Baiq Nursehan dengan tas berbahan baku daun lontar |
Lontar merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan
penduduk NTB untuk dijadikan kerajinan tangan. Kerajinan anyaman lontar ini
sudah berkembang dari dulu secara turun-temurun. Peminatnya pun sangat banyak, karena nilai keeksotikan
daun lontar yang didapat. Pesanan terhadap kerajinan lontar pun cukup banyak,
baik dari dalam daerah maupun luar daerah.
Adalah Baiq Nursehan -- salah satu pengepul kerajinan
lontar di Desa Suradadi, Terara, Lombok Timur, mencoba
menangkap peluang yang ada. Dengan melihat banyaknya perajin lontar yang ada di
desanya, dia mencoba mengumpulkan hasil kerajinan dan menjualnya hingga luar
daerah. “Banyak juga pesanan lontar dari Bali,”
terangnya, Rabu (11/1/2017).
Dalam mengumpulkan hasil kerajinan
lontar, Sehan – nama panggilannya menerima dari 100 perajin yang ada di Desa
Suradadi dan desa sekitarnya. Kerajinan ini kemudian diolah menjadi berbagai
macam produk, seperti, keranjang telur, keranjang untuk botol tempat terasi dan
keranjang oleh-oleh.
“Modelnya bisa dipilih atau membawa desain sendiri.
Nanti tinggal beritahu perajinnya mau yang seperti apa,” katanya.
Tas berbahan baku lontar dari Lombok Timur |
Menurutnya, anyaman lontar bisa bertahan selama 1
tahun asalkan dirawat
dengan baik. Konsumen bisa mengambil sendiri atau minta diantarkan untuk
pesanan kerajinan lontar mereka. “Tapi kita sudah punya langganan, jadi selalu
mereka yang datang ke sini. Yang di Sindu dan Bertais itu, kita tempatnya ngambil,”
klaimnya.
Harga kerajinan lontar beragam, tergantung banyak
sedikitnya jumlah pembelian. Kalau 1 kodi keranjang kecil harganya Rp
3.500/biji, kalau beli 1 keranjang ukuran sedang harganya Rp 6 ribu dan Rp 5
ribu/biji kalau beli banyak. Keranjang ukuran besar harganya Rp 8 ribu/biji. ‘’Kalau beli banyak, topi Rp
2.500/biji kalau beli banyak dan keranjang botol Rp 25 ribu/kodi,” jelas Sehan.
Ia selalu menyetok dalam jumlah banyak karena pesanan
bisa datang tiba-tiba. Diakuinya, topi dan keranjang banyak yang cari, sehingga
harus selalu distok.
Selain itu, wisatawan mancanegara banyak yang menyukai
kerajinan ini, karena
keunikannya.
“Mereka lebih suka warna yang kalem, beda dengan orang sini yang lebih suka
warna ngejreng,” katanya.
Meski demikian, usaha ini juga memiliki kendala besar
terkait perajin. Jumlah penganyamnya kurang karena regenerasi kurang. Padahal
kalau mereka serius, usaha ini bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari. Untuk itu, ia berharap bisa belajar tentang pemasaran karena yang
sekarang dirasanya belum rapi. “Juga bisa mendapat dana hibah agar bisa
memajukan usaha,” lanjutnya.
Daun lontar untuk membuat kerajinan didatangkan dari Bima, karena memiliki serat daun
yang gampang dibentuk. “Kalau daun lontar di sini dia ndak bagus, cepat
patah dan membuat tangan sakit, hanya bisa untuk buat topi saja,” terang Sehan.
Menganyam lontar hanya bisa dilakukan saat pagi sampai
menjelang siang. “Kalau sore, daun lontarnya keras, susah dibentuk,” katanya. (Uul/Ekbis NTB)
0 komentar:
Post a Comment