Ali Akbar, salah satu petani kakao di Lombok Utara sedang meremajakan pohon kakao dengan teknik yang dipelajari dari internet. |
Kakao milik petani di Dusun Gitak Demung, Desa Genggelang, Kecamatan
Gangga, kebanyakan berusia tua. Untuk meremajakannya, petani memerlukan
inovasi. Menyadari pendampingan instansi yang minim, petani pun memilih belajar
otodidak dari internet.
SEPERTI yang dilakukan petani kakao, Ali Akbar. Kakao-kakao
tua itu dipangkas. Batang utama dipotong dengan sisa batang antara 50 cm - 1
meter. Batang tua itu kemudian disambung
dengan teknik okulasi. Teknik sambung pucuk itu ternyata berhasil. Hingga
sekarang, hampir sebagian besar kakao di atas 2,5 hektar areal milik Ali
berganti dengan pohon baru.
Teknik sambung pada kakao, diadopsi petani dari akulasi pada
kopi. Teknik inilah yang ikut memajukan produksi kopi di sebagian besar wilayah
Genggelang. Genggelang patut dijuluki sebagai desa penyangga komoditas
perkebunan di Lombok Utara.
"Umur kakao di atas 20 tahun, rata-rata sudah sangat.
Dulunya kakao masuk melalui program P2WK saat pertama kali kakao datang ke
Genggelang," ungkap Ali, Kamis (14/11/2019).
Pada tanaman kakao, terdapat rumus baku. Bahwa semakin muda
batang dan ranting, produksi akan semakin melimpah. Berangkat dari itulah, Ali
memberanikan diri memangkas kakao.
Bahkan lahan milik Ali, kerap dilirik sebagai lokasi demplot
penelitian para peneliti perguruan tinggi. Namun bukan Ali saja yang
meremajakan kakao dengan teknik sambung. "Kami belajar otodidak dari
YouTube, tanpa dampingan. Awal mula menyambung sekitar 2015, dan menjadi tren
mulai 2017. Dari 10 petani, sekitar 6 orang sudah mulai menyambung,"
akunya.
Petani Dusun Gitak Demung, kebanyakan banyak belajar dari
konsep try and error. Cara ini
dilakukan pula pada durian. Petani setempat banyak melakukan uji coba dengan
varietas baru. Bahkan tidak jarang dari mereka yang berani membeli dan
mendatangkan varietas (pucuk) durian jenis baru untuk disambung dengan durian
lokal.
Jauh sebelum Kampung Cokelat berdiri, sudah ada beberapa
petani yang mulai berinovasi secara mandiri. Tetapi usaha mereka tidak banyak
diekspose. "Awal menyambung, saya
sampai dikatakan gila karena memangkas dengan cara berbeda. Petani umum potong
atas, tapi saya coba potong pokok menyisakan 10-15 cm," sambungnya.
Dengan teknis sambung batang, petani setidaknya harus menunggu
sampai 2 tahun sampai pokok baru mulai berbuah. Selama itu, petani harus
menyiapkan cadangan. Tetapi bagi petani, lahan tumpang sari dengan pisang,
kelapa dan vanili menjadi penolong selama kakao tidak berproduksi.
Petani Gitak Demung umumnya kesulitan dengan obat-obatan
pertanian. Harga obat mahal menjadi salah satu faktor yang mendorong petani
menerapkan pengelolaan budidaya secara organik. Misalnya, untuk menjaga buah
kakao dari hama helopeltis, mereka memanfaatkan dedaunan yang difermentasi
untuk disemprotkan pada buah.
"Rata-rata petani Genggelang sudah lancar mengendalikan
hama, kendala utama sampai sekarang adalah pemasaran hasil produksi. Kakao
paling mahal dihargai Rp 21.000. Harga beli tertinggi sekitar Rp29 ribu per kg,
itu terjadi sekitar tahun 2000-an," imbuhnya.
Petani di lingkaran pengepul seolah menjadi pemandangan
jamak yang ditemui. Pemda KLU sejatinya diharapkan menyiapkan "bapak
angkat" yang menyerap bahan baku dengan harga bersaing. Jika perlu,
melalui BUMD/BUMDes. (Johari/Lombok Utara)