Be Your Inspiration

Wednesday, 31 August 2016

Nasib Petani di Kaki Rinjani, Angkut Barang Bermodal Gerobak Gantung

Gerobak gantung saat menyeberangi Sungai Torean Desa Loloan Bayan Lombok Utara

Menjadi petani bukanlah mimpi setiap orang. Apalagi bagi mereka yang tinggal di bawah kaki Gunung Rinjani. Apa-apa serba sulit. Menjual komoditas hasil tani juga sulit. Bagaimana sebenarnya lika - liku petani pelosok KLU di zaman - yang kata orang, sudah serba canggih ini?
USIA 71 tahun kemerdekaan bangsa ini belum dinikmati sepenuhnya oleh kaum terpencil. Mereka yang hidup di pedalaman, jauh dari hiruk pikuk modernitas, hanya bisa menjalani rutinitas dengan sumber daya seadanya.
Kondisi ini dialami pula oleh petani Dusun Torean, Desa Loloan, Kecamatan Bayan. Lahan garapan tadah hujan dan berada di lereng perbukitan, terpaksa dikelola hanya untuk bertahan hidup. Mereka menghasilkan jagung, padi, pisang, kemiri, lebui, dan aneka biji-bijian untuk lauk. Jagung yang dikonsumsi masyarakat kota saat ini, mungkin jiga berasal dari sana.
Areal garapan petani berada di satu kawasan perbukitan bernama Montong Pulet. Luasnya sekitar 80-an hektar. Kawasan ini terpisah dari perkampungan warga, dengan dipisah oleh aliran anak sungai Gunung Rinjani. Lebar sungai sekitar 135 meter dan kedalaman 120 meter. Di bawahnya tertata bebatuan cadas. Pada musim hujan, mengalir sungai yang arusnya deras. Pada situasi itu, warga membuat jembatan kayu atau bambu seadanya untuk bisa melintas. Karena tidak hanya warga yang bertani yang kesulitan akses, tetapi juga anak-anak sekolah. Siswa pelajar calon pemimpin bangsa ini terpaksa mengikuti orang tua tinggal di huma, demi membantu orang tua bekerja sepulang sekolah.
Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat Torean menggarap lahan ini dengan cara swadaya. Tiap KK mempunyai lahan garapan antara 1 hektar (ha) sampai 3 ha. Sejak mengolah lahan, menanam, merawat, panen sampai pengolahan pascapanen, mereka kelola sendiri, dengan dana sendiri, dan tanpa bantuan pemerintah. Sekali lagi, mereka tak pernah dapat bantuan pemerintah. Entah yang namanya Upsus Padi, Jagung, Kedelai, mereka juga tidak tahu.
Salah satu petani, Jumarip mengaku menyambut musim tanam jagung, petani Torean bergerilya ke petani Bangket Bayan membeli (tepatnya berhutang) bibit jagung. Tiap kilo dibeli seharga Rp 10 ribu. Satu orang bisa menghabiskan paling minim Rp 400 ribu. Namun siapa kira, uang untuk membeli bibit justru dipinjam dari pengepul.Utang ini nantinya diganti saat hasil panen dijual kepada pengepul tadi. Konsekuensinya, mereka seolah terikat dengan "permainan" harga si tengkulak. Seperti saat ini, harga jual beli jagung cuma Rp 3 ribu per kg.
"Harus kami akui, biaya kami lebih banyak dari pengepul. Bibit jagung atau padi kami utang, karena tidak pernah dapat bibit bantuan pemerintah. Pupuk juga kami beli sendiri, itu semua kami bayar setelah panen," ujar Jumarip, Sabtu (27/8/2016).
 
Tampak petani menurunkan barang atau komoditas pertanian dari gerobak gantung di Dusun Torean Desa Loloan Bayang Lombok Utara
Sejak proses produksi hingga panen, masyarakat ditempa hambatan demi hambatan. Klimaks hambatan ada dua. Saat mengangkut pupuk ke lokasi garapan dan pengangkutan hasil panen. Bayangkan, menyusur Sungai Montong Pulet, masyarakat harus berjalan kaki berkilo-kilo meter. Medan yang dilalui bukan jalan aspal yang dilalui Toyota Camry atau Toyota Alphard macam mobil dinas pejabat. Tetapi jalan setapak, berkerikil, dan licin saat hujan, dan menyusuri lereng dengan kemiringan ekstrem.
"Sebelum ada gerobak gantung ini, kami terpaksa membayar ongkos buruh angkut pupuk, biayanya Rp 50 ribu per sak," sebut Jumarip.
Tak hanya pupuk. Masyarakat juga membayar ongkos angkut hasil panen. Perhitungannya, dari lokasi garapan ke titik penjemputan di lereng Montong Pulet biayanya Rp 20 ribu per rit, karena menggunakan ojek sepeda motor. Lalu dari titik penjemputan melintas anak sungai ke rumah warga minimal Rp 50 ribu. Jika ditotal, ongkos angkut per kwintal bisa mencapai Rp 70 - 80 ribu. Belum termasuk ongkos buruh pupuk, menanam, hingga merawat. Bisa dibayangkan berapa keuntungan petani per kuintal jika harga beli tengkulak Rp 300 ribu per kuintal.
"Yang membuat kami sangat terdesak sekali saat musim pemumpukan. Karena harus dipupuk tepat waktu, masyarakat terpaksa memutar otak karena harus mengangkut sampai 12 karung," katanya.
Dari sinilah muncul ide, bagaimana mendesain jalan lintas menyeberang Sungai Montong Pulet yang dalamnya 100 meter lebih. Munculnya gerobak gantung adalah ide seorang Sundawati, Sekretaris Desa Desa Loloan. Satu ketika di tahun 2009, sebelum ia dipindah ke Desa Sambik Elen. Ia terlibat dengan tim survei desa untuk menemukan mata air. Dalam perjalanan survei, ia menyaksikan salah seorang petani Torean mengangkut pupuk. Petani tersebut memangku 50 kg pupuk menyusur medan yang sangat ekstrem. Tergelincir sedikit saja, jatuhnya ke jurang.
"Saya lihat petani itu berhenti, istirahat tiap 10 sampai 15 meter. Saya jadi berpikir dan mengajak masyarakat untuk membuat gerobak gantung ini," kata Sundawati.
Tahun 2010 ia dipindah ke Sambik Elen dan di tahun 2014 ia kembali lagi ke Loloan menjabat Sekdes. Sekembalinya ini, Sundawati merealisasikan idenya itu. Setelah musyawarah dan mufakat dengan warga, pembiayaan gerobak gantung lantas dianggarkan pada APBDes - ADD 2015. Dananya hanya Rp 21 juta. Tak ada upah dalam pengerjaannya, karena warga rela gotong -royong.
Sekilas konstruksinya, rada-rada aman tapi mengkhawatirkan untuk jangka panjang. Di kedua sisi tebing Sungai Montong Pulet dibuat jangkar beton. Jangkar ini merupakan titik angkut karungan komoditas. Di bagian atasnya, terpasang roda-roda yang berfungsi untuk memutar tali baja (slink). Besarnya kira-kira setara tali baja milik PLN. Tali baja ini dipasang dua buah, sekaligus sebagai pegangan gerobak yang digantung. Dibagian bawah, juga dipasang seutas tali nilon. Fungsinya untuk menarik gerobak dari tepi manakala gerobak berisi beban tidak bisa berjalan sendiri.
"Saat merancang ide ini, kami tidak sempat berpikir untuk konsultasi dengan dinas, karena terdesak dengan kebutuhan. Tapi sebagai antisipasi, kami hanya membolehkan barang yang boleh diangkut," katanya.
 Sebagai catatan, warga tidak hanya mengangkut jagung dengan gerobak ini, tapi juga sepeda motor. Warga membongkar bodi sepeda motor lebih dulu, lalu diangkut satu per satu disesuaikan dengan beban angkut gerobak. Di lokasi garapan, sepeda motor ini dirakit kembali. Motor-motor ini dimanfaatkan sebagai sarana ojek angkut hasil bumi. Di lokasi garapan, sudah terangkut 20-an motor. Beberapa sudah ditarik ke kampung, karena aktivitas garapan mulai kurang.
Gerobak gantung ini mulai difungsikan akhir 2015 lalu. Saat ini, masyarakat sudah sangat merasakan besar manfaatnya. Sebagian besar hasil panen melintas dengan mulus melewati anak sungai. Tapi yang membuat warga cemas, berapa lama sejatinya peralatan sederhana ini akan mampu bertahan. Jangan sampai, saat dibutuhkan malah rusak dan menghambat aktivitas warga.
Bermalam di lokasi penjemputan barang biasa dilakukan petani. Sedikitnya 60 orang petani keluar, tapi mereka harus mengantre. Karena kereta gantung maksimal bisa menampung 2 sak jagung. Tiap sak bisa berbobot 75 - 80 kg. Secara total, panen jagung petani Torean berkisar 700 - 800 ton, dengan asumsi produksi rata-rata 7 ton, hingga maksismal 10 ton.
Sebagai perancang kebijakan di tingkat desa, Sundawati bersama Kepala Desa Loloan, lantas memikirkan kendala pendanaan petani. Kini, petani setempat sudah disiapkan layanan pinjaman melalui BUMDes LKM Desa Loloan. Tiap pinjaman petani dikenakan bunga 1,5 persen dan dibayar saat panen.
Namun persoalan petani Torean belum selesai. Mereka berharap, akan datang bantuan pemerintah untuk bibit, pupuk, dan mesin pipil. Demikian juga konstruksi gerobak gantung, mereka minta untuk dibantu guna memperoleh jaminan rasa aman selama pemanfaatannya.
Tokoh Desa Loloan, yang juga Anggota Komisi III DPRD KLU, Kardi, A.Ma., mengakui kerja keras petani di desanya belum terjamah kemudahan dan akses yang disiapkan pemerintah. Perbankan tak pernah masuk, apalagi akses lain.
Ia meminta SKPD terkait melihat petani Torean lebih dekat lagi. Mengingat selama ini, petani tak pernah dibantu program. Upaya petani selama ini kata dia, harusnya mendapat penghargaan dari pemerintah. Mengingat dengan karakter dan budaya yang ada, mereka tidak pernah menuntut bantuan. (Johari)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive