Gerobak gantung saat menyeberangi Sungai Torean Desa Loloan Bayan Lombok Utara |
Menjadi petani bukanlah mimpi setiap orang. Apalagi bagi
mereka yang tinggal di bawah kaki Gunung Rinjani. Apa-apa serba sulit. Menjual
komoditas hasil tani juga sulit. Bagaimana sebenarnya lika - liku petani
pelosok KLU di zaman - yang kata orang, sudah serba canggih ini?
USIA 71 tahun kemerdekaan bangsa ini belum dinikmati
sepenuhnya oleh kaum terpencil. Mereka yang hidup di pedalaman, jauh dari hiruk
pikuk modernitas, hanya bisa menjalani rutinitas dengan sumber daya seadanya.
Kondisi ini dialami pula oleh petani Dusun Torean, Desa
Loloan, Kecamatan Bayan. Lahan garapan tadah hujan dan berada di lereng
perbukitan, terpaksa dikelola hanya untuk bertahan hidup. Mereka menghasilkan
jagung, padi, pisang, kemiri, lebui, dan aneka biji-bijian untuk lauk. Jagung
yang dikonsumsi masyarakat kota saat ini, mungkin jiga berasal dari sana.
Areal garapan petani berada di satu kawasan perbukitan
bernama Montong Pulet. Luasnya sekitar 80-an hektar. Kawasan ini terpisah dari
perkampungan warga, dengan dipisah oleh aliran anak sungai Gunung Rinjani.
Lebar sungai sekitar 135 meter dan kedalaman 120 meter. Di bawahnya tertata
bebatuan cadas. Pada musim hujan, mengalir sungai yang arusnya deras. Pada
situasi itu, warga membuat jembatan kayu atau bambu seadanya untuk bisa
melintas. Karena tidak hanya warga yang bertani yang kesulitan akses, tetapi
juga anak-anak sekolah. Siswa pelajar calon pemimpin bangsa ini terpaksa
mengikuti orang tua tinggal di huma, demi membantu orang tua bekerja sepulang
sekolah.
Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat Torean menggarap lahan
ini dengan cara swadaya. Tiap KK mempunyai lahan garapan antara 1 hektar (ha)
sampai 3 ha. Sejak mengolah lahan, menanam, merawat, panen sampai pengolahan
pascapanen, mereka kelola sendiri, dengan dana sendiri, dan tanpa bantuan
pemerintah. Sekali lagi, mereka tak pernah dapat bantuan pemerintah. Entah yang
namanya Upsus Padi, Jagung, Kedelai, mereka juga tidak tahu.
Salah satu petani, Jumarip mengaku menyambut musim tanam
jagung, petani Torean bergerilya ke petani Bangket Bayan membeli (tepatnya
berhutang) bibit jagung. Tiap kilo dibeli seharga Rp 10 ribu. Satu orang bisa
menghabiskan paling minim Rp 400 ribu. Namun siapa kira, uang untuk membeli
bibit justru dipinjam dari pengepul.Utang ini nantinya diganti saat hasil panen
dijual kepada pengepul tadi. Konsekuensinya, mereka seolah terikat dengan
"permainan" harga si tengkulak. Seperti saat ini, harga jual beli
jagung cuma Rp 3 ribu per kg.
"Harus kami akui, biaya kami lebih banyak dari
pengepul. Bibit jagung atau padi kami utang, karena tidak pernah dapat bibit
bantuan pemerintah. Pupuk juga kami beli sendiri, itu semua kami bayar setelah
panen," ujar Jumarip, Sabtu (27/8/2016).
Tampak petani menurunkan barang atau komoditas pertanian dari gerobak gantung di Dusun Torean Desa Loloan Bayang Lombok Utara |
Sejak proses produksi hingga panen, masyarakat ditempa
hambatan demi hambatan. Klimaks hambatan ada dua. Saat mengangkut pupuk ke
lokasi garapan dan pengangkutan hasil panen. Bayangkan, menyusur Sungai Montong
Pulet, masyarakat harus berjalan kaki berkilo-kilo meter. Medan yang dilalui
bukan jalan aspal yang dilalui Toyota Camry atau Toyota Alphard macam mobil
dinas pejabat. Tetapi jalan setapak, berkerikil, dan licin saat hujan, dan
menyusuri lereng dengan kemiringan ekstrem.
"Sebelum ada gerobak gantung ini, kami terpaksa
membayar ongkos buruh angkut pupuk, biayanya Rp 50 ribu per sak," sebut
Jumarip.
Tak hanya pupuk. Masyarakat juga membayar ongkos angkut
hasil panen. Perhitungannya, dari lokasi garapan ke titik penjemputan di lereng
Montong Pulet biayanya Rp 20 ribu per rit, karena menggunakan ojek sepeda
motor. Lalu dari titik penjemputan melintas anak sungai ke rumah warga minimal
Rp 50 ribu. Jika ditotal, ongkos angkut per kwintal bisa mencapai Rp 70 - 80
ribu. Belum termasuk ongkos buruh pupuk, menanam, hingga merawat. Bisa
dibayangkan berapa keuntungan petani per kuintal jika harga beli tengkulak Rp
300 ribu per kuintal.
"Yang membuat kami sangat terdesak sekali saat musim
pemumpukan. Karena harus dipupuk tepat waktu, masyarakat terpaksa memutar otak
karena harus mengangkut sampai 12 karung," katanya.
Dari sinilah muncul ide, bagaimana mendesain jalan lintas
menyeberang Sungai Montong Pulet yang dalamnya 100 meter lebih. Munculnya
gerobak gantung adalah ide seorang Sundawati, Sekretaris Desa Desa Loloan. Satu
ketika di tahun 2009, sebelum ia dipindah ke Desa Sambik Elen. Ia terlibat
dengan tim survei desa untuk menemukan mata air. Dalam perjalanan survei, ia
menyaksikan salah seorang petani Torean mengangkut pupuk. Petani tersebut
memangku 50 kg pupuk menyusur medan yang sangat ekstrem. Tergelincir sedikit
saja, jatuhnya ke jurang.
"Saya lihat petani itu berhenti, istirahat tiap 10
sampai 15 meter. Saya jadi berpikir dan mengajak masyarakat untuk membuat
gerobak gantung ini," kata Sundawati.
Tahun 2010 ia dipindah ke Sambik Elen dan di tahun 2014 ia
kembali lagi ke Loloan menjabat Sekdes. Sekembalinya ini, Sundawati
merealisasikan idenya itu. Setelah musyawarah dan mufakat dengan warga,
pembiayaan gerobak gantung lantas dianggarkan pada APBDes - ADD 2015. Dananya hanya
Rp 21 juta. Tak ada upah dalam pengerjaannya, karena warga rela gotong -royong.
Sekilas konstruksinya, rada-rada aman tapi mengkhawatirkan
untuk jangka panjang. Di kedua sisi tebing Sungai Montong Pulet dibuat jangkar
beton. Jangkar ini merupakan titik angkut karungan komoditas. Di bagian
atasnya, terpasang roda-roda yang berfungsi untuk memutar tali baja (slink).
Besarnya kira-kira setara tali baja milik PLN. Tali baja ini dipasang dua buah,
sekaligus sebagai pegangan gerobak yang digantung. Dibagian bawah, juga
dipasang seutas tali nilon. Fungsinya untuk menarik gerobak dari tepi manakala
gerobak berisi beban tidak bisa berjalan sendiri.
"Saat merancang ide ini, kami tidak sempat berpikir
untuk konsultasi dengan dinas, karena terdesak dengan kebutuhan. Tapi sebagai
antisipasi, kami hanya membolehkan barang yang boleh diangkut," katanya.
Gerobak gantung ini mulai difungsikan akhir 2015 lalu. Saat
ini, masyarakat sudah sangat merasakan besar manfaatnya. Sebagian besar hasil
panen melintas dengan mulus melewati anak sungai. Tapi yang membuat warga
cemas, berapa lama sejatinya peralatan sederhana ini akan mampu bertahan.
Jangan sampai, saat dibutuhkan malah rusak dan menghambat aktivitas warga.
Bermalam di lokasi penjemputan barang biasa dilakukan
petani. Sedikitnya 60 orang petani keluar, tapi mereka harus mengantre. Karena
kereta gantung maksimal bisa menampung 2 sak jagung. Tiap sak bisa berbobot 75
- 80 kg. Secara total, panen jagung petani Torean berkisar 700 - 800 ton,
dengan asumsi produksi rata-rata 7 ton, hingga maksismal 10 ton.
Sebagai perancang kebijakan di tingkat desa, Sundawati
bersama Kepala Desa Loloan, lantas memikirkan kendala pendanaan petani. Kini,
petani setempat sudah disiapkan layanan pinjaman melalui BUMDes LKM Desa
Loloan. Tiap pinjaman petani dikenakan bunga 1,5 persen dan dibayar saat panen.
Namun persoalan petani Torean belum selesai. Mereka
berharap, akan datang bantuan pemerintah untuk bibit, pupuk, dan mesin pipil.
Demikian juga konstruksi gerobak gantung, mereka minta untuk dibantu guna
memperoleh jaminan rasa aman selama pemanfaatannya.
Tokoh Desa Loloan, yang juga Anggota Komisi III DPRD KLU,
Kardi, A.Ma., mengakui kerja keras petani di desanya belum terjamah kemudahan
dan akses yang disiapkan pemerintah. Perbankan tak pernah masuk, apalagi akses
lain.
Ia meminta SKPD terkait melihat petani Torean
lebih dekat lagi. Mengingat selama ini, petani tak pernah dibantu program.
Upaya petani selama ini kata dia, harusnya mendapat penghargaan dari
pemerintah. Mengingat dengan karakter dan budaya yang ada, mereka tidak pernah
menuntut bantuan. (Johari)
0 komentar:
Post a Comment