Be Your Inspiration

Tuesday, 3 January 2017

Pariwisata, Komisi Guide dan Persaingan Tak Sehat di NTB

Wisatawan saat melihat pembuatan hasil karya seni di Lombok

Pemberian komisi kepada pemandu wisata atau yang biasa disebut guide fee yang diterapkan para oknum guide dalam membawa tamunya ke galery atau art shop, telah dikeluhkan lama para perajin termasuk pemilik art shop. Pemberian fee yang dinilai melampaui batas kewajaran itu, tidak saja memicu persaingan usaha yang tak sehat. Namun lebi dari itu, guide fee yang melebihi batas kewajaran juga merusak citra pariwisata.
SEPERTI dikeluhkan Inaq Maryam, pemilik Arts Hop Bintang Remawa, di Desa Sukarara, Lombok Tengah (Loteng). Ia menuturkan, permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata telah menyulitkannya. Karena itu, ia bahkan sudah memutuskan sudah tidak mau lagi bekerja sama dengan para travel karena pengalaman tidak mengenakkan yang didapatkannya dari permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata.
‘’Pernah saya kerjasama dengan travel, tetapi kebanyakan tamu yang mereka bawa tidak banyak yang belanja,’’ terangnya saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (28/12/2016). Inaq Maryam menceritakan, ia membuat kontrak sebesar Rp 10 juta per tahun tetapi pendapatan yang didapatnya tidak sesuai atau banyak ruginya.
‘’Belum kita kasi selendang buat tamu yang baru datang, terus kasi makan sopirnya disini ditambah kita yang bayarin dia parkir,’’ katanya. Harga jual kain yang diproduksinya juga menjadi lebih tinggi karena ditambah dengan bayar fee untuk guide. ‘’Kalau misalnya harga songket kita jual Rp 3 juta, tetapi di art shop bisa sampai Rp 9-10 juta,’’jelasnya. Oleh karena itu, ia lebih suka menjual langsung atau ke pengepul dalam skala besar. ‘’Lebih enak yang seperti itu,karena tidak ada teman berbagi keuntungan. Jadi berapa-berapa kita dapat kita yang punya,’’ katanya.
Para penjual kerajinan di Pasar Seni Sesela, Lombok Barat (Lobar), juga mengeluhkan hal serupa. Tetapi, besaran fee guide yang mereka bayarkan sesuai dengan kemampuan mereka. ‘’Kalau guide fee besarnya 20 persen dari total penjualan, kecuali kalau yang dari pesiar fee-nya 25 persen,’’ tukas Iwan Sastrawan, Ketua Pasar Seni Sesela saat ditemui Jumat (30/12/2016). Dengan adanya komisi untuk pemandu wisata,  diakuinya berpengaruh terhadap kunjungan tamu ke pasar seni dan berpengaruh terhadap hasil penjualan.  
Wisatawan mancanegara melihat secara langsung proses pembuatan kerajinan khas NTB

Walaupun sudah bekerjasama dengan tour dan travel, akses pasar yang jauh dari keramaian serta persaingan dengan toko oleh-oleh yang menjamur menjadi masalah tersendiri bagi pedagang di Pasar Seni Sesela. ‘’Kita selalu jadi pilihan terakhir buat mereka saat membawa tamu. Tamunya sudah diajak belanja di tempat lain baru diajak ke sini,’’ kata Iwan. Karena tempat lain berani memberikan fee yang lebih tinggi.
‘’Contohnya di Sukarara, mereka berani memberi fee sampai lebih dari 30 persen karena takut nanti tidak ada tamu yang berkunjung ke tempat mereka. Makanya Sukarara selalu jadi prioritas kunjungan tamu (wisatawan),’’ jelasnya.
Padahal, kata Iwan, sentra produksi kerajinan (tenun) tidak hanya di Sukarara saja tetapi banyak tempat di Lombok. ‘’Seharusnya tamu diajak ke sentra produksi, sehingga bisa memberdayakan hasil kerajinan masyarakat,’’ jelasnya. Tetapi, karena ada oknum guide yang berpikiran materialistis, maka hal tersebut sulit dilakukan.
Iwan menjelaskan HPI, dinas terkait serta travel harus melebur dan bersinergi menjadi satu. "Perhotelan, pengusaha oleh-oleh serta guide itu satu kesatuan, tetapi dalam kenyataannya tidak nyambung,’’ katanya. Pemberian komisi yang berbeda juga sulit ditertibkan oleh dinas terkait karena tidak adanya tindak tegas untuk para pelakunya.
Jika  ingin pariwisata di Lombok (NTB) seperti di Bali, kata Iwan, maka semua elemen di dalamnya harus sejalan. Misalnya dengan pemberian komisi yang sama. ‘’Tetapi itu sudah, guide-nya maunya komisi tinggi, jadi tamunya dibawa ketempat yang kasi dia komisi tinggi,’’ katanya dengan nada kecewa. Padahal jika hal itu terus terjadi, akan membawa dampak buruk bagi pengusaha kerajinan yang bisa gulung tikar karena tidak adanya pendapatan.
Hasil karya seni yang dipajang di Pasar Sesela Lombok Barat

Ke depannya, Iwan menginginkan HPI, dinas terkait khususnya pariwisata serta UKM duduk bersama membicarakan masalah tersebut. ‘’Jangan sampai target yang sudah ditetapkan sia-sia, karena mereka tidak mau datang kembali ke sini karena merasa tertipu,’’ tukasnya.
Tidak saja di industri kerajinan tenun, perajin dan pemilik  art shop emas dan mutiara juga sangat familiar dengan istilah guide fee. Apapun bahasanya,  polemik besaran tarif yang kabarnya diberikan kepada guide sebagai tanda balas jasa, secara tidak langsung telah memicu iklim persaingan yang tidak sehat. Tidak saja memicu persaingan tak sehat. Guide fee juga bisa merusak citra pariwisata.
ITULAH yang dirasakan para pemilik toko emas perak mutiara di Sekarbela, Kota Mataram. Keresahan dari pemberian komisi kepada pemandu wisata ini, membuat para pemilik toko emas dan mutiara di sana harus berbuat sesuatu. Mereka sepakat membentuk  Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok, NTB. Ketuanya ditunjuk H. Fauzi. Sebelumnya sebenarnya sudah terbentuk Forum Komunikasi Perajin Mutiara Emas dan Perak (FKP-MEP) Kota Mataram, dengan ketua yang sama.
Persatuan yang baru terbentuk tersebut, dalam waktu dekat akan segera dikukuhkan. Salah satu program yang telah disusun adalah menertibkan besaran guide fee. ‘’Program jangka pendek sudah kami buat,’’ kata H. Fauzi kepada Ekbis NTB.
Ia membenarkan bahwa ada pemberian komisi kepada guide hingga sebesar 40 persen di sentra-sentra pedagang mutiara di Kota Mataram seperti di wilayah Pagutan dan Karang Genteng. Sementara di Sekarbela, para pemilik toko hanya memberikan hingga 5 persen, bahkan ada tidak sama sekali. Karena itulah, kunjungan wisatawan dianggap tak begitu banyak ke Sekarbela. Ia menduga, kalaupun ada wisatawan yang berkunjung, bisa jadi karena dipaksa travel agentnya untuk mengantarkan. Sehingga tidak ada alasan bagi para guide untuk tidak mengantar wisatawan ke sentra perajin mutiara tertua di Lombok ini.
‘’Kami kasi 5 persen, kadang tidak sama sekali kepada guide. Di tempat lain, bahkan ada ditawarkan fee sampai 50 persen. Tapi tamu banyak yang meminta datang ke Sekarbela,’’ kata pemilik salah satu toko kerajinan emas perak dan mutiara terbesar di Sekarbela ini.
‘’Awalnya pemberian fee tinggi dimulai dari Sukarara,’’ katanya. Karena itulah, sampai saat ini terjadi iklim usaha yang tidak sehat antarperajin kerajinan lokal. Ada lomba memberikan fee paling besar, yang justru dampaknya merugikan wisatawan. Sebab dengan pemberian fee besar kepada guide, otomatis harga jual barang yang disiasati menjadi jauh lebih mahal.
Kekhawatirannya, persaingan usaha yang tidak sehat ini  akan dikeluhkan wisatawan dan berdampak besar pada pariwisata NTB. Jika persoalan ini diabaikan, maka bisa berimbas pada citra pariwisata yang buruk. Soal besaran fee guide ini, kata H. Fauzi, sudah sejak lama dibahas, antara pemerintah daerah, ASITA dan HPI. Namun hingga saat ini tidak ada realisasi dari hasil pembahasan tersebut.
Karena itulah, Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok yang telah terbentuk, akan mengajak semua pihak yang terkait dengan persoalan ini untuk duduk bersama kembali. Membahas berapa fee yang ideal dan dapat diberlakukan secara menyeluruh.
Selanjutnya hasil kesepakatan dapat dituangkan dalam surat edaran pemerintah daerah. Dengan adanya kesepakatan yang dibuat dalam surat edaran ini, akan menjadi acuan atau patokan pemerian  komisi kepada para pemandu wisata. Jika ternyata ada yang memberikan komisi lebih tinggi. Atau mungkin pemandu meminta komisi lebih besar dari kesepakatan, dalam aturan atau surat edaran itu juga bisa dibuat ketentuan sanksi. ‘’Ada sanksi kepada guide, kepada art shop sendiri yang melanggar kesepakatan.’’
“Pengusaha mengatakan, kalau tidak memberikan fee, tidak didatangi rombongan wisatawan. Sementara guide mengatakan tidak pernah meminta fee kepada pengusaha. Jika tidak ada kesepakatan, ini akan menjadi perdebatan terus menerus, ‘’ demikian H. Fauzi. (uul/Bul/Ekbis NTB)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive