Workshop memahami dan menulis berita pascagempa, yang digagas LSM Gravitasi Mataram, Sabtu (3/8/2019). |
Workshop media massa bertajuk Memahami dan Menulis Berita
Pascagempa, yang digagas LSM Gravitasi Mataram, Sabtu (3/8/2019) mencuatkan
sejumlah isu. Selain menggali masalah untuk diselesaikan, keberadaan media
dituntut untuk menghadirkan solusi dalam pemberitaan. Namun terungkap hal
menarik, bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan terdampak gempa
yang dilakukan saat ini, mengorbankan khasanah budaya Sasak Lombok yang
bertahan berabad-abad lamanya.
Budayawan sekaligus mantan Kepala Taman Budaya NTB, H. Lalu
Agus Fathurrahman, dengan materi Membangun Kesadaran Kosmologis dan ekologis
berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengurangan risiko bencana
memaparkan, proses rehab rekon perumahan warga saat ini masih berorientasi
rehabilitasi fisik. Pemerintah dipandang belum merehabilitasi psikis agar siap
menghadapi bencana di masa depan.
Dalam paparannya, Agus menerangkan fungsi dan kekuatan Bale
Balaq terhadap gempa. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Setiadi
Sopandi, seorang Ahli Sejarah Arsitektur Universitas Indonesia.
Kenapa Bale Balaq bisa aman? Fathurrahman meyakini, kekuatan
gempa berapapun, Bale Balaq tetap aman. Kondisi itu dipelajari oleh para ahli
pondasi era sekarang, yang dikenal dengan istilah pondasi Jaring Laba-laba.
Teknologi itu yang selanjutnya disempurnakan dengan teknologi yang bernama
pondasi Jaring Pasak vertikal. "Ini belajarnya dari konstruksi rumah adat kita. Bahwa,
berapa pun kekuatan hantaman gempa membuat rumah adat tidak akan jatuh,"
tegas Agus.
Dari pengalaman pondasi Rumah Adat Sasak Lombok, diterapkan
di beberapa daerah. Seperti, 150 rumah yang dibangun di Aceh dengan pondasi
serupa pada saat tsunami Aceh, 100 persen rumah selamat. Ada pula 15 bangunan
bertingkat lima di Palu yang dibangun dengan pondasi itu, 100 persennya,
selamat.
"Ini belajarnya dari mana, belajarnya dari konstruksi
balok tiang yang kita miliki. Dan ini usianya 3.500 tahun Sebelum Masehi. Asli
punyanya orang Sasak, ini penelitian dari Setiadi Sopandi, ahli sejarah
arsitektur Universitas Indonesia. Tapi kita kemudian mengabaikan itu,"
tegasnya lagi.
Rumat adat Lombok yang bertahan dari guncangan gempa. (dokumentasi Kompas.com) |
Semasih menjabat sebagai Kepala Museum Negeri NTB, Agus
Fathurrahman juga pernah melihat model konstruksi serupa yang diterapkan pada
salah satu kapal pesiar yang ia tumpangi. Di kapal pesiar itu, ia menyaksikan
model konstruksinya persis sama dengan model konstruksi Bale Balaq. Dengan
konstruksi itu, kapal pesiar tersebut tidak oleng saat digoyang kekuatan ombak. "Ini yang digunakan, dan kita punya, khasanah asli,
tapi kita tidak pernah memperhatikan, alasannya kayu. Kenapa kayu menjadi
persoalan. Katanya kalau gunakan kayu, hutan akan gundul. Siapa yang mau tebang
(kayu) hutan?"
Ia bahkan berasumsi sejak awal, apabila dana bantuan
dikelolakan ke masyarakat untuk membuat rumah sesuai kearifan lokal dan
pemerintah memfasilitasi kedatangan kayu Kalimantan, maka dua persoalan
sekaligus terselesaikan. Fisik rumah terbangun, dan kondisi psikis warga yang
trauma akibat gempa terobati. Terlebih lagi, masyarakat sejak awal sudah punya
pilihan, yakni Bale Balaq.
Baginya, rehabilitasi korban gempa yang dilakukan pemerintah
sejauh ini adalah rehab fisik, dan belum menyasar rehab psikis dan mental
warga. Korban gempa sejak awal ditimpa banyak masalah, dari kaget gempa, takut
masuk rumah, ditekan oleh kepentingan aplikator, ditambah pula oleh kekecewaan
akibat kebohongan oknum, maka tumpukan masalah psikis tersebut dipandang perlu
untuk ditangani.
"Bencana itu tidak mematikan semua selama kita masih
menghargai eksisten sebuah masyarakat yang memiliki budaya. Kita gunakan
budayanya untuk membangkitkan kembali maka masalah selesai," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Gravitasi Mataram, Munzirin,
memaklumi korban gempa Lombok Utara dihadapkan pada banyak masalah. Mulai dari
kualitas dan kuantitas rumah yang terbangun, kualitas dan kuantitas
fasilitator, realisasi warga penerima rekening, hingga kebijakan anggaran dari
pusat dan daerah.
"Gravitasi memandang semua pihak harus bersinergi, dan
masing-masing berkontribusi sesuai profesi, terutama memberikan pemberdayaan pascagempa,"
katanya.
Kesempatan yang sama, Asisten III Setda KLU, Ir. H. Melta,
mengakui pentingnya peran media massa pada penanganan pascagempa. Dimulai dari
masa tanggap darurat, masa transisi hingga recovery
ke depannya.
"Media merupakan mitra pemerintah yang menjadi kekuatan
edukasi dan informasi. Saya ingat, saat gempa lampu mati, komunikasi putus.
Kehadiran media bisa menyampaikan informasi kepada masyarakat sesuai kondisi
yang ada," sebutnya. (Johari/Lombok Utara)
0 komentar:
Post a Comment