Buat bakul atau keraro Lombok |
Kampung
Kebon Kongok Desa Sukamakmur Kecamatan Gerung tersohor sebagai sentra kerajinan
bakul bambunya. Di Lombok, kerajinan
bakul daerah ini begitu dikenal. Namun sayang, kondisi saat ini sentra
kerajinan ini di ambang mati suri lantaran minimnya perhatian Pemda. Perajin
mengeluhkan minimnya modal usaha dan pemasaran kerajinan tersebut sehingga
banyak diantara perajin tersebut berhenti.
Kampung
Kerajinan Bakul Kongok ini terletak di bagian barat Kota Gerung, berjarak
sekitar 3 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Gerung.
Kampung ini menyatu dengan lahan TPA Kebon Kongok. Memasuki kampung kerajinan ini, tak sulit mencari perajin bakul ini. Sebab, hampir di semua rumah ada yang membuat kerajinan.
Kampung ini menyatu dengan lahan TPA Kebon Kongok. Memasuki kampung kerajinan ini, tak sulit mencari perajin bakul ini. Sebab, hampir di semua rumah ada yang membuat kerajinan.
Salah
satunya, Jumirah (31). Jumirah mengaku Kampung Kebon Kongok dikenal sebagai sentra
kerajinan bakul sejak dulu. Awal mula kerajinan ini dibuat oleh para tetua dan
masih eksis hingga saat ini. Kemampuan membuat kerajinan inilah menjadi warisan
yang tak bisa ditinggalkan warga setempat. Akan tetapi miris, meski telah lama
digeluti warga setempat. Akan tetapi semenjak mulai dikembangkan sampai
sekarang tidak ada kemajuan.
Bambu irisan buat bakul atau keraro Lombok |
Ia sendiri
mengaku menggeluti sebagai perajin sejak masih gadis, hingga memiliki tiga anak
kondisinya tak berubah. Masalah yang dialami perajin dari dulu sampai sekarang
minimnya perhatian pemerintah. Ia mengaku, pemerintah tidak pernah melirik
potensi yang ada di daerah itu. Pemerintah sekalipun tidak pernah memberi
bantuan ke perajin setempat, entah itu berupa dana, alat dan pembinaan. Bahkan,
perajin mengeluti kerajinan itu dengan biaya pribadi. “Kami
membuat kerajinan dengan dana sendiri, kami berutang untuk beli bahan baku. Kalau
pemerintah tidak pernah bantu kami,” akunya.
Untuk
menghasilkan satu buah bakul, butuh bambu 1-3 batang tergantung besar dan
kecilnya. Kalau ukurannya besar, maka perlu 2 batang. Bambu ini didatangkan
dari luar dengan harga lumayan, mencapai Rp 15-25 ribu per batang. Proses
pembuatannya pun lumayan rumit, butuh ketelatenan dan keahlian. Proses awal
pembuatannya, jelasnya, batang bambu dibelah menjadi kecil-kecil. Setelah itu
diiris, isi dalamnya dibuang, sehingga menyisakan kulit luarnya saja. Setelah itu,
irisan bambu direndam supaya mudah dianyam.
Periksa bakul atau keraro Lombok |
Ia mengaku,
untuk membuat satu bakul mulai dari proses awal hingga selesai butuh waktu 7
hari (seminggu). Pembuatannya lumayan lama, sebab agak rumit. Setelah bambu
diiris kecil-kecil dan direndam, proses selanjutnya dibuatlah bakul. Proses
awal pembuatan bakul ini dinilai rumit, sebab memulai menganyam perlu mengikuti
kerangka yang ada. Kerangka ni dibuat menggunakan rotan. Setelah selesai dibuat
bagian bawah bakul, barulah diikuti ke bagian atas (mulut bakul). “Agak rumit,
kalau tidak telaten tidak bisa selesai-selesai,” ujarnya.
Beragam
jenis dan motif bakul yang dihasilkan. Namun motif bakul yang dibuat tidak
banyak perubahan. Yang berubah hanya diberikan cat, sedangkan motif lain yang
lebih bagus perajin tidak bisa buat.
Menurutnya
jerih payah dan pengeluaran pembuatan bakul ini tak sebanding dengan untung
yang diperoleh. Biaya per satu bakul jelasnya bisa mencapai Rp 25 ribu,
sedangkan harga jual bakul bervariasi dari Rp 12.500 hingga maksimal ratusan ribu.
Terkadang katanya, ia lebih dulu mengambil bayaran ke pengepul barulah setelah
bakul dibuat diserahkan ke pengepul tanpa mengambil bayaran.
Bahan membuat keraro atau bakul Lombok |
Kebanyakan
perajin, katanya mengambil lebih dulu uang dari pengepul barulah dibayar
menggunakan bakul tersebut. Bahkan karena tak ada biaya hidup, perajin banyak
yang berutang dulu.
Ia mengaku,
perajin setempat terkendal modal usaha. Kebanyakan mereka menggunakan modal
pribadi untuk membuat bakul. Perajin tak berani mengambil kredit di bank,
karena takut tak bisa mengembalikan. Selain modal, perajin juga terkendala
pemasaran.
Selama ini,
perajin hanya mengandalkan penjualan kerajinan oleh tukang keliling yang tak
pasti modalnya. Sebab penjual ini tanpa modal, keliling ke desa-desa tetangga
memasarkan bakul tersebut. Hal ini menambah kesulitan perajin. Ia membandingkan
kerajinan gerabah yang pemasarannya luas ke luar daerah. “Kalau bisa begitu
kami sangat terbantu,” harapnya.
Kondisi ini,
katanya menyebabkan banyak perajin berhenti menggeluti, terutama kaum
laki-laki. Warga laki-laki biasanya jika ada pekerjaan lain menjadi buruh dan
tukang gali mereka memilih pekerjaan itu dibandingkan membuat kerajinan. Sebab
hasil dari kerajinan ini lama bisa dinikmati, karena tidak jelas pasarnya.
Kebanyakan yang masih bertahan adalah kaum perempuan, sebab mereka tak ada
pilihan lain.
Berharap
pekerjaan lain, mereka tidak punya berpendidikan. Perajin setempat berharap
agar pemerintah memperhatikan mereka, supaya kerajinan ini bisa menghasilkan
pemasukan lebih besar.
Sementara
itu, Kades Sukamakmur, Saharudin mengakui, perhatian Pemda ke perajin minim.
Pemda terutama Dinas Perindag tak pernah menyentuh perajin di daerah setempat.
Sementara pemerintah desa baru bisa memperhatikan beberapa tahun terakhir
melalui dan desa. “Memang minim diperhatikan Pemda, desa sendiri baru bisa
memperhatikan sejak ada dana desa,” katanya.
Perajin bakul ada di dua dusun yakni Dusun Kongok dan Dusun Pendatuk, jumlah KK-nya mencapai ratusan KK. Kebanyakan mereka berekonomi lemah. (heru)
0 komentar:
Post a Comment