Derap seekor kuda melaju kencang menerobos semak belukar. Seorang prajurit yang
terluka berusaha memegang tali kekang kudanya agar tidak terjatuh. Kaki kirinya
yang tertancap panah terus mengeluarkan darah. Namun, sang prajurit tidak
peduli. Baginya, keselamatan sang raja lebih penting daripada nyawanya.
Seorang prajurit yang piket di menara pengawas kerajaan segera membunyikan
lonceng sebagai isyarat bahaya. Prajurit yang sebelumnya beristirahat santai
bersiap siaga dan segera berkumpul di alun-alun kerajaan.
Prajurit yang berjaga di gerbang kerajaan segera membuka pintu saat prajurit
dan kudanya mendekat. Tanpa basa basi, dia langsung menuju istana yang menjadi
tempat raja biasa memberikan pengarahan pada pasukan kerajaan.
"Ampun, paduka. Ke.. ke.. rajaan Sari Gangga dalam bahaya," ujar
prajurit terputus-putus sambil menyembah di tanah pada Raja dan seluruh
petinggi kerajaan.
"Bahaya?" tanya Prabu Brandana. "Siapa yang mau menyerang
kerajaan?" tanyanya balik.
"Ampun paduka," jawab prajurit dengan suara semakin melemah.
"Raja Mantang. Dia dan prajuritnya sudah sampai hutan Aikmual. Sebentar
lagi mereka sampai sini. Mereka mengincar mata air Sari Gangga," jawabnya
terbata-bata. Setelah itu, sang prajurit terjatuh lemas dan pingsan.
"Raja Mantang," ujar Prabu Brandana kaget. "Kurang ajar. Mereka
berani melawan kita,"
"Nyen Nyeh," teriak Raja memanggil perdana menterinya.
"Hamba, Gusti Prabu," jawab Pangeran Nyen Nyeh datang sambil
bersujud.
"Perintahkan semua prajurit siaga. Jangan sampai Prabu Santana dan
prajuritnya masuk ke wilayah kita. Jaga juga mata air Sari Gangga dari rebutan
siapapun," perintahnya.
"Daulat, Gusti Prabu. Hamba permisi siapkan pasukan," ujarnya.
Setelah memberi hormat, Pangeran Nyen Nyeh pun berlalu.
"Bawa prajurit yang terluka ini! Suruh tabib kerajaan merawat dia
baik-baik," perintah sang Raja pada prajurit yang lain.
"Daulat Gusti Prabu," jawab beberapa prajurit sambil memberi hormat.
Setelah itu, mereka membawa rekan mereka untuk mendapat pengobatan.
Sementara Perdana Menteri Pangeran Nyen Nyeh menyiagakan seluruh prajuritnya.
Pasukan pemanah bersiap-siap di atas benteng dan lokasi strategis lainnya.
Warga kerajaan diungsikan ke tempat persembunyian rahasia. Sementara ibu-ibu
dan wanita tua berkumpul di lokasi yang sudah disiapkan kerajaan dengan senjata
seadanya. Beberapa bayi dan anak-anak yang masih di bawah umur menangis, karena
ketakutan dengan kondisi yang terjadi.
Mata air Sari Gangga yang selama ini disucikan warga Kerajaan Sari Gangga
terletak di pertemuan dua sungai, yakni Sungai Sari Gangga dan Eyat (bahasa
Sasak - sungai kecil) Jontlak yang bermuara di luar istana kerajaan. Sekarang
wilayah ini masuk wilayah Kelurahan Jontlak Kecamatan Praya Tengah Lombok
Tengah Nusa Tenggara Barat.
Bagi warga sekitar, air ini dipercaya mampu
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan membawa berkah saat dicampur dengan
air lain untuk menyiram tanaman atau rumah.
Di muara sungai ini, ada batu seukuran gajah besar dengan genangan air kecil di
bawahnya. Genangan air di bawah ini tetap jernih, meski air dari dua sungai
yang datang dari hulu berwarna kecoklatan dari hulu. Di dekat batu ada satu
pohon beringin besar yang berumur ratusan tahun dengan akar yang menjuntai.
Sementara di tepi sungai, tumbuh berbagai jenis pohon yang buahnya bisa
dikonsumsi warga kerajaan, seperti jambu air, kelapa, nanas, srikaya dan
lainnya. Tidak hanya itu, pohon bambu banyak tumbuh di pinggir sungai, sehingga
membuat banyak warga yang datang ke sungai merasa nyaman.
Oleh warga setempat, lokasi air ini dipercaya berhubungan langsung dengan
Sungai Gangga di India. Karena merasa masih punya hubungan dengan Sungai Gangga
di India, warga setempat menamakan mata air itu dengan Sari Gangga. Artinya,
air yang merupakan sari pati dari Sungai Gangga -- sungai yang disucikan warga
India, khususnya umat Hindu.
Asal muasal dinamakan Mata Air Sari Gangga dimulai
dengan kedatangan seorang penyebar agama Hindu dari India bernama Laksmana.
Laksmana yang didampingi beberapa pengikutnya waktu itu, sedang mencari lokasi
yang cocok untuk membangun tempat persembahyangan. Dengan berjalan kaki, mereka
kemudian menyusuri sebuah aliran sungai setelah melalui hutan belantara di
utara Pulau Lombok. Mereka masuk lewat satu pantai di Lombok Utara yang kini
masuk wilayah Kayangan.
Sampai akhirnya, mereka tiba di satu lokasi yang
cukup bagus. Di lokasi ini ada sebuah mata air yang berada di muara pertemuan
dua sungai. Di dekat itu, mereka kemudian membangun sebuah gubuk kecil dan
tempat persembahyangan sederhana. Dari lokasi itulah kemudian mereka mulai
menyebarkan ajaran agama Hindu pada masyarakat yang ada di sekitarnya hingga
menyebar ke seluruh penjuru Pulau Lombok.
Tak berapa lama kemudian, masyarakat yang tertarik
pada ajaran ini kemudian membangun rumah yang terbuat dari bambu dan beratapkan
ilalang atau daun enau dan kelapa. Dalam jangka waktu lima tahun, kawasan itu
menjadi ramai. Pusat perdagangan pun dibangun dan menjadi lokasi transit para
penggelana yang pergi ke daerah lain.
Melihat besarnya potensi yang dimiliki Mata Air
Sungai Sari Gangga membuat banyak pihak atau kelompok ingin merebutnya. Apalagi
setelah Laksmana mangkat dan digantikan muridnya Resi Bonter. Resi Bonter pun
berusaha mengajarkan ilmu silat pada murid-murid dan warga yang ada di
sekitarnya dengan tujuan bisa mempertahankan diri dari serangan pihak luar.
Dari hari ke hari jumlah yang belajar semakin
banyak, membuat warga sepakat mengangkat Resi Bonter sebagai pemimpin. Resi
Bonter pun mempersunting seorang muridnya bernama Seniyah. Dari hasil
perkawinannya lahirlah putranya bernama Galih Mandara dan Rende Sasaka.
Seiring berjalannya waktu, Resi Bonter pun mangkat
dan dikremasi sebagaimana halnya dengan yang berlaku pada ajaran Hindu. Galih
Mandara akhirnya diangkat menggantikan ayahnya. Galih Mandara berusaha
memperluas wilayah Kerajaan Sari Gangga hingga seluruh penjuru Pulau Lombok
berhasil dikuasai.
Beberapa kerajaan kecil pun ditaklukkannya dan membayar
upeti tiap tahun ke Kerajaan Sari Gangga. Namun, Kerajaan Mantang yang berada
di utara masih setengah hati membayar upeti ke Kerajaan Sari Gangga. Dipimpin
anaknya yang jago berkelahi, Ramba Rimba yang dikenal sebagai Resi Rimbawan,
masa kejayaan Kerajaan Sari Gangga ada di masa ini.
Setelah 10 tahun memimpin, akhirnya Resi Bonter
memilih menyerahkan tampuk kekuasaannya pada anaknya Resi Rimbawan. Resi
Rimbawan yang menikah dengan Putri Giok dari tanah Tiongkok memperoleh dua
anak, yakni Putri Ayuning dan Pangeran Kumara.
Pada masa pemerintahan Resi Rimbawan ini, sempat
terjadi peperangan dengan Kerajaan Mantang hingga menewaskan Resi Rimbawan,
karena raja Kerajaan Mantang Prabu Santana ingin menguasai mata air Sari
Gangga. Resi Rimbawan tewas secara ksatria, karena dibunuh secara licik oleh
Prabu Santana dalam sebuah peperangan. Hal ini membuat putra-putri Resi
Rimbawan pun dendam. Tampuk kekuasaan pun diambilalih Brandana suami dari Putri
Ayuning. Mereka dikaruniai dua putra dan 1 putri.
Namun, Prabu Santana rupanya masih bernafsu sehingga
kembali mengirim pasukannya merebut mata air Sari Gangga dari tangan Kerajaan
Sari Gangga. (Bersambung)