Be Your Inspiration

Friday 28 August 2020

Menko PMK Kampanyekan Gerakan Pakai Masker Lewat Khutbah Jumat di NTB

Menko PMK Muhadjir Effendy jadi Khatib Shalat Jumat di Masjid Agung Lombok Tengah, Jumat (28/8/2020)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menjadi khatib pada salat Jumat di Masjid Agung Praya, Jumat 28 Agustus 2020. Dalam khotbahnya tersebut, Muhadjir meminta masyarakat menaati protokol kesehatan. "Jika kita menerapkan protokol kesehatan dengan tulus, ikhlas, apa lagi dengan niatan untuk menyelamatkan nyawa kita dan orang lain, insya Allah itu akan bernilai pahala," ungkapnya.

Pentingnya menjalankan protokol kesehatan ini disampaikan oleh menteri PMK dengan menceritakan sebuah kisah salah satu nabi yaitu cerita nabi Ibrahim yang akan mengorbankan nyawa anaknya yakni Ismail demi mengikuti perintah Allah. Dalam risalah tersebut, sesaat nabi Ismail, lanjutnya diganti dengan seekor domba dan akhirnya bukan Ismail yang disembelih, melainkan domba tersebut.

Ia menyampaikan kepada masyarakat bahwa dalam kisah ini, betapa berharganya nyawa manusia, sehingga kita sebagai umat yang taat kepada Allah senantiasa diperintahkan untuk menjaga sesama. "Satu hal yang kita petik, bahwa nyawa manusia tidak boleh dikorbankan dengan alasan apapun," tegasnya.

Protokol kesehatan ini, lanjutannya, adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penularan COVID-19 yang sedang melanda dunia khususnya di Indonesia ini, dengan menerapkan protokol kesehatan, artinya masyarakat turut serta dalam pencegahan penularan COVID-19 ini. Oleh sebab itu, Muhadjir mengajak masyarakat untuk kesekian kalinya menaati protokol kesehatan demi kemaslahatan bersama. "Marilah kita perangi Covid ini dengan menerapkan protokol kesehatan, dimanapun kita berada," ajaknya.

Di akhir khotbahnya ia meminta masyarakat untuk senantiasa berusaha menjaga kesehatan berdoa agar Pandemi COVID-19 ini segera berakhir agar kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia kembali pulih seperti biasanya. "Mari kita terus berdoa agar tetap dalam lindungan Allah agar kita tetapbisa melakukan ibadah di masjid kita tercinta ini," tutupnya. (Humas NTB)
Share:

Tuesday 25 August 2020

Mau Lihat Peninggalan Islam Wetu Telu, Mari Datangi Masjid Raudatul Muslimin Dusun Telaga Lebur Kebon Sekotong

Penghulu dusun Telaga Lebur Kebon Sekotong Tengah menunjukkan naskah Khutbah Jumat yang ditulis pakai tangan di Masjid Raudhatul Muslimin, Minggu (23 Agustus 2020)
Masjid Raudatul Muslimin yang terletak di Dusun Telaga Lebur Kebon, Desa Sekotong Tengah merupakan salah satu masjid tertua di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat (Lobar). Konon masjid yang berdiri sejak penganut wetu telu (islam waku telu) ini memiliki sejarah.

Hal ini dibuktikan dengan benda-benda peninggalan yang masih disimpan rapi di masjid itu berupa bong (kendi) dan Al-Qur'an serta khutbah tulis tangan. Masjid itu kini dibangun oleh warga setempat. Namun masyarakat tetap mempertahankan dan menjaga benda-benda peninggalan di masjid tersebut. H. Abdul Hamid, penghulu dusun setempat saat acara peletakan batu pertama pembangunan masjid berukuran 17x20 m2 tersebut, Minggu (23 Agustus 2020), menunjukkan bukti benda-benda peninggalan tersebut.

Dia menceritakan sejarah masa lampau napak tilas penyebaran Islam Wetu Telu di daerah itu dengan gamblang. Mantan sekretaris desa ini menceritakan penggalan cerita yang diperoleh dari almarhum orang tuanya, sepuh dan ulama (tuan guru). Dulu, di daerah Sekotong (dulu mencakup Lembar), ada masjid bagi kaum (penganut) Islam waktu lima.

Lalu kedua, masjid di dusun Telaga Lebur ini di mana saat itu masyarakat menganut Islam wetu telu. Kaum yang datang beribadah ke masjid ini dari seluruh daerah Sekotong. Warga saat itu pun hanya datang beribadah dua kali setahun, yakni di saat hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha.

Sedangkan ibadah lain tidak ada. Ibadah pun dilakukan hanya oleh orang disebut kiyai di zaman itu. Sedangkan di luar itu (warga biasa) tidak ikut shalat. Ia pun bertanya kepada kakeknya ketika itu, kenapa disebut wetu telu?.

 Menurut penjelasan kakeknya bernama Papuq Darsiah yang menjadi penghulu saat itu, bahwa ibadah shalat yang dilakukan hanya tiga waktu, yakni Subuh, Zuhur dan Isya. “Makanya disebut saat itu Islam tahun wetu telu (tiga waktu),” beber dia. Konon pada waktu itu, warga bernama Amak Beleq mengajak warga lain di daerah itu membangun masjid dengan ukuran 8x8 m2.

Setelah jadi masjid ini, dibawakanlah Al-Qur'an ditulis tangan dengan menaiki sampan dari pelabuhan Carik Desa Anyar, Kecamatan Bayan, KLU dan turun di Tanjung Batu (Sekotong). Al-Qur'an itu pun ditaruh di masjid wetu telu di dusun (dulu disebut pegubukan) Telaga Lebur tersebut. “Ini bukti fisik (Al-Qur'an) tulis tangan itu, sampai saat ini kami simpan bagus,” tutur dia sambil menunjukkan ke hadirin.

Seiring waktu masjid itu pun sudah mengalami tiga kali rehab dengan ukuran yang tetap. Namun mengingat kondisi saat ini, warga semakin bertambah maka dibangunlah masjid ini lebih lebar. Selain Al-Qur'an tulis tangan, ada juga peninggalan benda berupa bong (kendi). Orang tuanya sendiri tidak tahu kalau bong ini dibawa dari Bayan. Namun Ia mendapatkan cerita dari seorang ulama (tuan guru) sekitar tahun 1980 silam.

Di saat itu, bong ini memiliki keanehan karena di saat almarhum orang tuanya mengambil air di sungai menggunakan kuali untuk mengisi kendi itu. Justru disaat diisi air banyakpun tidak bisa penuh. “Sekali tumpah empat kuali, dari jam 12 siang sampai jam 5 sore diisi tapi tidak bisa penuh bong ini, itu cerita dari almarhum bapak dan paman saya,”ujar dia.

Selain cerita zaman dulu tentang bong yang dinilai ajaib, bong ini juga sampai saat ini tidak bisa lumutan. Tidak seperti kendi pada umumnya, jika ditaruh dan diisi air selama sekian bulan saja pasti berlumut. Selain bong, ada juga khutbah panjang bertulis tangan.

Khutbah ini terdiri dari khutbah Jumat dan hari raya haji. Ia dipesan oleh almarhum kakeknya, kalau khutbah ini tidak boleh dibaca sembarangan. Namun dibaca saat ada penyakit. “Saya pun kemarin baru membacanya, karena saat ini terjadi corona,” imbuh dia.

Selain itu kiyai sepuh di Sekotong ini juga menuturkan asal muasal warga Dusun Telaga Lebur pada umumnya. Banyak yang tidak mengetahui hal ini. Asal usul nenek moyang warga dusun itu dari Bayan- KLU. Konon ceritanya, dulu ada warga bernama Amaq Beleq (warga Bayan), pergi ke daerah Sekotong. Lalu Amaq Beleq ini yang beranak pinak sehingga warga pun semakin banyak tinggal di daerah itu.

 Bukti keberadaan amaq Beleq ini pun dibuktikan dengan adanya makam di pemakaman umum setempat. Ukuran makamnya tak seperti warga pada umumnya, karena ukurannya yang cukup luas. “Karena itu disebut amaq Beleq (besar red),” terang dia. Lalu dari sisi budaya dan bahasa, warga dusun Telaga Lebur ini sama dengan Bayan.

Uniknya, warga setempat menyebut utara disebut selatan sedangkan selatan disebut utara. “Ini aneh, dan ini satu-satunya di Lombok, bahasa ini lah dibawa dari Bayan,” jelas dia. (Heruzzubaidi/Lombok Barat)
Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive