB cukup besar. Misalnya berdampak pada kesan yang kurang baik dari wisatawan. Dia melihat persaingan bisnis yang ditimbulkan oleh tindakan oknum pramuwisata yang memberlakukan fee tinggi di toko suvenir menjadi tidak sehat. Di mana outlet yang tidak mampu memberikan fee terhadap pramuwisata, mereka tidak akan dikunjungi. ‘’Itu kan praktik yang tidak baik” katanya.

Hal lain yang menjadi titik perhatian yaitu adanya pramuwisata yang tidak memiliki lisensi atau izin berpraktik dalam bekerja. Disbudpar NTB menerima laporan misalnya beberapa oknum pramuwisata di destinasi wisata Senaru, Tiu Kelep dan sejumlah tempat lain tidak memiliki lisensi. Padahal dalam ketentuan, semua pramuwisata yang beroperasi di NTB harus mengantongi izin secara resmi.(bul/ris/Ekbis NTB)-
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive