Wisatawan saat melihat pembuatan hasil karya seni di Lombok |
Pemberian komisi kepada pemandu wisata atau yang biasa disebut guide fee
yang diterapkan para oknum guide dalam
membawa tamunya ke galery atau art shop, telah dikeluhkan lama para perajin
termasuk pemilik art shop. Pemberian fee
yang dinilai melampaui batas kewajaran itu, tidak saja memicu persaingan usaha
yang tak sehat. Namun lebi dari itu, guide
fee yang melebihi batas kewajaran juga merusak citra pariwisata.
SEPERTI dikeluhkan Inaq
Maryam, pemilik Arts Hop Bintang Remawa, di Desa Sukarara, Lombok Tengah
(Loteng). Ia menuturkan, permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata telah
menyulitkannya. Karena itu, ia bahkan sudah memutuskan sudah tidak mau lagi
bekerja sama dengan para travel karena pengalaman tidak mengenakkan yang
didapatkannya dari permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata.
‘’Pernah saya kerjasama
dengan travel, tetapi kebanyakan tamu yang mereka bawa tidak banyak yang
belanja,’’ terangnya saat ditemui Ekbis
NTB, Rabu (28/12/2016). Inaq Maryam menceritakan, ia membuat kontrak sebesar Rp 10 juta per tahun tetapi pendapatan yang didapatnya tidak
sesuai atau banyak ruginya.
‘’Belum kita kasi
selendang buat tamu yang baru datang, terus kasi makan sopirnya disini ditambah
kita yang bayarin dia parkir,’’ katanya. Harga jual kain yang diproduksinya
juga menjadi lebih tinggi karena ditambah dengan bayar fee untuk guide. ‘’Kalau
misalnya harga songket kita jual Rp 3 juta, tetapi di art shop bisa sampai Rp
9-10 juta,’’jelasnya. Oleh karena itu, ia lebih suka menjual langsung atau ke
pengepul dalam skala besar. ‘’Lebih enak yang seperti itu,karena tidak ada
teman berbagi keuntungan. Jadi berapa-berapa kita dapat kita yang punya,’’
katanya.
Para penjual kerajinan
di Pasar Seni Sesela, Lombok Barat (Lobar), juga mengeluhkan hal serupa.
Tetapi, besaran fee guide yang mereka
bayarkan sesuai dengan kemampuan mereka. ‘’Kalau guide fee besarnya 20 persen dari total penjualan, kecuali kalau
yang dari pesiar fee-nya 25 persen,’’
tukas Iwan Sastrawan, Ketua Pasar Seni Sesela saat ditemui Jumat (30/12/2016). Dengan
adanya komisi untuk pemandu wisata, diakuinya berpengaruh terhadap kunjungan tamu
ke pasar seni dan berpengaruh terhadap hasil penjualan.
Wisatawan mancanegara melihat secara langsung proses pembuatan kerajinan khas NTB |
Walaupun sudah
bekerjasama dengan tour dan travel, akses pasar yang jauh dari keramaian serta
persaingan dengan toko oleh-oleh yang menjamur menjadi masalah tersendiri bagi
pedagang di Pasar Seni Sesela. ‘’Kita selalu jadi pilihan terakhir buat mereka
saat membawa tamu. Tamunya sudah diajak belanja di tempat lain baru diajak ke sini,’’
kata Iwan. Karena tempat lain berani memberikan fee yang lebih tinggi.
‘’Contohnya di
Sukarara, mereka berani memberi fee sampai
lebih dari 30 persen karena takut nanti tidak ada tamu yang berkunjung ke
tempat mereka. Makanya Sukarara selalu jadi prioritas kunjungan tamu
(wisatawan),’’ jelasnya.
Padahal, kata Iwan,
sentra produksi kerajinan (tenun) tidak hanya di Sukarara saja tetapi banyak
tempat di Lombok. ‘’Seharusnya tamu diajak ke sentra produksi, sehingga bisa
memberdayakan hasil kerajinan masyarakat,’’ jelasnya. Tetapi, karena ada oknum
guide yang berpikiran materialistis, maka hal tersebut sulit dilakukan.
Iwan menjelaskan HPI,
dinas terkait serta travel harus melebur dan bersinergi menjadi satu.
"Perhotelan, pengusaha oleh-oleh serta guide
itu satu kesatuan, tetapi dalam kenyataannya tidak nyambung,’’ katanya.
Pemberian komisi yang berbeda juga sulit ditertibkan oleh dinas terkait karena
tidak adanya tindak tegas untuk para pelakunya.
Jika ingin pariwisata di Lombok (NTB) seperti di
Bali, kata Iwan, maka semua elemen di dalamnya harus sejalan. Misalnya dengan
pemberian komisi yang sama. ‘’Tetapi itu sudah, guide-nya maunya komisi tinggi, jadi tamunya dibawa ketempat yang
kasi dia komisi tinggi,’’ katanya dengan nada kecewa. Padahal jika hal itu terus
terjadi, akan membawa dampak buruk bagi pengusaha kerajinan yang bisa gulung
tikar karena tidak adanya pendapatan.
Hasil karya seni yang dipajang di Pasar Sesela Lombok Barat |
Ke depannya, Iwan menginginkan HPI, dinas terkait
khususnya pariwisata serta UKM duduk bersama membicarakan masalah tersebut. ‘’Jangan
sampai target yang sudah ditetapkan sia-sia, karena mereka tidak mau datang
kembali ke sini karena merasa tertipu,’’ tukasnya.
Tidak saja di industri kerajinan tenun, perajin dan pemilik art shop
emas dan mutiara juga sangat familiar dengan istilah guide fee. Apapun bahasanya,
polemik besaran tarif yang kabarnya diberikan kepada guide sebagai tanda balas jasa, secara
tidak langsung telah memicu iklim persaingan yang tidak sehat. Tidak saja
memicu persaingan tak sehat. Guide fee
juga bisa merusak citra pariwisata.
ITULAH yang dirasakan para pemilik toko emas perak mutiara
di Sekarbela, Kota Mataram. Keresahan dari pemberian komisi kepada pemandu
wisata ini, membuat para pemilik toko emas dan mutiara di sana harus berbuat
sesuatu. Mereka sepakat membentuk Persatuan
Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok, NTB. Ketuanya ditunjuk H. Fauzi.
Sebelumnya sebenarnya sudah terbentuk Forum Komunikasi Perajin Mutiara Emas dan
Perak (FKP-MEP) Kota Mataram, dengan ketua yang sama.
Persatuan yang baru terbentuk tersebut, dalam waktu dekat
akan segera dikukuhkan. Salah satu program yang telah disusun adalah
menertibkan besaran guide fee. ‘’Program
jangka pendek sudah kami buat,’’ kata H. Fauzi kepada Ekbis NTB.
Ia membenarkan bahwa ada pemberian komisi kepada guide
hingga sebesar 40 persen di sentra-sentra pedagang mutiara di Kota Mataram
seperti di wilayah Pagutan dan Karang Genteng. Sementara di Sekarbela, para
pemilik toko hanya memberikan hingga 5 persen, bahkan ada tidak sama sekali. Karena
itulah, kunjungan wisatawan dianggap tak begitu banyak ke Sekarbela. Ia
menduga, kalaupun ada wisatawan yang berkunjung, bisa jadi karena dipaksa
travel agentnya untuk mengantarkan. Sehingga tidak ada alasan bagi para guide
untuk tidak mengantar wisatawan ke sentra perajin mutiara tertua di Lombok ini.
‘’Kami kasi 5 persen, kadang tidak sama sekali kepada guide. Di tempat lain, bahkan ada ditawarkan
fee sampai 50 persen. Tapi tamu
banyak yang meminta datang ke Sekarbela,’’ kata pemilik salah satu toko
kerajinan emas perak dan mutiara terbesar di Sekarbela ini.
‘’Awalnya pemberian fee tinggi dimulai dari Sukarara,’’
katanya. Karena itulah, sampai saat ini terjadi iklim usaha yang tidak sehat
antarperajin kerajinan lokal. Ada lomba memberikan fee paling besar, yang justru dampaknya merugikan wisatawan. Sebab
dengan pemberian fee besar kepada guide, otomatis harga jual barang yang
disiasati menjadi jauh lebih mahal.
Kekhawatirannya, persaingan usaha yang tidak sehat ini akan dikeluhkan wisatawan dan berdampak besar
pada pariwisata NTB. Jika persoalan ini diabaikan, maka bisa berimbas pada
citra pariwisata yang buruk. Soal besaran fee
guide ini, kata H. Fauzi, sudah sejak lama dibahas, antara pemerintah
daerah, ASITA dan HPI. Namun hingga saat ini tidak ada realisasi dari hasil
pembahasan tersebut.
Karena itulah, Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok
yang telah terbentuk, akan mengajak semua pihak yang terkait dengan persoalan
ini untuk duduk bersama kembali. Membahas berapa fee yang ideal dan dapat
diberlakukan secara menyeluruh.
Selanjutnya hasil kesepakatan dapat dituangkan dalam surat
edaran pemerintah daerah. Dengan adanya kesepakatan yang dibuat dalam surat
edaran ini, akan menjadi acuan atau patokan pemerian komisi kepada para pemandu wisata. Jika
ternyata ada yang memberikan komisi lebih tinggi. Atau mungkin pemandu meminta
komisi lebih besar dari kesepakatan, dalam aturan atau surat edaran itu juga
bisa dibuat ketentuan sanksi. ‘’Ada sanksi kepada guide, kepada art shop
sendiri yang melanggar kesepakatan.’’
“Pengusaha
mengatakan, kalau tidak memberikan fee, tidak
didatangi rombongan wisatawan. Sementara guide
mengatakan tidak pernah meminta fee
kepada pengusaha. Jika tidak ada kesepakatan, ini akan menjadi perdebatan terus
menerus, ‘’ demikian H. Fauzi. (uul/Bul/Ekbis NTB)
0 komentar:
Post a Comment