Walikota Mataram H. Ahyar Abduh saat mengikuti prosesi adat Betetulak yang digelar di Kelurahan Rembiga, Jumat (31/10/2014) |
Matahari masih terik dan menyengat sekujur tubuh, saat
sekitar 16.40 Wita, Jumat (31/10/2014). Pemuda – pemudi di Kelurahan Rembiga Mataram telah
berdandan mengenakan pakaian adat khas suku Sasak. Mereka berbaris di mulut gang Mentawai, Lingkungan
Rembiga Timur Kelurahan Rembiga Kecamatan Selaparang, Kota Mataram. Pagar
barisan itu merupakan bentuk sambutan terhadap kedatangan Walikota Mataram, H.
Ahyar Abduh
yang akan menghadiri prosesi Lempot Rembang yang digelar di perbatasan antara lingkungan Rembiga Barat, dengan Rembiga Utara, sore itu.
yang akan menghadiri prosesi Lempot Rembang yang digelar di perbatasan antara lingkungan Rembiga Barat, dengan Rembiga Utara, sore itu.
Walikota Mataram tiba tidak lama kemudian. Walikota
disambut baik oleh masyarakat setempat. Perlahan, barisan para punggawa
tersebut memutar dan mengiringi langkah Walikota yang hendak menuju tempat yang sudah
dipersiapkan. Tak luput, iringan itu disertai dengan permainan musik
tradisional khas Sasak yakni musik Gule
Gending. Alat musik gule gending
tersebut dikreasikan dengan cara dipadukan dengan gendang, rincik, suling atau seruling, pepetuk serta gong dalam gamelan pada
umumnya.
Prosesi adat Lempot Rembang yang dirayakan pada moment hari ketiga merupakan salah satu rangkaian dalam upacara adat betetulak. Seperti yang disampaikan, upacara adat tersebut dirangkai dengan berbagai prosesi adat selama empat hari berturut - turut. Di antaranya, pemandian keris pusaka warisan leluhur, pembacaan hikayat asal penciptaan manusia yang dijuluki tepal adam, serta berbagai ritus lainnya yang memiliki nilai sakral yang cukup tinggi.
Prosesi yang
dirayakan pada 31 Oktober dan bertepatan dengan tanggal 7 Muharram 1436 H,
mengandung nilai dan makna filosofi yang cukup tinggi. Secara umum, ketua
pelaksana kegiatan H. L. Mahdarain, ST usai perayaan prosesi lempot rembang menuturkan, ritual adat Betetulak ini sebetulnya digelar seiring
masuknya agama Islam di kawasan ini. Sebelum adanya Rembiga, kawasan disini
dijuluki Dusun Krekok. Jadi dahulu
ketika agama Islam masuk di pulau Lombok
pada pertengahan abad XVI, yakni sekitar tahun 1566 silam. Prabu Rangkesari
selaku Raja Selaparang yang menerima agama ini sebagai agama “Negara”
(Kerajaan, red),” jelasnya.
Sementara para utusan ulama yang membawa dan
menyebar ajaran Islam di kawasan tersebut bernama Ratu Ambia’. “Yang membawa
ajaran para Nabi menyebar ajaran agama Islam di Rembiga atau Krekok dulunya itu
bernama Ratu Ambia’, ini disebutkan
dalam sebuah takepan yang berbunyi tilar
negara lan krekok bunyinya dalam takepan
silsilah Kemangse,” jelasnya lagi.
Sementara itu, perayaan Lempot Rembang yang berdurasi sekitar dua jam sejak dibukanya itu merupakan lambang kebersaman yang dibangun oleh masyarakat setempat. Prosesi yang diahiri dengan rangkaian makan bersama atau Begibung, dengan dulang yang sudah dipersiapkan sebelumnya itu merupakan bentuk ikatan kentalnya persaudaraan serta harmonisasi masyarakat.
Sementara itu, perayaan Lempot Rembang yang berdurasi sekitar dua jam sejak dibukanya itu merupakan lambang kebersaman yang dibangun oleh masyarakat setempat. Prosesi yang diahiri dengan rangkaian makan bersama atau Begibung, dengan dulang yang sudah dipersiapkan sebelumnya itu merupakan bentuk ikatan kentalnya persaudaraan serta harmonisasi masyarakat.
“Perayaan akhir dari satu prosesi yang disebut
lempot rembang ini yakni kita duduk bersila dan bersama – sama menyantap makanan
berbentuk dulang yang sudah dipersiapkan.
Akan tetapi, dalam setiap dulang itu
tidak boleh ada daging, yang ada hanya berupa lauk pauk seadanya, seperti tahu,
tempe, dan sayur seadanya,” jelas ketua pelaksananya lagi.
Ritual adat betetulak
tersebut diikuti oleh enam lingkungan yang ada dalam satu kelurahan tersebut. Adapun
keenam kelurahan itu masing-masing Rembiga Gegutu Timur, Gegutu Barat, Rembiga
Dasan Lekong, Rembiga Timur, Barat dan Rembiga Utara. “Kalau tahun lalu kita
memusatkan penyelenggaraan ritual ini di Lingkungan Gegutu timur. Jadi memang
ini merupakan ritual adat yang dilaksanakan sekali dalam setahun. Dalam
pelaksanaannya, ada yang kita lakukan membawa warisan pusaka adat yang menjadi
peninggalan leluhur untuk mengelilingi seluruh lingkungan yang ada dikelurahan
ini, tujuannya adalah untuk menjauhkan lingkungan kita dari ancaman bala
bencana yang bisa datang sewaktu –
waktu,” bebernya.
Selain Walikota Mataram, prosesi itu juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Mataram, H. Abdul Latif Nadjib. Ada pula budayawan – budayawan yang tergerak untuk mengikuti prosesi, Camat Selaparang, Lurah Rembiga, dan sejumlah kepala lingkungan di kelurahan tersebut.
Selain Walikota Mataram, prosesi itu juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Mataram, H. Abdul Latif Nadjib. Ada pula budayawan – budayawan yang tergerak untuk mengikuti prosesi, Camat Selaparang, Lurah Rembiga, dan sejumlah kepala lingkungan di kelurahan tersebut.
Lantunan ayat suci Al-Quran dengan nada khas ala
tembang Sasak, menjadi pengisi pembukaan acara yang sakral itu. Intonasi nada
dan penekanannya jauh berbeda jika dibandingnkan dengan gaya membaca Al- Quran
di Arab atau Makkah Wal Madinah.
Lantunan khas itu menjadi kebanggan bagi masyarakat suku Sasak, sebab dirasa
cukup dekat dengan sosial budaya masyarakat.
Sebelumnya, Kadisbudpar Kota Mataram, dalam
sambutannya mengatakan, upacara serupa juga telah dilakukannya di tingkat kota
yang diikuti oleh sepuluh kelurahan di Kota Mataram. Menurutnya, upacara adat
tersebut merupakan salah satu prosesi terhadap peringatan akan pergantian tahun
dalam kalender Islam. Prosesi itu biasanya dirayakan saat masuknya bulan
Muharram pada penanggalan masyarakat Muslim.
“Kegiatan ini sudah menjadi bagian yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan pariwisata, ritual adat betetulak ini kata harap dapat dikenal secara menyeluruh oleh masyarakat luas. Kegiatan semacam ini juga sudah dilaksanakan oleh Kota Mataram dengan sebutan Ritual Tolak Bala,” beber Kepala Dinas tersebut
Dikatakan, saat ini pihaknya sudah menandai beberapa situs kebudayaan dan pariwisata di Kota Mataram yang harus mendapatkan perhatian yang lebih untuk diperkenalkan kepada publik. Di antaranya, Makam Sunan Sudar, Makam Titi Gangse di pemakaman Sayang- sayang , Makam Dende Saleh di Ampenan, dan Makam Almukarram TG. Ahmad Tretetet. "Saya meminta dukungan dari pihak masyarakat dalam upaya mengembangkan serta memperkenalkan situs – situs yang kita miliki, ini kaitannya dengan upaya menjaga kelestarian situs yang kita miliki dan menambah pendapatan daerah melalui situs pariwisata yang ada," katanya.
Walikota Mataram, H. Ahyar Abduh menyampaikan bahwa Kadisbudpar memiliki tangung jawab penuh terhadap pelaksanaan ritual adat betetulak itu. Ia meminta kegiatan itu harus digelar secara lebih besar lagi dari yang perayaan – perayaan yang pernah dilakukan.
“Perayaan ini merupakan satu kesempatan bagi kita untuk merefleksi dan mengingat leluhur pendiri pemimpin Sasak Lombok, dendek sak sampe lupak leq dengan toak (Jangan sampai lupa terhadap leluhur atau orang tua terdahulu, red), Kedua ini berkaitan dengan upaya menjaga akhlak bangsa, kearifan lokal berupa adat istiadat daerah kita. Dan ketiga, segala pusaka yang ada di lombok ini agar tetap terjaga dan utuh, karena memang itu adalah tugas kita,” jelasnya.
“Kegiatan ini sudah menjadi bagian yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan pariwisata, ritual adat betetulak ini kata harap dapat dikenal secara menyeluruh oleh masyarakat luas. Kegiatan semacam ini juga sudah dilaksanakan oleh Kota Mataram dengan sebutan Ritual Tolak Bala,” beber Kepala Dinas tersebut
Dikatakan, saat ini pihaknya sudah menandai beberapa situs kebudayaan dan pariwisata di Kota Mataram yang harus mendapatkan perhatian yang lebih untuk diperkenalkan kepada publik. Di antaranya, Makam Sunan Sudar, Makam Titi Gangse di pemakaman Sayang- sayang , Makam Dende Saleh di Ampenan, dan Makam Almukarram TG. Ahmad Tretetet. "Saya meminta dukungan dari pihak masyarakat dalam upaya mengembangkan serta memperkenalkan situs – situs yang kita miliki, ini kaitannya dengan upaya menjaga kelestarian situs yang kita miliki dan menambah pendapatan daerah melalui situs pariwisata yang ada," katanya.
Walikota Mataram, H. Ahyar Abduh menyampaikan bahwa Kadisbudpar memiliki tangung jawab penuh terhadap pelaksanaan ritual adat betetulak itu. Ia meminta kegiatan itu harus digelar secara lebih besar lagi dari yang perayaan – perayaan yang pernah dilakukan.
“Perayaan ini merupakan satu kesempatan bagi kita untuk merefleksi dan mengingat leluhur pendiri pemimpin Sasak Lombok, dendek sak sampe lupak leq dengan toak (Jangan sampai lupa terhadap leluhur atau orang tua terdahulu, red), Kedua ini berkaitan dengan upaya menjaga akhlak bangsa, kearifan lokal berupa adat istiadat daerah kita. Dan ketiga, segala pusaka yang ada di lombok ini agar tetap terjaga dan utuh, karena memang itu adalah tugas kita,” jelasnya.
Selain itu, dirinya juga meminta agar masing masing
kelurahan melakukan upaya penguatan lembaga adat yang sudah terbentuk di masing
– masing wilayah. “Penguatan lembaga adat juga harus dikuatkan hingga di tataran
Lingkungan, Lembaga Adat, dan Kerame
Gubuk harus dilakukan, ini dalam rangka merealisasikan visi misi kota
mataram yakni Mataram Maju, Religius dan Berbudaya,” pintanya. (Suara NTB)
0 komentar:
Post a Comment