Inilah makam Serewe di Pejanggik Lombok Tengah yang diklaim sebagai lokasi pemakaman Raja Pejanggik. Sekarang ini, lokasi makam ini dijadikan sebagai lokasi perang Timbung |
Perang Timbung,
oleh masyarakat Pejanggik dimaknai sebagai peringatan tragedi perang yang
terjadi pada zaman kerajaan. Selain demikian, tradisi itu juga dilakukan
sebagai bentuk pengejawantahan keriangan masyarakat. Para penduduk
mengejawantahkan kebahagiaan atas hasil panen yang berlimpah usai bercocok
tanam.
Konon, tradisi ini dimulai
ketika kerajaan pejanggik telah tidak ada. Denek Pemban Aji Mraja Kusuma yang
menjadi pimpinan terakhir Kerajaan Pejanggik diperkirakan menghilang. Ia
menghilang dalam satu insiden penyerbuan yang dilakukan tentara Belanda. Raja
Pejanggik terakhir ini diyakini meninggalkan petilasan persis di lokasi Makam
Serewe di Desa Pejanggik sekarang.
Makam yang kemudian dijadikan tanah pemakaman tersebut, kini dijadikan lokasi pusat penyelenggaraan tradisi Perang Timbung. Dalam hal ini, permainan perang yang dilakoni para remaja tersebut menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan yang dilakukan oleh sang raja. Petilasan terakhir raja pejanggik itu dijadikan tempat pemakaman para almarhum pepatih – pepatih yang setia mengabdi pada kerajaan.
Makam yang kemudian dijadikan tanah pemakaman tersebut, kini dijadikan lokasi pusat penyelenggaraan tradisi Perang Timbung. Dalam hal ini, permainan perang yang dilakoni para remaja tersebut menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan yang dilakukan oleh sang raja. Petilasan terakhir raja pejanggik itu dijadikan tempat pemakaman para almarhum pepatih – pepatih yang setia mengabdi pada kerajaan.
“Kenapa makamnya disini,
karena dalam sejarahnya di tanah Serewe inilah yang mulia raja Pejanggik itu
dinyatakan menghilang. Pada waktu itu terjadi perang penyerbuan istana
kerajaan,” tutur Amanah, warga pejanggik yang kini mengabdikan diri sebagai
penjaga makam ketika diwawancara, Jumat (26/8/2016).
Lebih jauh, Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Loteng, H.L. Putria yang menghadiri
kegiatan tersebut mengemukakan, tradisi masyarakat yang telah berusia ratusan
tahun itu ingin dilestarikan. Tujuannya ialah agar dapat ditonjolkan sebagai
daya tarik dalam bidang industri pariwisata.
Perang Timbung di Pejanggik Lombok Tengah NTB |
“Sebetulnya sangat mudah, masyarakat
cukup sekadar merawat, memelihara tradisi maupun cagar budaya mereka agar tetap
terlestarikan. Itu bisa menjadi asset yang diandalkan dalam dunia pariwisata.
Selain kita mengendepankan pemeliharaan aspek kebersihan dan menciptakan
keamanan,” katanya.
Tradisi masyarakat yang
sempat punah tersebut sejatinya mulai dilakukan sejak tahun 2004 silam. Kala
itu, L. Putria tengah menjabat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di Disbudpar
kabupaten setempat. Pihaknya mulai menggalakkan tradisi itu, dengan misi
pelestarian dan pemberdayaan.
“Seperti sekarang ini,
masyarakat cukup duduk – duduk saja. Tamu yang datang luar biasa. Disini ada
hadir Sultan Bulungan Raja Muda H. Datu Dissan Maulana Djalaluddin sebagai tamu
utama. Ia datang bersama rombongannya,” tuturnya.
Dissan
Maulana Djalaluddin dari Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara tersebut,
menyempatkan diri untuk menghadiri ruatan masyarakat sasak tersebut. Ia bersama
rombongan, secara khusus menghadiri kegiatan itu sebagai bentuk jalinan
silaturahmi antar masyarakat di nusantara. (Sahmat Darmi)
0 komentar:
Post a Comment