Be Your Inspiration

Wednesday 31 August 2016

Tradisi Perang Timbung Ala Masyarakat Pejanggik Lombok Tengah

Inilah makam Serewe di Pejanggik Lombok Tengah yang diklaim sebagai lokasi pemakaman Raja Pejanggik. Sekarang ini, lokasi makam ini dijadikan sebagai lokasi perang Timbung
Tradisi Perang Timbung yang dilakoni masyarakat Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah Lombok Tengah mengandung makna mendalam. Selain demikian, tradisi yang dilaksanakan sekali dalam setahun itu juga sarat dengan kandungan nilai filosofis. Peristiwa budaya tersebut merupakan tradisi yang unik. Perang Timbung dilakukan laiknya seperti perang topat di Pura Lingsar.
Perang Timbung, oleh masyarakat Pejanggik dimaknai sebagai peringatan tragedi perang yang terjadi pada zaman kerajaan. Selain demikian, tradisi itu juga dilakukan sebagai bentuk pengejawantahan keriangan masyarakat. Para penduduk mengejawantahkan kebahagiaan atas hasil panen yang berlimpah usai bercocok tanam.
Konon, tradisi ini dimulai ketika kerajaan pejanggik telah tidak ada. Denek Pemban Aji Mraja Kusuma yang menjadi pimpinan terakhir Kerajaan Pejanggik diperkirakan menghilang. Ia menghilang dalam satu insiden penyerbuan yang dilakukan tentara Belanda. Raja Pejanggik terakhir ini diyakini meninggalkan petilasan persis di lokasi Makam Serewe di Desa Pejanggik sekarang.
Makam yang kemudian dijadikan tanah pemakaman tersebut, kini dijadikan lokasi pusat penyelenggaraan tradisi Perang Timbung. Dalam hal ini, permainan perang yang dilakoni para remaja tersebut menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan yang dilakukan oleh sang raja. Petilasan terakhir raja pejanggik itu dijadikan tempat pemakaman para almarhum pepatih – pepatih yang setia mengabdi pada kerajaan.
“Kenapa makamnya disini, karena dalam sejarahnya di tanah Serewe inilah yang mulia raja Pejanggik itu dinyatakan menghilang. Pada waktu itu terjadi perang penyerbuan istana kerajaan,” tutur Amanah, warga pejanggik yang kini mengabdikan diri sebagai penjaga makam ketika diwawancara, Jumat (26/8/2016).
Perang Timbung di Pejanggik Lombok Tengah NTB
Lebih jauh, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Loteng, H.L. Putria yang menghadiri kegiatan tersebut mengemukakan, tradisi masyarakat yang telah berusia ratusan tahun itu ingin dilestarikan. Tujuannya ialah agar dapat ditonjolkan sebagai daya tarik dalam bidang industri pariwisata.
“Sebetulnya sangat mudah, masyarakat cukup sekadar merawat, memelihara tradisi maupun cagar budaya mereka agar tetap terlestarikan. Itu bisa menjadi asset yang diandalkan dalam dunia pariwisata. Selain kita mengendepankan pemeliharaan aspek kebersihan dan menciptakan keamanan,” katanya.
Tradisi masyarakat yang sempat punah tersebut sejatinya mulai dilakukan sejak tahun 2004 silam. Kala itu, L. Putria tengah menjabat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di Disbudpar kabupaten setempat. Pihaknya mulai menggalakkan tradisi itu, dengan misi pelestarian dan pemberdayaan.
“Seperti sekarang ini, masyarakat cukup duduk – duduk saja. Tamu yang datang luar biasa. Disini ada hadir Sultan Bulungan Raja Muda H. Datu Dissan Maulana Djalaluddin sebagai tamu utama. Ia datang bersama rombongannya,” tuturnya.
Dissan Maulana Djalaluddin dari Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara tersebut, menyempatkan diri untuk menghadiri ruatan masyarakat sasak tersebut. Ia bersama rombongan, secara khusus menghadiri kegiatan itu sebagai bentuk jalinan silaturahmi antar masyarakat di nusantara. (Sahmat Darmi)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive