Be Your Inspiration

Wednesday 31 August 2016

Tradisi Perang Timbung Ala Masyarakat Pejanggik Lombok Tengah

Inilah makam Serewe di Pejanggik Lombok Tengah yang diklaim sebagai lokasi pemakaman Raja Pejanggik. Sekarang ini, lokasi makam ini dijadikan sebagai lokasi perang Timbung
Tradisi Perang Timbung yang dilakoni masyarakat Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah Lombok Tengah mengandung makna mendalam. Selain demikian, tradisi yang dilaksanakan sekali dalam setahun itu juga sarat dengan kandungan nilai filosofis. Peristiwa budaya tersebut merupakan tradisi yang unik. Perang Timbung dilakukan laiknya seperti perang topat di Pura Lingsar.
Perang Timbung, oleh masyarakat Pejanggik dimaknai sebagai peringatan tragedi perang yang terjadi pada zaman kerajaan. Selain demikian, tradisi itu juga dilakukan sebagai bentuk pengejawantahan keriangan masyarakat. Para penduduk mengejawantahkan kebahagiaan atas hasil panen yang berlimpah usai bercocok tanam.
Konon, tradisi ini dimulai ketika kerajaan pejanggik telah tidak ada. Denek Pemban Aji Mraja Kusuma yang menjadi pimpinan terakhir Kerajaan Pejanggik diperkirakan menghilang. Ia menghilang dalam satu insiden penyerbuan yang dilakukan tentara Belanda. Raja Pejanggik terakhir ini diyakini meninggalkan petilasan persis di lokasi Makam Serewe di Desa Pejanggik sekarang.
Makam yang kemudian dijadikan tanah pemakaman tersebut, kini dijadikan lokasi pusat penyelenggaraan tradisi Perang Timbung. Dalam hal ini, permainan perang yang dilakoni para remaja tersebut menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan yang dilakukan oleh sang raja. Petilasan terakhir raja pejanggik itu dijadikan tempat pemakaman para almarhum pepatih – pepatih yang setia mengabdi pada kerajaan.
“Kenapa makamnya disini, karena dalam sejarahnya di tanah Serewe inilah yang mulia raja Pejanggik itu dinyatakan menghilang. Pada waktu itu terjadi perang penyerbuan istana kerajaan,” tutur Amanah, warga pejanggik yang kini mengabdikan diri sebagai penjaga makam ketika diwawancara, Jumat (26/8/2016).
Perang Timbung di Pejanggik Lombok Tengah NTB
Lebih jauh, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Loteng, H.L. Putria yang menghadiri kegiatan tersebut mengemukakan, tradisi masyarakat yang telah berusia ratusan tahun itu ingin dilestarikan. Tujuannya ialah agar dapat ditonjolkan sebagai daya tarik dalam bidang industri pariwisata.
“Sebetulnya sangat mudah, masyarakat cukup sekadar merawat, memelihara tradisi maupun cagar budaya mereka agar tetap terlestarikan. Itu bisa menjadi asset yang diandalkan dalam dunia pariwisata. Selain kita mengendepankan pemeliharaan aspek kebersihan dan menciptakan keamanan,” katanya.
Tradisi masyarakat yang sempat punah tersebut sejatinya mulai dilakukan sejak tahun 2004 silam. Kala itu, L. Putria tengah menjabat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di Disbudpar kabupaten setempat. Pihaknya mulai menggalakkan tradisi itu, dengan misi pelestarian dan pemberdayaan.
“Seperti sekarang ini, masyarakat cukup duduk – duduk saja. Tamu yang datang luar biasa. Disini ada hadir Sultan Bulungan Raja Muda H. Datu Dissan Maulana Djalaluddin sebagai tamu utama. Ia datang bersama rombongannya,” tuturnya.
Dissan Maulana Djalaluddin dari Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara tersebut, menyempatkan diri untuk menghadiri ruatan masyarakat sasak tersebut. Ia bersama rombongan, secara khusus menghadiri kegiatan itu sebagai bentuk jalinan silaturahmi antar masyarakat di nusantara. (Sahmat Darmi)
Share:

Perang Timbung, Upaya Membagi Kebahagiaan Ala Masyarakat Pejanggik Lombok Tengah

Perang Timbung di Lombok Tengah

Warga Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) melaksanakan tradisi Perang Timbung, Jumat (26/8/2016) . Tradisi yang digalakkan kembali sejak tahun 2004 itu berlangsung di Kawasan Pejanggik.
Kepala Dinas Kabudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Loteng, Drs. H. L. Putria menjelaskan, tradisi tersebut sebetulnya telah dimulai sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat di Kerajaan Pejanggik selalu mengadakan upacara adat pasca musim panen. Perang timbung itu menjadi pengejawantahan penduduk atas kebahagiaannya. Mereka berbahagia hati lantaran hasil panennya terus melimpah.
“Perang timbung ini adalah bentuk upaya masyarakat dalam merayakan kebahagiaan, karena hasil panen mereka yang melimpah. Khususnya di Kerajaan pejanggik dulu. Peristiwa budaya ini sempat punah, tetapi kami mulai adakan lagi sejak 2004. Itu semasa saya menjabat sebagai Kabid Kebudayaan,” kenang L. Putria.
Sejak dimulainya lagi pelaksanaannya, kegiatan ini menjadi atraksi budaya yang dimanfaatkan untuk kebutuhan kepariwisataan. Tradisi ini menjadi peristiwa unik yang dimunculkan untuk memancing ketertarikan wisatawan datang ke Loteng. L. Putria mengatakan, dari tahun ke tahun, selama penyelenggaraannya, atraksi budaya masyarakat ini wajib disaksikan banyak wisatawan.
Sayangnya kegiatan bergengsi dan berkontribusi lebih dalam industri pariwisata ini, tidak masuk menjadi bagian dari kegiatan Bulan Budaya Lombok Sumbawa (BBLS) 2016. Kegiatan tersebut menjadi agenda “pribadi” Pemkab Loteng tanpa didukung oleh Disbudpar dari lingkup provinsi.
“Support anggaran, kita jalan saja meskipun tidak ada bantuan dari pihak pemerintah provinsi. Sebab, kami melihat kegiatan ini memberikan dampak positif terhadap ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Mitos yang berkembang di tengah masyarakat kala melakukan perang timbung itu, konon lemparan demi lemparan yang dilakukan mengandung nilai dan makna filosofi tersendiri. Bila dalam perang timbung ini terdapat sosok pemuda saling berhadapan dengan pemudi di “medan perang” lantas keduanya saling melempar, peristiwa tersebut memiliki makna tersendiri.
“Kalau mereka saling lempar, kemudian si pemuda misalnya mengenai sasaran pada lemparan pertama, itu tertanda jodohnya sudah dekat. Kalau sasarannya kena pada lemparan berikutnya, konon itu tandanya proses untuk menuju ke pelaminan si pemuda itu sendiri masih harus menempuh proses yang relatif panjang,” tuturnya.
Kegiatan yang kini telah menjadi agenda tahunan tersebut, dirangkai dengan upacara – upacara adat terlebih dahulu. Masyarakat suku Sasak di Kabupaten Loteng, dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan tekun melestarikan tradisi adat dan budaya yang diwariskan. Tak heran, selain mengandalkan objek wisata alam, masyarakat di kawasan setempat memiliki sederet atraksi seni dan peristiwa budaya yang menggugah selera wisatawan untuk berdatangan. (Sahmat Darmi)

Share:

MEMBANGUN JATIDIRI MASYARAKAT NTB MELALUI OLAHRAGA REKREASI

Ketua FORMI NTB Nauvar F. Farinduan menerima pataka FORMI dari Ketua Umum FORMI Pusat Hayono Isman

Terbentuknya Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) NTB bertujuan untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya dan olahraga tradisional daerah NTB untuk mengankat jatidiri NTB dan Masyarakat NTB, hal itu disampaikan Ketua FORMI NTB periode 2016-2021 Nauvar Nauvar F. Farinduan saat memberikan sambutan pelantikan Pengurus Baru FORMI Sabtu, 27/8/2016 di Taman Budaya NTB. Hadir pula dalam kesempatan tersebut Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat H. Muh. Amin, SH., M.Si, Ketua Umum FORMI Nasional Hayono Isman, Anggota DPR Dapil NTB dari Partai Gerinda H. Wilgo Zainar, MBA, Sekretaris Daerah Prov. NTB Ir. H. Rosiady H. Sayuti, MSc. Ph.D, Ketua DPRD Kab. Lombok Barat Hj. Sumiatun, Mantan Sekda Prov. NTB H. Muhammad Nur, SH., MH serta unsur FKPD  Kabupaten Lombok Barat dan Pengurus FORMI NTB.
FORMI menurut Hayono Isman merupakan perhimpunan dari beberapa induk olahraga masyarakat yang lahir dari kegelisahan dari beberapa induk olahraga tersebut yang tidak dinaungi oleh KONI sehingga pada tahun 2000 FORMI resmi berdiri dengan Nama Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia (FOMI) kemudian bermetamorfosa menjadi FORMI setelah keluar peraturan perundang-undangan yang baru.
Selanjutnya Wakil Gubernur NTB menjelaskan olahraga merupakan kegiatan yang mampu menembus batas dan sekat-sekat antar kelompok, “bagaimana negara Palestina, Israel bisa berdamai untuk  kompetisi  olahraga, begitu juga olahraga menjadi bagian startegis dalam meredam gejolak yang terjadi di masyarakat, ujarnya.
Untuk selnjutnya, NTB terus menerus melakukan pembinaan olahraga, untuk itu diharapkan FORMI berkoordinasi dengan dinas terkait antara lain KONI, Dikpora dan terutama dengan Dinas Pariwisata yang secara langsung menangani kegiatan olahraga tradisional, FORMI bisa berintegrasi dengan event event pariwisata sebagai supporting event.
Wagub menekankan FORMI untuk bersinergi dalam pengembangan pembangunan pariwisata, “karena saat ini program unggulan daerah adalah pembangunan pariwisata”, imbuhnya. *)
Share:

Ketika Gatot Brajamusti Berperan sebagai Pemberantas Narkoba

Poster Film DPO yang dibintangi Gatot Brajamusti

FILM Detachment Police Operation (DPO) yang diproduksi oleh Brajamustifilms bersama Putaarfilms baru saja tayang di Bioskop XXI Lombok Epicentrum Mall. Gatot Brajamusti yang membintangi film tentang pemberantasan gembong narkoba itu, justru  langsung ditangkap gabungan Polres Mataram, Polres Lombok Barat dan Satgasus Mabes Polri, Minggu (28/8/2016) malam di Hotel Golden Tulip Mataram Lombok.
Film DPO yang dibintangi Gatot Brajamusti tayang di bioskop, Minggu (28/8/2016). Usai pemutaran film, artis senior kelahiran Sukabumi, Jawa Barat ini ditangkap karena diduga melakukan pesta sabu di sebuah hotel.
Keberadaan film fiksi dan fenomena penangkapan artis atas keterlibatan narkoba ini benar – benar terkesan seperti dunia fiksi yang menjadi kenyataan. Dalam Film tersebut, Gatot Brajamusti berperan sebagai Kapten Sadikin. Ia memimpin tim khusus yang melakukan operasi penangkapan kartel narkoba kelas kakap.
Dalam sinopsisnya, gembong narkoba tersebut dipimpin oleh tokoh bernama Satam. Ia merupakan sosok pemimpin gembong peredaran narkoba yang sejak lama diincar oleh Interpol. Tim elite beroperasi pimpinan Kapten Sadikin itu merupakan pasukan khusus yang menangani kasus kriminal kelas berat di Indonesia. Tim ini menyusun rencana dan strategi penangkapan DPO incaran Interpol tersebut. Akhirnya, tim elite dalam film yang akan tayang secara komersil pada 15 September ini berhasil melumpuhkan pergerakan gembong yang mengedarkan barang haram tersebut. Satam akhirnya ditangkap dan dimasukkan ke penjara bersama sejumlah anak buahnya. (Sahmat Darmi)

Share:

Nasib Petani di Kaki Rinjani, Angkut Barang Bermodal Gerobak Gantung

Gerobak gantung saat menyeberangi Sungai Torean Desa Loloan Bayan Lombok Utara

Menjadi petani bukanlah mimpi setiap orang. Apalagi bagi mereka yang tinggal di bawah kaki Gunung Rinjani. Apa-apa serba sulit. Menjual komoditas hasil tani juga sulit. Bagaimana sebenarnya lika - liku petani pelosok KLU di zaman - yang kata orang, sudah serba canggih ini?
USIA 71 tahun kemerdekaan bangsa ini belum dinikmati sepenuhnya oleh kaum terpencil. Mereka yang hidup di pedalaman, jauh dari hiruk pikuk modernitas, hanya bisa menjalani rutinitas dengan sumber daya seadanya.
Kondisi ini dialami pula oleh petani Dusun Torean, Desa Loloan, Kecamatan Bayan. Lahan garapan tadah hujan dan berada di lereng perbukitan, terpaksa dikelola hanya untuk bertahan hidup. Mereka menghasilkan jagung, padi, pisang, kemiri, lebui, dan aneka biji-bijian untuk lauk. Jagung yang dikonsumsi masyarakat kota saat ini, mungkin jiga berasal dari sana.
Areal garapan petani berada di satu kawasan perbukitan bernama Montong Pulet. Luasnya sekitar 80-an hektar. Kawasan ini terpisah dari perkampungan warga, dengan dipisah oleh aliran anak sungai Gunung Rinjani. Lebar sungai sekitar 135 meter dan kedalaman 120 meter. Di bawahnya tertata bebatuan cadas. Pada musim hujan, mengalir sungai yang arusnya deras. Pada situasi itu, warga membuat jembatan kayu atau bambu seadanya untuk bisa melintas. Karena tidak hanya warga yang bertani yang kesulitan akses, tetapi juga anak-anak sekolah. Siswa pelajar calon pemimpin bangsa ini terpaksa mengikuti orang tua tinggal di huma, demi membantu orang tua bekerja sepulang sekolah.
Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat Torean menggarap lahan ini dengan cara swadaya. Tiap KK mempunyai lahan garapan antara 1 hektar (ha) sampai 3 ha. Sejak mengolah lahan, menanam, merawat, panen sampai pengolahan pascapanen, mereka kelola sendiri, dengan dana sendiri, dan tanpa bantuan pemerintah. Sekali lagi, mereka tak pernah dapat bantuan pemerintah. Entah yang namanya Upsus Padi, Jagung, Kedelai, mereka juga tidak tahu.
Salah satu petani, Jumarip mengaku menyambut musim tanam jagung, petani Torean bergerilya ke petani Bangket Bayan membeli (tepatnya berhutang) bibit jagung. Tiap kilo dibeli seharga Rp 10 ribu. Satu orang bisa menghabiskan paling minim Rp 400 ribu. Namun siapa kira, uang untuk membeli bibit justru dipinjam dari pengepul.Utang ini nantinya diganti saat hasil panen dijual kepada pengepul tadi. Konsekuensinya, mereka seolah terikat dengan "permainan" harga si tengkulak. Seperti saat ini, harga jual beli jagung cuma Rp 3 ribu per kg.
"Harus kami akui, biaya kami lebih banyak dari pengepul. Bibit jagung atau padi kami utang, karena tidak pernah dapat bibit bantuan pemerintah. Pupuk juga kami beli sendiri, itu semua kami bayar setelah panen," ujar Jumarip, Sabtu (27/8/2016).
 
Tampak petani menurunkan barang atau komoditas pertanian dari gerobak gantung di Dusun Torean Desa Loloan Bayang Lombok Utara
Sejak proses produksi hingga panen, masyarakat ditempa hambatan demi hambatan. Klimaks hambatan ada dua. Saat mengangkut pupuk ke lokasi garapan dan pengangkutan hasil panen. Bayangkan, menyusur Sungai Montong Pulet, masyarakat harus berjalan kaki berkilo-kilo meter. Medan yang dilalui bukan jalan aspal yang dilalui Toyota Camry atau Toyota Alphard macam mobil dinas pejabat. Tetapi jalan setapak, berkerikil, dan licin saat hujan, dan menyusuri lereng dengan kemiringan ekstrem.
"Sebelum ada gerobak gantung ini, kami terpaksa membayar ongkos buruh angkut pupuk, biayanya Rp 50 ribu per sak," sebut Jumarip.
Tak hanya pupuk. Masyarakat juga membayar ongkos angkut hasil panen. Perhitungannya, dari lokasi garapan ke titik penjemputan di lereng Montong Pulet biayanya Rp 20 ribu per rit, karena menggunakan ojek sepeda motor. Lalu dari titik penjemputan melintas anak sungai ke rumah warga minimal Rp 50 ribu. Jika ditotal, ongkos angkut per kwintal bisa mencapai Rp 70 - 80 ribu. Belum termasuk ongkos buruh pupuk, menanam, hingga merawat. Bisa dibayangkan berapa keuntungan petani per kuintal jika harga beli tengkulak Rp 300 ribu per kuintal.
"Yang membuat kami sangat terdesak sekali saat musim pemumpukan. Karena harus dipupuk tepat waktu, masyarakat terpaksa memutar otak karena harus mengangkut sampai 12 karung," katanya.
Dari sinilah muncul ide, bagaimana mendesain jalan lintas menyeberang Sungai Montong Pulet yang dalamnya 100 meter lebih. Munculnya gerobak gantung adalah ide seorang Sundawati, Sekretaris Desa Desa Loloan. Satu ketika di tahun 2009, sebelum ia dipindah ke Desa Sambik Elen. Ia terlibat dengan tim survei desa untuk menemukan mata air. Dalam perjalanan survei, ia menyaksikan salah seorang petani Torean mengangkut pupuk. Petani tersebut memangku 50 kg pupuk menyusur medan yang sangat ekstrem. Tergelincir sedikit saja, jatuhnya ke jurang.
"Saya lihat petani itu berhenti, istirahat tiap 10 sampai 15 meter. Saya jadi berpikir dan mengajak masyarakat untuk membuat gerobak gantung ini," kata Sundawati.
Tahun 2010 ia dipindah ke Sambik Elen dan di tahun 2014 ia kembali lagi ke Loloan menjabat Sekdes. Sekembalinya ini, Sundawati merealisasikan idenya itu. Setelah musyawarah dan mufakat dengan warga, pembiayaan gerobak gantung lantas dianggarkan pada APBDes - ADD 2015. Dananya hanya Rp 21 juta. Tak ada upah dalam pengerjaannya, karena warga rela gotong -royong.
Sekilas konstruksinya, rada-rada aman tapi mengkhawatirkan untuk jangka panjang. Di kedua sisi tebing Sungai Montong Pulet dibuat jangkar beton. Jangkar ini merupakan titik angkut karungan komoditas. Di bagian atasnya, terpasang roda-roda yang berfungsi untuk memutar tali baja (slink). Besarnya kira-kira setara tali baja milik PLN. Tali baja ini dipasang dua buah, sekaligus sebagai pegangan gerobak yang digantung. Dibagian bawah, juga dipasang seutas tali nilon. Fungsinya untuk menarik gerobak dari tepi manakala gerobak berisi beban tidak bisa berjalan sendiri.
"Saat merancang ide ini, kami tidak sempat berpikir untuk konsultasi dengan dinas, karena terdesak dengan kebutuhan. Tapi sebagai antisipasi, kami hanya membolehkan barang yang boleh diangkut," katanya.
 Sebagai catatan, warga tidak hanya mengangkut jagung dengan gerobak ini, tapi juga sepeda motor. Warga membongkar bodi sepeda motor lebih dulu, lalu diangkut satu per satu disesuaikan dengan beban angkut gerobak. Di lokasi garapan, sepeda motor ini dirakit kembali. Motor-motor ini dimanfaatkan sebagai sarana ojek angkut hasil bumi. Di lokasi garapan, sudah terangkut 20-an motor. Beberapa sudah ditarik ke kampung, karena aktivitas garapan mulai kurang.
Gerobak gantung ini mulai difungsikan akhir 2015 lalu. Saat ini, masyarakat sudah sangat merasakan besar manfaatnya. Sebagian besar hasil panen melintas dengan mulus melewati anak sungai. Tapi yang membuat warga cemas, berapa lama sejatinya peralatan sederhana ini akan mampu bertahan. Jangan sampai, saat dibutuhkan malah rusak dan menghambat aktivitas warga.
Bermalam di lokasi penjemputan barang biasa dilakukan petani. Sedikitnya 60 orang petani keluar, tapi mereka harus mengantre. Karena kereta gantung maksimal bisa menampung 2 sak jagung. Tiap sak bisa berbobot 75 - 80 kg. Secara total, panen jagung petani Torean berkisar 700 - 800 ton, dengan asumsi produksi rata-rata 7 ton, hingga maksismal 10 ton.
Sebagai perancang kebijakan di tingkat desa, Sundawati bersama Kepala Desa Loloan, lantas memikirkan kendala pendanaan petani. Kini, petani setempat sudah disiapkan layanan pinjaman melalui BUMDes LKM Desa Loloan. Tiap pinjaman petani dikenakan bunga 1,5 persen dan dibayar saat panen.
Namun persoalan petani Torean belum selesai. Mereka berharap, akan datang bantuan pemerintah untuk bibit, pupuk, dan mesin pipil. Demikian juga konstruksi gerobak gantung, mereka minta untuk dibantu guna memperoleh jaminan rasa aman selama pemanfaatannya.
Tokoh Desa Loloan, yang juga Anggota Komisi III DPRD KLU, Kardi, A.Ma., mengakui kerja keras petani di desanya belum terjamah kemudahan dan akses yang disiapkan pemerintah. Perbankan tak pernah masuk, apalagi akses lain.
Ia meminta SKPD terkait melihat petani Torean lebih dekat lagi. Mengingat selama ini, petani tak pernah dibantu program. Upaya petani selama ini kata dia, harusnya mendapat penghargaan dari pemerintah. Mengingat dengan karakter dan budaya yang ada, mereka tidak pernah menuntut bantuan. (Johari)
Share:

Tiu Candi Batu, Objek Wisata Terlupakan di Sambik Elen Bayan

 
Tiu Candi Batu, objek wisata yang ada di Desa Sambik Elen, Kecamatan Bayan masih belum diperhatikan pemerintah.
Kabupaten Lombok Utara (KLU) mempunyai puluhan destinasi wisata yang potensial mendatangkan PAD. Namun, tidak sedikit dari objek wisata itu berada di kawasan pinggiran, sehingga jauh dari perhatian pemerintah daerah.
Seperti objek wisata, Tiu Candi Batu Desa Sambik Elen, Kecamatan Bayan. Sabtu (27/8/2016), destinasi ini ramai dikunjungi warga. Dilihat dari plat motor yang mereka pakai, rata-rata berplat Lombok Timur. Namun ada juga sepeda motor plat Lombok Barat, termasuk motor warga KLU.
Tiu Candi Batu memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan air terjun lain. Di lokasi ini, dapat ditemukan air terjun, tiu atau kolam, serta bebatuan yang tersusun menyerupai candi. Kemiripan batu tersusun mirip candi inilah, sehingga masyarakat menyebutnya Tiu Candi Batu.
"Objek wisata ini mulai kami perkenalkan dua bulan belakangan ini. Promo saat ini lebih banyak melalui media sosial, facebook, dan blog," kata Kades Sambik Elen, Lalu Alwan Wijaya.
Kades termuda di KLU ini mengaku awalnya sedikit pesimis memperkenalkan objek wisata ini. Pasalnya akses jalan masuk belum tertata rapi. Jalur masuk ke lokasi sementara hanya bisa dilalui sepeda motor, dengan kondisi jalan berdebu dan penuh bebatuan kerikil. Namun dengan semangat dan kebersamaan warga, ia bertekad untuk membuka akses. Apalagi akses jalan masuk dapat diperlebar untuk akses kendaraan roda empat.
Alwan pun mempercayakan warga setempat untuk mulai membenahi areal di sekitar. Pepohonan dan rumput liar dibersihkan untuk areal parkir. Ia membayangkan, di areal parkir nantinya akan terbangun lapak pedagang, dan WC Umum, serta berugak peristirahatan.
"Kami akan mencoba untuk menata dengan kemampuan anggaran desa dulu. Jalan masuk akan kami rabat secara bertahap. Bagaimanapun, angka kunjungan sudah mulai ramai. Saat hari libur, minimal satu orang datang dalam sehari," katanya.
Untuk memudahkan pengunjung mengakses lokasi ini, Pemdes menempatkan pemandu wisata di pintu masuk pertigaan samping kantor desa. Dari sana, pengunjung akan diantar ke Tiu Candi Batu dengan jarak berkisar 2 - 3 km. Tidak jauh, dan lokasi ini juga dijamin aman, karena warga berkomitmen memberikan rasa aman dan nyaman.
"Jika fasilitas sudah terbangun, kami akan minta Pemda untuk menetapkannya sebagai destinasi resmi. Sehingga usaha jasa yang dibuka masyarakat bisa ditarik sebagai PAD," katanya.
Sementara, salah seorang pengunjung, Nanda Fitria, asal Lotim, mengaku terkesan dengan Tiu Candi Batu. Pengunjung yang datang bersama pacarnya ini, menyempatkan diri mandi di air terjun. "Objek wisata ini cukup bagus, dan nyaman. Harapan kami sebagai pengunjung, objek ini lebih ditata," harapnya. (Johari)



Share:

Wednesday 24 August 2016

Brama Kumbara Siap Bela Kepentingan Masyarakat

Pengurus dan anggota LSM Brama Kumbara saat membahas mengenai pengawasan proyek di Mataram beberapa waktu lalu. 
Dalam upaya membantu masyarakat di berbagai bidang, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Berantas Mafia Hukum Bela Rakyat (Brama Kumbara) siap hadir sebagai tempat alternatif tempat curahan hati (curhat) masyarakat. Brama Kumbara siap menyalurkan dan mencarikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Demikian disampaikan Ketua LSM Brama Kumbara, H. Darmayakti, SH, dalam siaran pers yang diterima Minggu (21/8/2016). Brama Kumbara, lanjutnya, dalam menyelesaikan masalah mengedepankan asas musyawarah mufakat atau kekeluargaan melalui pola mediasi sesuai sunnah Nabi Muhammad SAW. Jika secara musyawarah tidak bisa diselesaikan akan diselesaikan lewat jalur hukum.  
LSM Brama Kumbara, ujarnya, terdiri dari lima biro. Pertama, Biro Konsultasi Hukum dan Advokasi, Biro Konsultasi Laporan Keuangan dan Perpajakan, Biro Pemerhati Lingkungan Hidup, Biro Layanan Sosial Kemasyarakatan dan Biro Kerjasama dan Usaha.
Dalam operasionalnya di lapangan, tambah Darmayakti, Brama Kumbara mengadakan kerjasama yang baik dan menguntungkan dengan semua pihak, baik pemerintah dan swasta. Hal ini sesuai dengan pasal 3 (poin F) Anggaran Dasar LSM Brama Kumbara. ‘’Di Pasal 2 Anggaran Dasar LSM Brama Kumbara, lembaga ini berdasarkan falsafah Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945 dan GBHN,’’ terangnya.
Adapun tujuan dari LSM Brama Kumbara ini, lanjutnya, adalah membantu pemerintah dalam menangani masalah kesejahteraan sosial , ekonomi, agama, kesehatan, pendidikan dan hukum dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan. Selain itu, turut menanggulangi dan mengatasi permasalahan sosial kemasyarakatan bersama pemerintah menuju masyarakat yang adil, makmur an sejahtera lahir dan batin.
Tidak hanya itu, pihaknya akan mengkaji, menganalisa serta mengembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berorientasi pada pengamalan nilai-nilai Islam, sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.  LSM Brama Kumbara, akan melakukan pengembangan dan pembinaan usaha kecil yang mandiri, dalam arti menuju ke arah peningkatan sumber daya manusia dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang madani serta adil dalam kemakmuran, makmur dalam keadilan. Termasuk, ikut serta memberikan informasi yang benar pada masyarakat melalui media informasi.
‘’Yang jelas, moto Brama Kumbara adalah ‘’Aiq meneng empaq bau tunjung tilah’’. Artinya, menyelesaikan tanpa menimbulkan masalah baru atau dengan kata lain aman dan damai,’’ terangnya (*)


Share:

Tuesday 23 August 2016

Dewan Pengurus Korpri NTB Dikukuhkan

Wagub NTB H. Muh, Amin mengukuhkan Dewan Pengurus Korpri NTB masa kepengurusan 2016-2021 di Graha Bhakti Praja Kantor Gubernur NTB, Selasa (23/8/2016)
Dalam rangka mewujudkan Korpri yang professional, netral dan sejahtera serta siap bersaing menghadapi tantangan globalisasi, sebuah gebrakan baru di tubuh Korpri yang terwujud nyata dilaksanakan melalui program digitalisasi komunikasi dan layanan pegawai negeri. Pelayanan berbasis IT ini, diharapkan dapat membangun kembali semangat korps yang sempat mati suri selama 18 tahun belakangan ini. Demikian diungkap Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Korps Pegawai Republik Indonesia Nasional, Dr. Ir Bima Haria Wibisana M.Si sesaat setelah mengukuhkan Dewan Pengurus Korpri NTB masa bhakti 2016-2021.
Ir. H Rosiady Sayuti, MSc, PhD, sebagai ketua, Dr.Ir Abdul hakim MM sebagai wakil ketua I, Ir. Ridwansyah M.MTP sebagai Wakil ketua II dan Dr.M.Agus Patria SH sebagai wakil ketua III, serta pengurus bidang korpri NTB dikukuhkan di gedung Graha Bhakti Kantor Gubernur NTB Selasa (23/8/2016) sore.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat H.Muh. Amin pada kesempatan yang sama berharap Korpri harus mampu mendukung seluruh program pemerintah dan terus berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensinya.  “Anggota dan pengurus Korpri harus senantiasa siap bertransformasi, tidak hanya secara formal melainkan juga harus siap bertransformasi pola pikirnya, serta punya integritas yang tinggi dalam melayani masyarakat”, pesan Wagub. 
Ia juga mengingatkan, anggota Korpri untuk terus berdedikasi tinggi serta loyal terhadap pimpinan. ”Jangan ragu-ragu untuk bekerja, termasuk dalam mengeksekusi anggran. Jangan ada rasa takut dan ragu, selama menjalankan segala sesuatu sesuai aturan,” kata Wagub memberi semangat.

Ia juga berpesan, sebagai pelayan masyarakat, anggota Korpri harus senantiasa bekerja dengan penuh integritas, serta terus berusaha meningkatkan pengetahuan didukung dengan penguasaan teknologi, sesuai bidang tugasnya, agar segala bentuk pelayanan yang diberikan dapat sesuai dengan harapan seluruh pihak. (*)
Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive