Be Your Inspiration

Showing posts with label KREASI. Show all posts
Showing posts with label KREASI. Show all posts

Monday 12 August 2019

Sulitnya Mendapat Penganan Tradisional Khas Lombok di Pasar Sendiri

Cerorot, makanan khas Lombok yang sulit ditemukan di pasaran. Lebih mudah membeli pizza atau burger, daripada beli cerorot. 
Beragam jenis penganan modern membanjiri pasar. Umumnya, penganan yang dibuat dalam skala industri. Pelan-pelan, penganan lokal ditinggalkan. Padahal, menjaga penganan lokal adalah upaya mempertahankan kearifan lokal tak tergerus. Seperti apa upaya kiat dan upaya pengusaha lokal dalam mempertahankan eksistensi penganan lokal agar tidak tergerus zaman.

Mencari penganan lokal untuk dikonsumsi atau dijadikan oleh-oleh masih sulit. Hanya ada beberapa toko atau pedagang di pasar yang menjual penganan lokal, seperti kelepon kecerit, jaje tujak, renggi, cerorot, nagasari, opak-opak, poteng dan lainnya. Beda halnya, kalau kita ingin membeli penganan modern atau luar daerah banyak ditemukan di toko-toko roti hingga pedagang kecil di masyarakat. 

Harus diakui masih sedikit yang mempertahankan tetap memproduksi penganan tradisional ini. Regenerasi produsen panganan lokal mengkhawatirkan. Mereka tersaing oleh produk penganan modern yang justru ditengarai banyak memicu beragam jenis penyakit, karena dibuat dengan beragam campuran bahan-bahan pewarna dan pemanis modern.

Sebaliknya, pangan lokal yang dibuat masih dengan cara-cara tradisional justru lebih terjamin risiko kesehatannya. Sayangnya, modernisasi membuat panganan lokal makin dikucilkan.

Adalah Industri Kecil Menengah (IKM) Sasak Maiq di Senteluk, Lombok Barat adalah salah satu produsen produk olahan pangan lokal. Produksinya cukup beragam, mulai dari tortilla atau keripik rumput laut, terasi Lombok, dodol rumput laut, kopi rumput laut, abon ikan hingga rengginang rumput laut. Semua bahan bakunya diambil dari petani lokal.

Baiq Siti Suryani selaku pengelola Sasak Maiq menuturkan, produk olahan pangan lokal semakin beragam. Namun belum semua jajanan yang menjadi warisan leluhur masyarakat Lombok dibuat sedemikian rupa untuk selanjutnya dijual ke wisatawan. Yang diproduksi selama ini adalah produk tahan lama yang berbahan baku rumput laut, ubi ungu, singkong dan abon ikan.
Cerorot dan makanan tradisional Lombok lainnya saat dipamerkan.
“ Kami juga membuat rengginang rumput laut, rengginang ubi ungu dan rengginang singkong. Respons pembeli bagus, terlebih kami tidak menggunakan pewarna makanan, kami hanya menggunakan pewarna alami,” kata Baiq Siti Suryani pada Ekbis NTB di Lapangan Bumi Gora Kantor Gubernur NTB, Jumat (9/8/2019).

Untuk menambah variasi produk olahan pangan lokal, Sasak Maiq juga mengolah jus jagung dengan aneka variasi, sehingga konsumen bisa memilih sesuai dengan selera. Variasi ini bagian dari inovasi agar mampu bertahan pascagempa tahun 2018 lalu. Karena pascagempa, nyaris seluruh dunia usaha terdampak, tak terkecuali IKM yang bergerak di bidang produksi makanan.

Menurutnya, satu tahun pascagempa usahanya belum benar-benar pulih. Hal ini tercermin dari perolehan omzet usaha. Sebelum gempa kata Suryani, omzet bulanan yang bisa diperoleh sekitar Rp 150 juta per bulan. Namun saat ini, omzet yang diperoleh sekitar Rp 60 juta per bulan. Ia optimis seiring dengan program pemulihan pasca bencana yang masih terus dilakukan serta geliat pariwisata NTB, usaha IKM di Lombok akan membaik di masa yang akan datang.

“ Dulu sebelum gempa bisa mencapai 150 juta, sekarang kami rasakan hanya sekitar 50, atau 60 juta. Namun sejak Juli kemarin mulai ada sedikit perubahan,” terangnya. 

Semua produk yang dihasilkan oleh Sasak Maiq dijual di sejumlah gerai modern, toko roti, lingkungan sekolah dan tersedia di situs penjualan berbasis daring. Penjualan lewat daring cukup diandalkan, karena banyak konsumen yang melakukan pemesanan melalui situs.

Ia mengatakan, agar IKM dapat berkembang dengan baik, maka semua syarat-syarat untuk berkembang harus terpenuhi, seperti adanya label halal MUI, PIRT, keterangan kedaluwarsa dan lainnya. “ Itu semua bisa diurus. Insya Allah tidak sulit jika ada kemauan, apalagi pemerintah daerah memberikan kemudahan untuk pengurusan itu,” terangnya.

Penganan modern menjadi penguasa pasar. Sementara penganan tradisional terancam punah. Seharusnya re-branding dilakukan.

Penegasan ini disampaikan Ketua Indonesian Chef Association (ICA) atau Asosiasi Chef Indonesia NTB, Anton Sugiono. Penganan tradisional ( produk lama), jika tak ditampilkan dengan bagus bisa jadi hanya tinggal menunggu waktu kepunahannya.  

Penganan tradisional menurutnya, belum berani tampil mengikuti zaman. Seharusnya, ia telah ditampilkan dengan kemasan yang bagus, sehingga menarik minat konsumen. Anton menyebut contoh wajik, dodol yang merupakanan penganan tradisional. Sampai saat ini, belum dikemas menarik, mengikuti selera zaman. Penganan ini hanya dibuat biasa-biasa saja. Jika tetap seperti ini, akan ditinggalkan.

Beda jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Terutama daerah yang sadar dengan potensi pariwisatanya. Pangan tradisionalnya adalah kearifan lokal yang dijaga kelestarian. Pangan tradisional ditampilkan dengan kemasan yang sangat menarik. Tak heran kemudian pangan tradisionalnya menjadi di toko oleh-oleh.

Dengan perkembangan zaman saat ini, Anton mengatakan konsumen sangat mengerti tentang kualitas dan standarisasi. Pangan lokal tidak dilihat sekilas. Tetapi dinilai dari proses pembuatannya. Legalitas penjualannya juga diperhatikan. Misalnya sudah ada tidaknya izin dari Dinas Kesehatan dan BPOM. “Konsumen sudah mengerti standarisasi. Sanitasi, dan pengolahannya. Sehingga faktor ini tidak bisa diabaikan,” jelas Anton.

Kelepon, salah satu penganan tradisional yang masih memiliki daya tarik. Kendati demikian, kelepon ini masih disajikan seperti yang biasa. Menurutnya, produsen harus berani membuatnya tampil lebih menarik.

ICA NTB juga turut melestarikan penganan tradisional ini. Apalagi komitmen yang tertuang dalam AD/ART ICA sudah jelas, agar penganan lokal/tradisional harus terus dipertahankan. Kelepon salah satu contohnya. Biasanya disajikan sebagai menu-menu tradisional dalam setiap kegiatan di hotel. Kelepon juga tidak sekadar disajikan, seperti model penyajian para pedagang.  ‘’Untuk meningkatkan daya tariknya, kelepon ini bisa disusun dalam bentuk boneka. Atau sejenisnya. Tidak sekadar dijejer di atas wadah, seperti yang biasa kita lihat,’’ imbuhnya.

Untuk melestarikan penganan tradisional ini, Chef Hotel Puri Indah Mataram ini mengatakan, ada ketentuan di hotel untuk menyajikan pangan lokal. Misalnya, di Puri Indah, setiap sarapan disiapkan sajian tigapo, getuk, juga cerorot. Demikian juga pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di hotel. Diatur komposisi menu sajian. 1 pangan tradisional lokal, 1 pangan modern.

Anton mengatakan, seluruh anggota ICA sepakat untuk membantu pemerintah melestarikan pangan lokal. Salah satunya dengan cara mengkampanyekan pangan lokal dalam setiap sajian hotel. Tapi pemerintah juga harus aktif. Sarannya, agar pangan lokal tetap lestari. Para produsen harus diberikan pelatihan. cara membuat pangan higienis, penggunaan alat dan bahan, serta pengemasannya.(Ekbis NTB)
Share:

Serbat dan Gula Aren Khas Desa Langko Rambah Pasar Luar Negeri

Ibu Negara Hj. Iriana Joko Widodo didampingi Ketua TP PKK NTB Hj. Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah saat menunjukkan produk Serbat, minuman khas Lombok dalam sebuah pameran di Jakarta beberapa waktu lalu.

Serbat, minuman yang tak asing di telinga masyarakat Lombok umumnya. Dulu minuman ini dihidangkan ketika para petani turun ngaro atau membajak sawah untuk persiapan bercocok tanam. Kini minuman tradisional khas Lombok ini pun berhasil menembus Istana Negara dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo pun sudah mencoba minuman ini.

Minuman dengan campuran jahe merah dan gula aren ini dibuat oleh petani untuk menghangatkan tubuh ketika kedinginan akibat bermandi lumpur saat membajak sawah.  Minuman serbat ini juga kerap dihidangkan ketika acara-acara kematian dan peringatan hari besar. Kini, produk lokal ini agak jarang ditemukan dan dikonsumasi masyarakat umum.

Namun melalui tangan terampil, Abdul Hadi pelaku usaha olahan aren Longseran Barat Selatan (LBS) Mandiri Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat (Lobar) ini ingin mengangkat serbat sebagai penganan lokal yang sehat dan tak kalah dengan produk modern.

Bahkan ia ingin mengubah mindset masyarakat bahwa serbat bisa dijadikan mata pencaharian yang potensial. Serbat ini pun diolah menjadi beragam olahan, mulai dari kopi jahe serbat hingga es krim berbahan baku gula aren. Hasil olahan gula aren dan serbat yang dibuat Abdul Hadi ini pun telah masuk ke ritel-ritel modern bahkan hingga ke luar negeri.

Diwawancarai Ekbis NTB, Sabtu (10/8/2019), mantan TKI ini menceritakan awal mula dirinya membuat serbat tahun 2016 lalu. Idenya membuat serbat muncul karena terdorong dari rasa prihatin akibat gempuran produk penganan modern dari luar yang masuk ke daerah Lombok, termasuk minuman dari bahan jahe. Sementara ia berpikir, daerah ini memiliki bahan baku berlimpah dan jauh lebih original (asli). Dibandingkan produk luar ini, belum diketahui tingkat keasliannya apakah ada caumpuran bahan kimia atau tidak.

Di desanya sendiri banyak warga membudidayakan jahe. Ia pun mencoba bertanya-tanya ke para orang tua, apa minuman khas Lombok yang bisa dibuat untuk menyaingi minuman modern tersebut. Dari keterangan para orang tua tersebut, disebutlah serbat sebagai salah satu minuman khas lokal yang dibuat dari campuran jahe dan gula aren.

‘’Berjalannya waktu, saya coba buat. Terus-menerus mencoba sampai tiga bulan seperti apa komposisi dan rasanya, bisa diterima ndak oleh konsumen? Saya membuat hanya berbekal bertanya-tanya ke orang tua,’’ terang dia.
Abdul Hadi bersama Gubernur NTB H. Zulkieflimansyah saat acara Jumpa Bang Zul dan Ummi Rohmi tahun 2018.
Awal mula mencoba membuat serbat, ia menggunakan modal sendiri dengan peralatan seadanya. Ia membuat serbat dari bahan jahe merah, sere, kayu manis. Lambat laun ia terus berupaya mencoba membuat serbat dengan varian berbeda seperti bubuk. Itupun masih dengan cara tradisional. Ia membuat serbuk serbat agar minuman ini bisa diseduh di mana saja. Setelah dikembangkan dan memperlihatkan cara membuat serbat ini kepada yang ahli,ternyata cara pembuatan serbat yang dilakukannya benar.

Selama satu tahun awal-awal mengembangkan serbat, ia mengalami jatuh bangun. Sebab saat itu ia belum memiliki alat. Sehingga ketika itu, ia tak bisa memproduksi serbat ketika cuaca tidak bagus. Ditambah lagi ia belum memiliki oven. Di saat bersamaan ia dikejar waktu harus ikut pameran di sejumlah tempat, sehingga ia pun terkadang tidak bisa ikut. “Selama satu  tahun itu, saya jatuh bangun. Hampir-hampir putus asa,’’ akunya. Akan tetapi ia tak mundur begitu saja, lebih-lebih produk serbat yang dibuatnya sudah telanjur mulai dikenal oleh masyarakat.

Dengan peralatan seadanya, dalam sehari ia hanya mampu membuat 6 sachet serbat. Itupun kata dia begitu sulit dan lama. Namun karena ia memiliki tekad kuat, iapun terus bertahan. Apa yang dirintisnya kini telah membuahkan hasil. Pelan tapi pasti,usaha pembuatan serbatnya pun berkembang. Hingga kemudian dibantu mesin pengolah oleh Pemkab Lobar, kendati ia masih mengolah semi manual. Saat ini produksinya mampu mencapai 25 Kg per hari, bahkan kalau bekerja sampai malam hari bisa mencapai 50 Kg serbat.

Di samping tingkat produksi yang jauh meningkat, ia juga bisa membuat gula aren menjadi olahan beragam. Awalnya hanya membuat serbat, namun berkembang menjadi gula semut. Tak berhenti di situ, bagi pecinta kopi ia pun mencoba meracik kopi jahe gula aren. Produk kopi jahe gula aren ini pun banyak digemari oleh masyarakat. ‘’Terakhir ini saya mencoba membuat es krim gula aren,’’ katanya. 

Bahan pemanis inti yang dipakai untuk membuat es krim ini dari gula aren. Kini produk yang dihasilkan telah mampu merambah pasar luar. Sejauh ini produknya sudah masuk ke pasar modern, Ruby dan pesanan lokal termasuk kantor-kantor pemda banyak yang memesan produknya.
Pihaknya juga menjual melalui online dan masuk di Bukalapak, namun belum terlalu laris. Tak hanya pangsa pasar lokal yang dirambahnya, namun sudah masuk ke pasar luar daerah seperti daerah jawa. 

Kebanyakan kata dia dikirim Jakarta. Di samping merambah pasar sejumlah daerah, produk yang dihasilkan ini sudah sampai ke beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura.

Meski  pengiriman melalui tangan orang ketiga, namun sejauh ini orderan dari luar negeri mencapai 10 kardus. Dari hasil penjualan produknya ini,  ia mampu meraup, dibandingkan dulu per hari ia hanya memperoleh 250-500 ribu per bulan. Sedangkan saat ini, omsetnya telah mencapai Rp 20-30 juta per bulan. Dari usahanya ini, ia mampu mempekerjakan 6 orang karyawan dari warga sekitar. 

Namun saat permintaan yang tinggi, pihaknya menambah pekerja untuk mengejar target.  Sejauh ini ia mengalami kendala alat kristalitator yang belum ada. “Ada rencana bantuan dari Disperindag untuk pengemas,”jelas dia.

Di sisi lain, Abdul Hadi mengaku usaha pengolahan gula aren yang digelutinya tak hanya semata bisa menjadi mata pencaharian bagi dirinya dan warga setempat. Namun yang jauh lebih mulia dari adanya usahanya ini,  bisa menekan pembuatan tuak atau miras tradisional. Sebab kata dia dulu aren yang berlimpah ini dimanfaatkan oleh warga untuk mengolahnya menjadi minuman keras (miras) tradisional. Bahkan banyak pengepul miras tradisional berbahan aren di daerahnya.

‘’Namun semenjak kami mengembangkan gula aren menjadi serbat, gula semut ini, pembuatan miras tradisional jauh menurun. Di daerah kami tidak ada lagi pengepul-pengepul tuak,’’ jelas dia.

Warga  mulai sadar bahwa cara mencari nafkah dengan membuat tuak, tidak berkah. Ke depan warga harus sadar kalaupun mendapatkan uang banyak dengan cara depat namun membuat tuak ternyata tidak berkah. Ia pun ingin memberikan contoh kepada masyarakat dengan kembali membuat aren menjadi serbat, dan penganan lainnya.

Di samping dengan berkembangnya Serbat ini, ia bisa mengangkat kembali kearifan lokal khas daerah Lombok melalui minuman. Sebab, kata dia, pengunjung yang datang dari luar pasti ingin apa minuman khas Lombok yang bisa diketahui mereka. Ke depan ia sangat berharap agar lebih terbuka lagi, kepada masyarakat untuk mengangkat kearifan lokal, seperti minuman dan sebagainya. Karena salah satu yang menjadi motivasinya mengembangkan minuman Serbat ini, karena ingin mengangkat kearifan lokal menjadi kekhasan dan identitas daerah Lombok.

Sebab kata dia di daerah lain seperti Bandung punya minuman khas Banrek, di Jawa punya minuman khas Wedang, lalu kalau jalan-jalan ke Polewali Sulawesi Barat punya minuman khas Saraba. ‘’Lalu kenapa kita ndak angkat Lombok ini lewat minuman Serbatnya sebagai lokal khasnya,’’jelas dia. Lebih-lebih di Lombok khususnya di Lobar punya bahan baku berlimpah, seperti jahe merah dan gula aren. Dibandingkan daerah lain seperti Garut, justru bahan baku aren di Lobar jauh lebih berlimpah. “Ini juga memotivasi saya,”jelas dia.

Dari sisi kesehatan juga Serbat dan gula aren ini jauh lebih sehat. Menurut dia gula aren ini sangat baik untuk kesehatan, dibandingkan gula pasir. Sebab Kandungan yang ada dalam gula aren ini sukrosa dengan kadar kalori sangat rendah, sedangkan gula putih sendiri memiliki kandungan glukosa dengan tinggi kalori.(Heru Zubaidi/Lombok Barat)
Share:

Friday 26 July 2019

Desa Danger Tampilkan Inovasi Olah Sampah Jadi Bahan Bakar Minyak

Kepala Desa Danger, Kaspul Hadi, memantau proses ujicoba mesin pengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak di kantor desa setempat, Senin (22/7/2019)

Inovasi yang ditampilkan oleh Pemerintah Desa Danger Kecamatan Masbagik, Lotim berhasil menjadi juara I unggulan dalam pelaksanaan gelar teknologi tepat guna (TTG) tingkat Provinsi NTB yang dipusatkan di Lotim. Pemdes Danger menampilkan mesin pengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak, mulai dari minyak tanah, bensin dan solar.

Menurut Kepala Desa Danger, Kaspul Hadi, keberhasilan yang dicapai itu tidak terlepas dari kepedulian dan kerjasama semua pihak. Salah satunya kepedulian terhadap lingkungan untuk bagaimana sampah bernilai ekonomis. Dituturkannya, inisiatif pengolahan sampah dari kerajinan Gaharu yang ada di Danger menciptakan minyak wangi yang dikirim ke berbagai negara.

"Dari Gaharu yang menghasilnya minyak wangi inilah yang menginspirasi untuk membuat mesin pengolahan plastik menjadi bahan bakar," terangnya kepada Suara NTB, Senin (22/7/2019).

Adanya mesin pengolah sampah plastik ini kedepan bagaimana plastik-plastik yang ada di Desa Danger tidak lagi menjadi momok ditengah-tengah masyarakat. Melainkan sampah-sampah tersebut dapat menjadi sumber berkah. Sampah yang mampu menciptakan PADes untuk kembali pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. "Mesin yang kita ciptakan ini mampu memproduksi dari sampah plastik menjadi bahan bakar berupa bensin, solar dan minyak tanah," terangnya.

Keberadaan mesin pengolah sampah ini terus dilakukan ujicoba. Langkah ini dilakukan supaya inovasi yang dibuat oleh masyarakat dan Desa Danger ini betul-betul dapat berfungsi maksimal. Ini untuk menjawab persoalan sampah. Terciptanya mesin pengolah sampah ini sejalan dengan program Pemprov  NTB untuk mewujudkan NTB zero waste. "Dengan karya ini, apabila sudah berkembang dan sukses. Insya Allah mampu mendatang PADes dan mengatasi persoalan sampah menjadi berkah," jelasnya.

Ia berharap keberhasilan mesin pengolah sampah menjadi bahan bakar minyak menjadi juara I unggulan tingkat NTB tidak hanya sebatas juara. Namun bagaimana diharapkan pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi untuk mendukung dan mengawal inovasi TTG ini untuk dapat berkembang sehingga dapat berfungsi sebagaimana tujuannya.

Diketahui, terdapat empat penilaian pada gelar TTG ini, yaitu inovasi tepat guna yang juara pertama diraih alat pemotong kayu multi guna (KLU), sementara juara kedua adalah alat semprot (handsprayer) tenaga surya (Lombok Barat) dan juara ketiga alat pemupuk jagung (Dompu).

Sementara itu Lombok Timur meraih predikat sebagai Kabupaten Terbaik Tepat Guna Unggulan yang diraih oleh Desa Danger Kecamatan Masbagik, disusul Lombok Utara, dan Lombok Tengah. (Yoni Ariadi/Lombok Timur)
Share:

Monday 10 June 2019

ITDC Gelar Lebaran ’On The Beach

 Atraksi seni semarakkan Lebaran On The Beach ITDC di kawasan The Mandalika.

Serangkaian untuk menyemarakkan perayaan hari raya Idul Fitri, PT. Pengembang Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) menggelar event Lebaran On The Beach di Kuta Beach Park di kawasan The Mandalika. Event itu digelar mulai tanggal 7 sampai 16 Juni 2019 . Selain untuk menggaungkan kawasan The Mandalika, event tersebut diharapkan bisa menjadi wahana memperkenalkan kesenian dan budaya lokal Lombok Tengah (Loteng).

“Event Lebaran on the beach ini memang kita gelar tidak hanya untuk memperkenalkan secara lebih luas lagi kawasan The Mandalika. Tetapi juga bisa menjadi wahana bagi para pelaku seni didaerah ini untuk berekspresi dan berkreasi,” ungkap Kepala General Support The Mandalika I Gusti Lanang Bratasuta, kepada Suara NTB, Minggu (9/6/2019).

Ia menjelaskan, event sendiri digelar selama dua jam setiap hari. Mulai pukul 16.00 wita sampai pukul 18.00 wita. Diisi oleh berbagai penampilan dan atraksi seni khas daerah ini, Seperti band akustik, kesenian tradisional gendang beleq, peresean, dan musik genggong. Termasuk tarian tradisional seperti santang, kayak, setta dan tamplek.

Untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang kesenian itu sendiri, di setiap penampilan tarian khususnya, diselipkan cerita di balik kesenian tari khas Sasak tersebut. “Respons masyarakat nyata cukup baik. Terbukti, setiap event digelar selalu ramai disaksikan oleh pengunjung,” terangnya.

Yang datang pun tidak hanya wisatawan lokal saja. Tetapi juga wisatawan domestik hingga mancanegara. “Selama dua hari pelaksanaan event ini, rata-rata pengunjung yang datang di Kuta Beach park mencapai sekitar 2.000 orang,” terangnya.

Ke depan pihak ITDC berkomitmen untuk memperbanyak event-event serupa. Dengan begitu kawasan The Mandalika bisa semakin dikenal dan tentunya akan mengundang minat wisatawan untuk datang. Kalau kawasan The Mandalika sudah ramai dikunjungi, hal itu tentunya akan membuka peluang ekonomi masyarakat sekitar. Dan, pada akhirnya akan mampu mengangkat taraf ekonomi masyarakat di lingkar kawasan The Mandalika pada khususnya dan Loteng pada umumnya.

“Muara dari semua event yang kita laksanakan itu demi mendorong pergerakan ekonomi kawasan dan masyarakat di sekitar kawasan. Kalau ekonomi sudah bergerak, masyarakat pula yang akan merasakan manfaatnya,” tegas Brata. (Munakir/Suara NTB/Loteng)
Share:

Friday 12 April 2019

Kerajinan Roket Lombok Tengah Tidak Terpengaruh Kondisi Pariwisata


Salah satu perajin rotan dan ketak di Desa Lajut Lombok Tengah. Pesanan hasil kerajinan terus mengalir, meski kondisi pariwisata belum pulih.
SELAMA ini keberadaan Desa Lajut Kecamatan Praya Tengah Lombok Tengah (Loteng) sebagai penghasil kerajinan ekonomi kreatif belum banyak dikenal orang. Padahal hasil kerajinan tangan dari desa ini, seperti tas, piring, keranjang dari rotan dan ketak banyak menghiasi artshop yang ada di Lombok dan Bali. Gempa yang terjadi beberapa waktu lalu dan minimnya kunjungan wisatawan tidak berpengaruh terhadap pesanan produk kerajinan.



Pemilik modal atau pengepul cukup mendrop bahan berupa rotan dan ketak (roket), nanti setelah jadi tinggal diambil dan dijual dengan harga lebih mahal. Warga yang selama ini menjadikan membuat tas, piring dan keranjang dari rotan dan ketak sebagai pekerjaan sampingan. Sementara pekerjaan utama mereka adalah bertani atau profesi lainnya.

"Terkadang kalau tidak ada pekerjaan di sawah, kami dari fokus buat kerajinan dari rotan. Tapi kalau ada kerjaan di sawah, setelah pulang baru kami buat kerajinan," tutur Inaq Muslimah, salah seorang perajin dari Desa Lajut Kecamatan Praya Tengah, Selasa (2/4/2019).

Sebagai salah satu perajin rotan dan ketak di desanya, dirinya tidak susah mendapatkan bahan untuk membuat berbagai macam jenis kerajinan sesuai pesanan. Bahan baku seperti rotan dan ketak sudah disediakan oleh pengepul untuk dibuat sejumlah kerajinan tangan sesuai pesanan. Apalagi, setiap kerajinan yang dibuat sudah dipesan dan  perajin tinggal membuat sebanyak yang dia mampu.



"Semakin banyak yang kita buat, semakin banyak kita dapat uang. Kalau yang sudah mahir bisa membuat 2 piring atau lebih dalam sehari. Tapi kalau tas bisa 1  buah. Tergantung dari orangnya yang buat," tuturnya.

Terkait harga atau upah setiap satu jenis kerajinan, tuturnya, tergantung dari sulit atau mudahnya membuat kerajinan. Dia mencontohkan, harga 1 piring dari rotan diambil Rp16.000. Begitu juga tas dari ketak di atas Rp50.000 atau harga tergantung kesulitan dalam membuat produk. Semakin sulit membuat sebuah kerajinan, semakin mahal harga yang diambil pihak pemesan barang.  ‘’Kalau harga yang mereka jual saya tidak tahu, tapi kami dibeli sesuai dengan tingkat kesulitan pembuatan,’’ tambahnya.

Pada bagian lain, Inaq Muslimah mengakui, jika gempa dan kondisi pariwisata sekarang ini belum begitu berpengaruh terhadap adanya pesanan pembuatan hasil kerajinan di desanya. Dalam hal ini, perajin di desanya, termasuk dirinya menerima pesanan untuk membuat berbagai jenis kerajinan tangan dari pengepul atau pengusaha yang sudah membuat kesepakatan dengan perajin. Setelah itu, perajin tinggal menerima bayaran sesuai dengan jumlah produk yang dibuat. Nantinya, pihak pengepul akan mengambil barang yang sudah jadi dan dikirim ke Pulau Bali dan Jawa. (Marham)

Share:

Tarian Doro Mantika, Gambaran Peradaban Masyarakat Dompu Sebelum Tambora Sebelum Meletus


Ratusan penari saat mempertunjukkan tarian Doro Mantika. Tarian tersebut gambaran peradaban masyarakat pra dan pasca letusan Tambora 1815 silam, Rabu (11/4/2019)
Puncak Festival Pesona Tambora (FPT) 2018 lalu, dimeriahkan tari kolosal Nggahi Rawi Pahu dengan 203 penari. Tahun ini, tarian serupa juga ditampilkan. Tetapi dengan tema dan jumlah penari yang berbeda, yaitu tarian kolosal Doro Mantika.

Tarian itu diangkat sebagai gambaran kehidupan masyarakat Dompu. Khususnya di lereng gunung tambora pra dan pasca letusan dahsyatnya 1815 silam. Kondisi sumber daya alam yang melimpah dan dinamisnya kehidupan masyarakat direpresentasikan dalam setiap gerak, suara dengan paduan kearifan lokal.

Pasca letusan misalnya, tambora telah menghasilkan bentang alam, tumbuhan dan binatang endemik. Seperti pohon Dua Mangga dan Ayam Hutan Hijau atau yang dikenal dengan Peo dalam bahasa daerah setempat. Termasuk burung kaka tua putih.

Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Dompu, Wahyono Ragil sekaligus penanggung jawab tarian kolosal, mengatakan, tarian kolosal Doro Mantika ini dipertunjukan oleh 336 penari latar, 50 orang penari inti dan 10 orang pemusik.

“Tarian Doro mantika ini mengisahkan peradaban pra dan pasca meletusnya Gunung Tambora 1815. Termasuk gambaran soal tumbuhan, hewan yang masih ada sampai sekarang dan beberapa kerajaan yang tenggelam saat itu,” katanya saat Puncak Festival Pesona Tambora 2019 di Doro Ncangga Dompu Nusa Tenggara Barat, Kamis (11/4/2019).
Tarian Doro Mantika Gambarkan Peradaban Tambora di acara Festival Pesona Tambora 2019

Selain mengenang peradaban Tambora 1815, pesan tersirat lainnya ialah Dompu harus bangkit melalui program yang tengah dikembangkan pemerintah daerah. Sehingga visi misi Bupati agar masyarakat mampu membayar bisa diwujudkan.

Selain para penari merupakan perwakilan tiap-tiap instansi. Sebagian dari mereka ialah utusan tujuh sanggar yang ada di wilayah ini. “Dan itu kita seleksi ketat dulu para peserta ini sebelum tampil,” ujarnya. (Junaidi/Dompu)


Share:

Monday 8 April 2019

Sabut Kelapa Desa Korleko Lombok Timur Diekspor ke Cina

Sabut kelapa dari Desa Korleko Kecamatan Labuhan Haji Lombok Timur  yang dijadikan coco fiber untuk bahan baku pembuatan jok mobil dan diekspor ke Cina .

SABUT kelapa tampak menumpuk di gudang-gudang pengusaha kelapa di Desa Korleko, Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur. Sabut yang merupakan limbah dari kulit kelapa ini yang diolah menjadi Coco Fiber yang bernilai ekspor. Limbah ini bahkan diekspor hingga ke Cina.


Adalah Zaini, salah seorang pengusaha jual beli kelapa di Desa Korleko. Dalam sebulan terakhir ini, ia memulai kegiatan usaha jual sabut kelapa yang sudah diolahnya. Ditemui Sabtu (6/4/2019), ia menceritakan bahwa sabut kelapa hasil olahannya dikirim ke Cina untuk jadi bahan baku beberapa macam produk industri. ‘’Informasinya untuk bahan baku otomotif, seperti jok mobil, kanvas rem dan sofa,’’ katanya.


Zaini mengirim hasil olahannya itu ke Surabaya. Kemudian oleh  mitranya yang ada di Surabaya dikirim ke Cina. Pengiriman dari Lombok sejatinya bisa langsung dilakukan. Akan tetapi tidak ada kontainer, sehingga ekspor ke Cina ini dilakukan via Surabaya, Jawa Timur. Produk olahan sabut kelapa yang dihasilkan,  Zaini dikirim ke Surabaya sebanyak 10 ton. Ia menjual sabut kelapa ini Rp 3.500 per Kg.

Zaini mengaku, awal mula menggeluti usaha ini setelah beberapa kali ke Jawa. Ia melihat di Jawa katanya, banyak aktivitas usaha seperti itu. Sementara di Lombok Timur, sabut kelapa hanya menjadi limbah yang terbuang percuma.


Pengusaha pengolah sabut kelapa diakui bukan yang pertama. Kabarnya pernah ada pengusaha di Kayangan, Labuhan Lombok melakukan hal yang sama. Akan tetapi berhenti karena kebakaran.

Proses pengolahannya menurut Zaini, sabut kelapa untuk volume satu truk dibutuhkan waktu perontokan selama 4 jam. Kemudian dijemur beberapa hari hingga sisa kadar air 17 persen. Kemudian dikemas dengan mesin pres hidrolik.

Usaha Zaini ini makin membuktikan tidak ada bagian yang terbuang dari kelapa. Tidak ada bagian dari kelapa yang menjadi limbah. Semua bernilai, tinggal dibutuhkan kreativitas untuk mengolahnya. Serbuk hasil ayakan itu menjadi media tumbuh tanaman pada proses pembibitan. Bisa juga dijadikan bahan pembuatan batu bata atau tambahan bahan baku pupuk organik.


Kapasitas mesin yang digunakan Zaini sehari hanya 1 ton. Atau dengan omset harian sekitar Rp3 juta. Di luar sana, sebutnya seperti di Sulawesi sebenarnya bisa 6 ton. Zaini pun berharap bisa melakukan pengolahan 6 ton perhari. Pasalnya, jika kemampuan mesin hanya 1 ton perhari, Zaini mengaku masih belum untung. Karena harus membayar karyawan dan biaya operasional mesin perontok dan mesin pres hidrolik.

Ditambahkan, pengolahan sabut kelapa di NTB katanya belum ada industrinya. Diketahui ada olahan pembuatan sapu di Dusun Benyer, Desa Bagik Papan, Kecamatan Pringgabaya. Pembuatan produk lain belum bisa dilakukan karena keterbatasan tenaga dan permodalan. 

Banyaknya limbah sabut kelapa di Desa Korleko ini membuat Zaini sama sekali tidak kewalahan soal bahan baku. Bahkan yang diolah itupun hasil dari sabut kelapa usahanya sendiri. Belum ada yang dibeli dari warga lain.


Permintaan sabut kelapa dalam sebulan terakhir ini katanya cukup tinggi. Sebulan pembeli meminta 500 ton coco fiber. Yakni yang masih berupa serat. Ampasnya sendiri yang disebut koko peat juga sangat bernilai. Belanja online saja harganya Rp2.000 per Kg. Coco peat ini sejauh ini dijual di pasar lokal saja. Belum ada permintaan ekspor.

Permintaan coco fiber yang tinggi ini tidak bisa dipenuhi Zaini. Eksportir coco fiber dari Indonesia terbilang masih sangat terbatas. Kabarnya yang banyak mengirim ke Cina itu adalah dari India sampai 50 persen. Ada juga dari Srilanka dan Bangladesh.


Kepala Desa Korleko, Wildan yang dikonfirmasi mengatakan sabut kelapa ini memang menjadi limbah yang cukup besar di Desa Korleko. Bahkan dianggap lebih banyak dibandingkan sampah plastik. Di mana, gudang-gudang pengusaha kelapa di Desa Korleko ini menggunung serabut kelapanya.

Wildan menuturkan, ia sudah berkomunikasi dengan Menteri  Tenaga Kerja. Oleh menteri, Desa Korleko ditetapkan menjadi Desa Migran Produktif. Para eks Pekerja Migran Indonesia (PMI) dilatih untuk bisa memiliki kegiatan usaha sendiri di rumahnya. Salah satunya mengolah sabut kelapa. 
Upaya pengolahan sudah beberapa kali dilakukan. Akan tetapi, tidak ada pembeli. Selain persoalan modal, persoalan pasar menjadi kendala besar bagi warga yang menggeluti usaha pengolahan sabut kelapa ini.

Diakui, sabut kelapa ini konon bisa jadi bahan baku jok mobil kualitas terbaik. Namun ketika bicara pasar menuju produsen itu, belum ada jawaban. Sehingga sampai saat ini persoalan limbah sabut kelapa menjadi persoalan di Desa Korleko. ‘’Pemikiran sekarang ini ada tidak  pasarnya. Kalau ada pasarnya banyak yang akan mengusahakannya,’’ katanya. (Rusliadi/Lombok Timur)

Share:

Sunday 3 March 2019

Dukung Program Zero Waste, Warga Lingkar Kawasan Mandalika Dilatih Kelola Sampah


Pedagang di kawasan Pantai Tanjung A’an dilatih mengolah sampah.
Puluhan pedagang dan warga yang ada di kawasan Pantai Tanjung A’an, mendapat pelatihan khusus pengelolaan sampah dari Indonesia Tourism Development Corporatioan (ITDC) selaku pengelola kawasan The Mandalika Kuta, selama tiga hari sejak Kamis (28/2/2019). HarapanNya, masyarakat bisa mengelola sampah supaya tidak mengotori destinasi wisata yang ada. Bahkan bisa mendatangkan manfaatnya bagi warga lingkar kawasan.

Pelatihan tersebut sekaligus sebagai salah satu upaya mendukung program pemerintah provinsi dalam mewujudkan NTB Zero Waste. “Melalui pelatihan paradigma berpikir masyarakat soal sampah coba kita ubah. Bahwa sampah bisa menjadi barang yang bernilia jual dan bermanfaatnya,” Direktur Keuangan dan Strategi Korporat ITDC, Nusantara Suyono, Jumat (1/3/2019).

Ia menjelaskan total ada 25 pedagang dan warga yang dilatih Dengan menggandeng tim dari Bank Sampah NTB. Di mana nantinya, tim Bank Sampah NTB Mandiri akan terus mendampingi pedagang dan warga sampai pada terbentuknya bank sampah di kawasan tersebut, sehingga pelatihan diberikan ada keberlanjutannya dan tidak hanya sampai pelatihan saja.

Nusantara menjelaskan, persoalan sampah memang menjadi perhatian utama bagi pihak ITDC, karena bicara pariwisata tentu tidak akan bisa lepas dari persoalan kebersihan. Sementara sampah di kawasan The Mandalika Kuta sampai sejauh ini belum terkelola dengan baik.

Terlebih kawasan Pantai Tanjung A’an merupakan salah satu destinasi wisata andalan yang ada di kawasan The Mandalika Kuta. Untuk itu, diperlukan upaya kongkrit dalam mengelola sampah di kawasan tersebut. Supaya tampilan kawasan tersebut bisa semakin indah dan bisa memancing minat wisatawan untuk datang berkunjung.  

Camat Pujut Lalu Sungkul menambahkan, pemilahan sampah merupakan program yang positif dan harus segera diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat kebersihan merupakan tolak ukur utama dalam suatu kawasan destinasi pariwisata. Sampah tidak melulu menjadi hal yang tidak berguna, tapi bisa disulap menjadi suatu barang yang memiliki nilai ekonomi.

Selain bisa berguna bagi masyarakat, itu juga bisa mengurangi beban pemerintah terkait pengelolaan sampah di TPA, karena sebelum sampai di TPA, sampah dikelola terlebih dahulu. “Sampah yang dibuang ke TPA itu nantinya, memang benar-benar sampah yang sudah tidak bisa dikelola oleh masyarakat. Selama masih bisa dikelola dan didaur ulang menjadi barang yang bermanfaat, sampah tidak perlu dikirim ke TPA,” tandasnya. (Munakir/Lombok Tengah)
Share:

Wednesday 13 February 2019

Event Desa Penujak Reborn, Upaya Melahirkan Gerabah Berkualitas Tinggi

Gubernur NTB, H. Zulkieflimansyah, menuang air dari ceret saat Reborn Desa Penujak sebagai Desa Wisata Gerabah, Sabtu (9/2/2019). 

Di era tahun 1980-an hingga awal tahun 200-an, Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Lombok Tengah (Loteng) dikenal sebagai sentra penghasil gerabah berkualitas tinggi. Nama Desa Penujak pun dikenal tingkat nasional hingga mancanegara. Namun pasca peristiwa bom bali tahun 2002 silam, pamor gerabah Desa Penujak perlahan mulai meredup.

Seiring dengan semakin menurunnya permintaan gerabah berdampak pada tutupnya sejumlah art shop akibat merosotnya kunjungan wisatawan kala itu, terutama di Bali, yang merupakan pasar utama gerabah Desa Penujak. Sementara pasar lokal tak banyak membantu mempertahankan eksistensi gerabah Desa Penujak.  

Masyarakat yang dulunya membuat gerabah mulai beralih ke aktivitas lain dan usaha gerabah hanya jadi usaha sampingan. “Kalau dulu kita punya hampir seratusan art shop di Desa Penujak. Tapi sekarang tinggal hanya tiga art shop saja,” aku Kepala Desa Penujak L. Suharto pada acara Desa Penujak Reborn, Sabtu (9/2/2019). Hadir juga di acara ini Gubernur NTB Dr. H. Zulkieflimansyah, SE., MSc.

Kini Desa Penujak mencoba merintis kembali jalan menuju era kejayaannya sebagai penghasil gerabah berkualitas. Setelah sempat mati suri, Desa Penujak seperti ingin reborn(lahir kembali) dengan mendeklarasikan diri sebagai desa wisata gerabah.

“Kita berharap momen ini bisa menjadi momentum yang baik bagi era kebangkitan gerabah Desa Penujak,” ujar Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah.

Gubernur mengatakan, gerabah masih punya peluang untuk berkembang. Sebagai salah satu sektor pendukung pariwisata di daerah ini. Bahkan cara pembuatan gerabah itu sendiri bisa menjadi salah satu destinasi wisata yang layak dijual. Dalam hal ini, ujarnya, produk gerabah tinggal dikemas dengan baik, sehingga bisa membuat wisatawan tertarik untuk datang dan berkunjung ke Desa Penujak.

“Event ini kita harapkan tidak hanya jadi seremoni belaka. Tetapi harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret untuk bisa mengembalikan kejayaan gerabah Desa Penujak,” ujarnya.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, tentu butuh dukungan serta komitmen semua pihak. Mulai dari tataran pemerintah desa hingga pemerintah yang lebih atas. Dan, pemerintah provinsi bakal mendukung penuh upaya mengembalikan Desa Penujak sebagai sentra gerabah didaerah ini.

Di tempat yang sama Direktur Edukasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Pusat, Popi Safitri, mengaku Desa Penujak dengan gerabahnya sangat potensial untuk bisa berkembang. Letaknya yang strategis, karena sangat dekat dengan bandara salah satu nilai lebihnya. Tinggal bagaimana kemudian inovasi dan kreativitas dalam memproduksi gerabah bisa terus dipacu.

Dalam arti bentuk dan model gerabah yang dihasilkan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. (Munakir/Lombok Tengah)
Share:

Getap dan Babakan Kota Mataram, Sentra Industri Rekayasa Mesin Pertama di Indonesia Timur

Tukang las di Babakan Kota Mataram NTB
Nama Babakan sudah melegenda. Babakan adalah salah satu Kelurahan di Kota Mataram yang menjadi sentra produksi beragam alat-alat dapur dan mesin rekayasa. Dari sana beragam hasil industri dari logam dihasilkan. Konsep industrialisasi telah berkembang lama di kelurahan itu sejak zaman Raja Anak Agung Karang Asem dan masih bertahan hingga kini.

Berkembangnya industri logam di Getap dan juga di wilayah Babakan, lahir dari kebijakan Pemerintah Provinsi NTB pada tahun 1980-an yang ingin menjadikan wilayah itu sebagai sentra perbengkelan. Kebijakan itu lahir, karena sejak lama di sana telah tumbuh dan berkembangnya perajin kaleng yang memproduksi kompor minyak tanah.


Getap semakin memantapkan diri sebagai sentra industri, setelah pada tahun 1987 berdiri bengkel mobil pertama, yakni Bengkel H. Muksin. Menyusul kemudian hadir pada 1988,  Bengkel Mobil Patuh. Lalu 1989 didirikan Bengkel Roda Tani (Rotani) , produksi alat mesin pertanian pertama di NTB. Dan 1995 didirikan IKKB (Industri Kerajinan Kaleng Babakan) , untuk mengorganisir kerajinan kaleng di Babakan,  produksi kompor minyak tanah dan ember.

Kemudian bengkel-bengkel lain muncul beranak pinak dari bengkel yang ada. Sementara di Getap dimulai tahun 1980-an sebagai sentra pandai besi. Di sini, sekitar 302 perajin yang memproduksi pisau, sabit dan lainnya hingga sekarang dan terus berkembang.

Ekbis NTB berkesempatan mengunjungi sentra produksi logam di dua kelurahan ini pekan kemarin. Layaknya bengkel produksi, suasana di dua kelurahan ini ramai terdengar suara mesin-mesin sedang berproduksi. Suara palu juga bertalu-talu, suara mesin las, mesin gerinda. Menyatu dan sudah menjadi keseharian warga di sana dengan suara mesin-mesin sedang berproduksi.


Masuk di sebuah bengkel produksi CV. Rotani. Beberapa pekerja, Sabtu (9/2) nampak sibuk. Ada yang mengukur besi untuk dipotong, ada yang melubangi pelat, ada yang mengelas. Ada juga yang melakukan finishing. Rotani adalah sebuah badan usaha yang bergerak dalam bidang rekayasa mesin, khususnya mesin pertanian , industri, produksi dan lain-lain. Bengkelnya di Jalan Ali Napiah No .2  Kelurahan Babakan, Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram.

Sejak 2013 perusahaan ini telah berdiri, embrionya ada sejak tahun 1970-an. Saat ini bengkel itu telah mempekerjakan belasan karyawan untuk pengerjaan beragam pesanan.  Telah banyak mesin pertanian maupun industri yang telah dihasilkan oleh Rotani baik yang merupakan pengembangan maupun rekayasa murni dari bengkel ini.
 Inilah mobil rekayasa yang dibuat CV. Rotani Babakan Kota Mataram
Beberapa di antaranya adalah mesin kacang, heuler jalan, pelumat hijauan yang saat ini digunakan secara luas di Indonesia. Selain itu pada generasi selanjutnya hadir tungku gasifikasi untuk tembakau yang kemudian menjadi trend setter diadopsi oleh banyak perusahaan yang lain.  Dan ribuan alat telah digunakan di beberapa wilayah di Indonesia.


Hasil produksi dari bengkel ini juga banyak dipasarkan di Bali. Saat ini, kata Direktur CV.Rotani,  Setiyo Susilo, pesanan juga datang dari Bangka Belitung untuk mesin pengeringan kaolin oleh sebuah perusahaan yang aktivitasnya berurusan dengan tambang.

Bengkel ini didukung peralatan mesin termasuk terlengkap dan terbesar. Misalnya, mesin bubut, mesin bor, mesin tekuk hidrolik. Umumnya mesin yang dioperasikan secara manual. Ia tengah mengembangkan mesin las potong yang dikendalikan oleh komputer.

‘’Mau membentuk pelat, tinggal masukkan desainnya di komputer. Nanti mesin sendiri yang mencetak gambar atau tulisannya. Ini satu-satunya teknologi terbaru di Indonesia Timur. Memang belum sepenuhnya kita operasikan,’’ kata Susilo.

Rotani telah membuat ribuan jenis produk teknologi tepat guna. Dari yang berukuran kecil, hingga yang berukuran jumbo. Produk-produk hasil pabrikan menurutnya biasa dibuatnya. Asal dilihatkan contohnya, atau model mesin yang diinginkan oleh pemesan.


Karena mampu memproduksi, bengkel ini bahkan telah melakukan rekayasa kendaraan. Untuk membuat mobil sekalipun, ia sanggup. Tapi jangan tanyakan soal detail hasilnya. Jadi industry di sini bisa memproduksi sedetail pabriknya yang didukung dengan mesin-mesin yang sudah disistem dengan teknologi tinggi.

Artinya, dari sisi kemampuan, SDM lokal siap mengembangkannya. Apalagi hanya sekadar teknologi-teknologi biasa untuk melakukan industrialisasi di NTB. ‘’Mau buat apa, ayo. Tinggal kasih contoh alat apa yang mau dibuat,’’ tantangnya.
Petugas las di Babakan sedang mengebor plat baja untuk dijadikan kerangka mesin
Dari bengkel Rotani ini, juga telah lahir banyak tenaga-tenaga di bidang rekayasa mesin. Mereka setelah merasa cukup mampu membuka usaha, telah melepas diri dan mandiri. Karena itu, Susilo mengatakan, NTB sebetulnya tak kekurangan SDM di bidang teknologi tepat guna. Hanya saja kurang diberdayakan dan diberi kesempatan tumbuh dan berkembang. Jika mereka diberdayakan, Susilo yakin SDM NTB akan mampu menghasilkan produk-produk baru dan tidak kalah dengan hasil produksi daerah lain. ‘’Inilah yang menjadi tugas pemerintah daerah melakukan pemberdayaan,’’ harapnya.


Sementara Amaq Syukri, salah satu pandai besi di Getap menegaskan, ia masih tetap bertahan membuat pisau, parang, sabit hingga beberapa jenis senjata tajam lainnya. Sebagai orang yang telah lama bergelut di bidang ini, Amaq Isyuk – sapaan akrabnya tidak mau meninggalkan keterampilan yang telah ditinggalkan nenek moyangnya sejak lama. Meski sekarang ini, banyak teman-temannya yang telah beralih profesi dari pandai besi ke kerajinan las dengan membuat pintu gerbang, terali pintu, jendela dan lainnya.  

Diakuinya, ia banyak menerima pesanan pembuatan pisau, parang hingga senjata tajam. Namun, Amaq Isyuk lebih selektif dalam menerima pesanan. Terutama pesanan senjata tajam seperti panah, keris atau pedang untuk hal-hal yang berbahaya. Ia tidak ingin hasil karyanya justru dipergunakan untuk saling melukai satu sama lain. ‘’’Lebih baik hasil karya ini saya pergunakan untuk hal yang bermanfaat. Misalnya membuat pisau, parang, kapak dan sabit,’’ ujarnya.

Namun, Amaq Isyuk mempersilakan anaknya Syamsul membuka usaha las sendiri dan tidak harus mengikuti dirinya menggeluti pandai besi. Ia bersyukur, anaknya mampu mandiri dan membuka usaha las sendiri dan sudah banyak menerima pesanan untuk membuat pintu gerbang, terali jendela, pintu dan lainnya.  (Bulkaini/Marham)

Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive