Muhammad Nursandi (kanan) sedang memantau pelaksanaan pengambilan gambar oleh kameramen. |
PEMAIN dan Sutradara Film Nasional asal NTB Muhammad
Nursandi mendukung penuh ide dan gagasan yang dilakukan Dinas Perindustrian
(Disperin) NTB untuk mengembangkan industri perfilman di NTB. Jika industri
perfilman ini akan dikembangkan membutuhkan keseriusan dari pemerintah, pelaku
perfilman hingga masyarakat, sehingga industri perfilman tetap eksis.
Selama ini, ujarnya,
industri perfilman di daerah ini tidak pernah ada perhatian serius oleh
pemerintah daerah. ‘’Kalau toh pun ada.
Itu hanya wacana dan sebatas wacana dan tidak pernah kita lihat wujudnya
seperti (filmnya) apa dan dukungannya seperti apa (terutama dari sisi dana).
Karena persoalan film itu sesungguhnya adalah bagaimana kita produksi ? Ada
dana ngak untuk kita buat film itu (produser, red),’’ ujarnya pada Ekbis NTB, Minggu (2/2/2020).
Setelah ada dana, ujarnya, yang harus diperhatikan adalah
bagaimana distribusi fim itu sendiri.Menurut sutradara Film Perempuan Sasak
Terakhir ini, distribusi tidak hanya sekadar di YouTube, karena semua orang
bisa. Dalam hal ini harus ada sentuhan dari pemerintah daerah khususnya Dinas Perindustrian
agar film itu mampu mencari dan menemukan pasarnya. Dalam arti, film yang
dibuat itu tidak hanya menunggu nasib baik, tapi ada rumusan dasar untuk pendistribusian.
Dalam membuat film, tambah mantan anggota Badan Promosi
Pariwisata Daerah (BPPD) NTB ini, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah
penonton. Baginya, keberadaan penonton dalam industri perfilman cukup besar,
karena menyangkut masalah biaya. ‘’Adakah penonton kita di NTB? Kalau dua tiga penontonnya
untuk apa? Proses produksi film itu mahal itulah yang membuar film-film
berkualitas itu tidak berani dibuat karena biaya dan siapa yang akan
menonton.Produser-produser besar Jakarta saja sangat berhati hati membuat film
kalau tidak penuh dengan perhitungan bisa rugi dan tak kembali modal,’’ ujarnya
menggambarkan.
Dicontohkannya, proses produksi film mindstream bukan seperti proses produksi film independent atau
sekumpulan anak muda yang euforia lalu membuat film dan mencari pasar dan
penontonnya oleh mereka sendiri dan komunitas mereka sendiri yang menonton. Sementara
dimaksudkan industri di sini adalah proses produksi yang terjaga dari tahun ke tahun
dan lalu pendistribusianya bagus dan penontonnya sudah jelas.
Untuk itu, hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah dalam
mengembangkan industri film adalah mengidentifikasi siapa sebetulnya pembuat
film di NTB (film maker). ‘’Ada ngak
kita punya sutradara film? Ada ngak kita punya penulis skenario? Ada ngak kita
punya penata artistik? Ada ngak kita punya editor film yang paham teori film
tidak hanya sekedar memotong gambar, tapi lebih dari itu dia memahami filosofi gambar.
Ada ngak kita punya sound man, penata
suara film dan memahami sound film ?’’
tanyanya.
Menurutnya, jika hanya orang yang hanya sekedar bisa merekam
cukup banyak di NTB. Namun, yang menjadi pertanyaan, apa setelah merekam sudah
sesuai apa ngak dengan proses produksi film. Begitu juga dengan penata musik
film, bukan hanya sekedar main musik saja, karena orang yang main musik di NTB
cukup banyak, tapi yang memahami musik film cukup langka. ‘’Di sini maaf-maaf
saja tidak hanya sekedar ingin punya niat baik, tapi memang harus betul betul
dipahami bahwa kita memiliki talenta talenta yang saya sebut di atas. Dan
paling penting adalah ada tidak produser kita di daerah ini yang mau menanamkan
uangnya untuk bikin film?’’ tanyanya lagi.
Alumnus Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta
ini mencontohkan, waktu dirinya membuat sebuah film serius, yakni ‘’Perempuan Sasak
Terakhir’’. Waktu pembuatan film itu, ujarnya, semua kru inti dari Jakarta.
Sementara, yang mengangkat rol kabel, angkat lampu, sopir kendaraan adalah orang-orang
lokal. Meski dirinya tidak tertarik menyebut orang lokal atau orang nasional,
menurutnya, adalah sejauh mana kemampuan bersaing secara pribadi ke pribadi.
‘Dan saya juga tidak setuju ada film lokal atau film nasional.
Yang ada adalah film-film yang dibuat oleh film
maker ,dia mampu bersaing apa tidak? Lalu apa yang disebut film lokal
apakah film yang dibuat di daerah itu yang disebut film lokal, lalu film yang
dibuat di Jakarta itu yang disebut film nasional. Saya pikir tidak begitu dan
jangan sampai kita membenarkan kalimat ini. Yang ada adalah orang mampu
bersaing atau tidak,’’ ujarnya.
Meski demikian, dirinya bersedia berbagi ilmu pengetahuan
pada generasi muda di NTB yang ingin mengenal dunia perfilman. Apalagi,
ujarnya, dunia film ini sangat dekat dengan kehidupan sekaligus juga sangat
jauh. ‘’Kenapa saya menyebutnya demikan ,dia dekat karena hampir semua proses
hidup kita ini dipengaruhi oleh tontonan dalam hal ini film atau sinetron. Kenapa
saya menyebutnya jauh? Karena kita tidak tahu bagimana proses produksinya. Yang
kita tahu adalah bagaimana menjadi penonton yang baik. Tapi kita tak pernah
berpikir bagaimana mencipta,’’ terangnya. (Marham)