Be Your Inspiration

Tuesday 4 November 2014

Prosesi Adat ‘’Betetulak’’, Tradisi Masyarakat Rembiga Menghalau Bala



Walikota Mataram H. Ahyar Abduh saat mengikuti prosesi adat Betetulak
yang digelar di Kelurahan Rembiga, Jumat (31/10/2014)

Matahari masih terik dan menyengat sekujur tubuh, saat  sekitar 16.40 Wita, Jumat (31/10/2014).  Pemuda – pemudi di Kelurahan Rembiga Mataram telah berdandan mengenakan pakaian adat khas suku Sasak. Mereka  berbaris di mulut gang Mentawai, Lingkungan Rembiga Timur Kelurahan Rembiga Kecamatan Selaparang, Kota Mataram. Pagar barisan itu merupakan bentuk sambutan terhadap kedatangan Walikota Mataram, H. Ahyar Abduh
yang akan menghadiri prosesi Lempot Rembang yang digelar di perbatasan antara lingkungan Rembiga Barat, dengan Rembiga Utara, sore itu.

Walikota Mataram tiba tidak lama kemudian. Walikota disambut baik oleh masyarakat setempat. Perlahan, barisan para punggawa tersebut memutar dan mengiringi langkah Walikota  yang hendak menuju tempat yang sudah dipersiapkan. Tak luput, iringan itu disertai dengan permainan musik tradisional khas Sasak yakni musik Gule Gending. Alat musik gule gending tersebut dikreasikan dengan cara dipadukan dengan gendang, rincik, suling atau seruling, pepetuk serta gong dalam gamelan pada umumnya.


Prosesi adat Lempot Rembang yang dirayakan pada moment hari ketiga merupakan salah satu rangkaian dalam upacara adat betetulak. Seperti yang disampaikan, upacara adat tersebut dirangkai dengan berbagai prosesi adat selama empat hari berturut - turut. Di antaranya, pemandian keris pusaka warisan leluhur, pembacaan hikayat asal penciptaan manusia yang dijuluki tepal adam, serta berbagai ritus lainnya yang memiliki nilai sakral yang cukup tinggi.

Prosesi  yang dirayakan pada 31 Oktober dan bertepatan dengan tanggal 7 Muharram 1436 H, mengandung nilai dan makna filosofi yang cukup tinggi. Secara umum, ketua pelaksana kegiatan H. L. Mahdarain, ST usai perayaan prosesi lempot rembang menuturkan, ritual adat Betetulak ini sebetulnya digelar seiring masuknya agama Islam di kawasan ini. Sebelum adanya Rembiga, kawasan disini dijuluki Dusun Krekok. Jadi dahulu ketika agama Islam  masuk di pulau Lombok pada pertengahan abad XVI, yakni sekitar tahun 1566 silam. Prabu Rangkesari selaku Raja Selaparang yang menerima agama ini sebagai agama “Negara” (Kerajaan, red),” jelasnya.

Sementara para utusan ulama yang membawa dan menyebar ajaran Islam di kawasan tersebut bernama Ratu Ambia’. “Yang membawa ajaran para Nabi menyebar ajaran agama Islam di Rembiga atau Krekok dulunya itu bernama Ratu Ambia’, ini disebutkan dalam  sebuah takepan yang berbunyi tilar negara lan krekok bunyinya dalam takepan silsilah Kemangse,” jelasnya lagi.

Sementara itu, perayaan Lempot Rembang  yang berdurasi sekitar dua jam sejak dibukanya itu merupakan lambang kebersaman yang dibangun oleh masyarakat setempat. Prosesi yang diahiri dengan rangkaian makan bersama atau Begibung, dengan dulang yang sudah dipersiapkan sebelumnya itu merupakan bentuk ikatan kentalnya persaudaraan serta harmonisasi masyarakat. 

“Perayaan akhir dari satu prosesi yang disebut lempot rembang ini yakni kita duduk bersila dan bersama – sama menyantap makanan  berbentuk dulang yang sudah dipersiapkan. Akan tetapi, dalam setiap dulang itu tidak boleh ada daging, yang ada hanya berupa lauk pauk seadanya, seperti tahu, tempe, dan sayur seadanya,” jelas ketua pelaksananya lagi.

Ritual adat betetulak tersebut diikuti oleh enam lingkungan yang ada dalam satu kelurahan tersebut. Adapun keenam kelurahan itu masing-masing  Rembiga Gegutu Timur, Gegutu Barat, Rembiga Dasan Lekong, Rembiga Timur, Barat dan  Rembiga Utara. “Kalau tahun lalu kita memusatkan penyelenggaraan ritual ini di Lingkungan Gegutu timur. Jadi memang ini merupakan ritual adat yang dilaksanakan sekali dalam setahun. Dalam pelaksanaannya, ada yang kita lakukan membawa warisan pusaka adat yang menjadi peninggalan leluhur untuk mengelilingi seluruh lingkungan yang ada dikelurahan ini, tujuannya adalah untuk menjauhkan lingkungan kita dari ancaman bala bencana  yang bisa datang sewaktu – waktu,” bebernya.

Selain Walikota Mataram, prosesi itu juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Mataram, H. Abdul Latif Nadjib. Ada pula budayawan – budayawan yang tergerak untuk mengikuti prosesi, Camat Selaparang, Lurah Rembiga, dan sejumlah kepala lingkungan di kelurahan tersebut.

Lantunan ayat suci Al-Quran dengan nada khas ala tembang Sasak, menjadi pengisi pembukaan acara yang sakral itu. Intonasi nada dan penekanannya jauh berbeda jika dibandingnkan dengan gaya membaca Al- Quran di Arab atau Makkah Wal Madinah. Lantunan khas itu menjadi kebanggan bagi masyarakat suku Sasak, sebab dirasa cukup dekat dengan sosial budaya masyarakat.

Sebelumnya, Kadisbudpar Kota Mataram, dalam sambutannya mengatakan, upacara serupa juga telah dilakukannya di tingkat kota yang diikuti oleh sepuluh kelurahan di Kota Mataram. Menurutnya, upacara adat tersebut merupakan salah satu prosesi terhadap peringatan akan pergantian tahun dalam kalender Islam. Prosesi itu biasanya dirayakan saat masuknya bulan Muharram pada penanggalan masyarakat Muslim.

“Kegiatan ini sudah menjadi bagian yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam kaitannya dengan pariwisata, ritual adat betetulak ini kata harap dapat dikenal secara menyeluruh oleh masyarakat luas. Kegiatan semacam ini juga sudah dilaksanakan oleh Kota Mataram dengan sebutan Ritual Tolak Bala,”  beber Kepala Dinas tersebut

Dikatakan, saat ini pihaknya sudah menandai beberapa situs kebudayaan dan pariwisata di Kota Mataram yang harus mendapatkan perhatian yang lebih untuk diperkenalkan kepada  publik. Di antaranya, Makam Sunan Sudar, Makam Titi Gangse di pemakaman Sayang- sayang , Makam Dende Saleh di Ampenan, dan Makam Almukarram TG. Ahmad Tretetet. "Saya meminta dukungan dari pihak masyarakat dalam upaya mengembangkan serta memperkenalkan situs – situs yang kita miliki, ini kaitannya dengan upaya menjaga kelestarian situs yang kita miliki dan menambah pendapatan daerah melalui situs pariwisata yang ada," katanya.

Walikota Mataram, H. Ahyar Abduh menyampaikan bahwa Kadisbudpar memiliki tangung jawab penuh terhadap pelaksanaan ritual  adat betetulak itu. Ia meminta kegiatan itu harus digelar secara lebih besar lagi dari yang perayaan – perayaan yang pernah dilakukan.

“Perayaan ini merupakan satu kesempatan bagi kita untuk merefleksi dan mengingat leluhur pendiri pemimpin Sasak Lombok, dendek sak sampe lupak leq dengan toak (Jangan sampai lupa terhadap leluhur atau orang tua terdahulu, red), Kedua ini berkaitan dengan upaya menjaga akhlak bangsa, kearifan lokal berupa adat istiadat daerah kita. Dan ketiga, segala pusaka yang ada di lombok ini agar tetap terjaga dan utuh, karena memang itu adalah tugas kita,” jelasnya.

Selain itu, dirinya juga meminta agar masing masing kelurahan melakukan upaya penguatan lembaga adat yang sudah terbentuk di masing – masing wilayah. “Penguatan lembaga adat juga harus dikuatkan hingga di tataran Lingkungan, Lembaga Adat, dan Kerame Gubuk harus dilakukan, ini dalam rangka merealisasikan visi misi kota mataram yakni Mataram Maju, Religius dan Berbudaya,” pintanya. (Suara NTB)

Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive