Be Your Inspiration

Wednesday 12 February 2020

Ming Muslimin Nilai Komunitas Film di NTB Tumbuh Cepat

Ming Muslimin, Sutradara film asal NTB

Di NTB, komunitas perfilman sudah mulai tumbuh. Dengan skill yang mereka miliki, sejumlah judul-judul film yang layak ditonton telah lahir. Tangan-tangan kreatif kelompok milenial NTB ikut membantu tumbuhnya industri kreatif perfilman di daerah ini. Tinggal pemerintah daerah yang harus merespon kondisi ini agar daya ungkitnya lebih maksimal.  

Ming Muslimin, salah seorang pegiat film asal NTB mengatakan, komunitas film di daerah ini memang tumbuh pesat. Berbeda dengan beberapa tahun lalu yang jumlah komunitasnya sangat sedikit. “Teman-teman yang bergerak lebih dari 400 orang di NTB,” kata Ming Muslimin kepada Ekbis NTB, Minggu (2/2/2020).

Setiap komunitas setidaknya memiliki  basecamp, anggota, kontak person, agenda rutin dan memiliki akun media sosial sebagai sarana berkomunikasi. “Moment yang tepat untuk memajukan industri perfilman karena sudah banyak orang-orang yang terlibat di sana. Kalau secara skill, mereka lumayan,” terang Ming.

Pria yang terjun di bidang perfilman sejak tahun 2005 ini mengatakan, selama ini sudah banyak karya dari pegiat film di NTB yang tampil di festival film, baik dalam negeri maupun luar negeri serta pemutaran di biskop. “ Film teman-teman yang sudah masuk bioskop antara lain judulnya ; Beto Wangsul, Memorabilia, Obituary, Love is Here, Anita, Sepiring Bersama, Melaiq, Joki Kecil dan lainnya,” katanya.

Menurutnya, banyak dari karya-karya yang bagus tersebut justru lahir dari budget yang minim, misalnya dibawah Rp 50 juta per film. Biasanya komunitas yang menggarap satu judul film tersebut akan membawa hasil karyanya ke festival-festival film yang banyak digelar.” Karya yang tak terdetekasi sama pemda ini kadang budget minim,  namun karyanya besar karena sampai luar negeri,” lanjutnya.

Ming mengatakan, memang ada bebarapa film hasil tangan kreatif masyarakat NTB yang sudah bisa diputar di CGV karena memang  CGV selama ini memiliki ruang untuk para komunitas di Indonesia. “Satu bulan itu ada satu slot untuk film hasil garapan komunitas, meskipun berbayar namun ada potongan harganya,” terang pria lulusan S1 dan S2 Jurusan Film dan Televisi di ISI Yogyakarta ini.
Bagaimana dengan dukungan pemda selama ini? Menurut Ming, sejauh ini belum ada perhatian yang besar dari pemerintah. Para pegiat film di NTB memang sangat mengharapkan diberikan kesempatan oleh pemda. Misalnya pemda membuat promosi program kerja melalui film yang dikerjakan oleh para pegiat film dalam daerah.

Menurutnya, ada satu tantangan yang masih dihadapi oleh para pegiat film di NTB yaitu belum fokusnya mereka pada job desk saat pembuatan film. Selama ini film yang digarap dikerjakan sendiri oleh komunitasnya tanpa adanya keterhubungan dengan komunitas lain, padahal produksi film sesungguhnya berjejaring.

“Kawan kawan ini masalahnya mereka semua dikerjakan sendiri-sendiri, karena tidak ada komunikasi lintas komunitas itu. Mereka tidak mengambil orang yang expert misalnya soundman, audioman, penata musik itu beda-beda, penata cahaya, cameramen itu beda, antara produser, lineproduser, production manager itu beda. Jadi kendalanya adalah  belum ada komunikasi lintas komunitas,” katanya.(Zainuddin Syafari/Ekbis BTB) 
Share:

1 komentar:

Unknown said...

As reported by Stanford Medical, It is indeed the SINGLE reason this country's women live 10 years more and weigh on average 42 lbs lighter than us.

(And by the way, it has NOTHING to do with genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING around "HOW" they eat.)

BTW, What I said is "HOW", and not "WHAT"...

TAP on this link to determine if this quick test can help you decipher your true weight loss potential

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive