Be Your Inspiration

Monday 9 January 2017

Edi Virtual : Pembajakan, Membuat Musisi Malas Berkarya


Lalu Edi Setiawan

BELUM adanya tindakan tegas terhadap pelaku pembajakan kaset, VCD, DVD, khususnya di dunia hiburan membuat para musisi malas berkarya. Kerja keras dalam menciptakan lagu dan membuat arensemen musik seakan tidak ada artinya, ketika hasil karya banyak beredar dan dibeli orang. Tapi yang menikmati hasilnya adalah para pembajak atau orang yang mengambil keuntungan di balik karya orang lain. 

Pembajak merupakan musuh bersama dari para musisi di seluruh Indonesia atau dunia. Pembajak memanfaatkan kaset, VCD dan DVD yang beredar untuk digandakan dalam jumlah yang besar. Setelah itu dijual dengan harga murah ke masyarakat. 

Begitu juga di NTB. Pembajak hasil karya senimal lokal membuat para musisi malas berkarya. Mereka tidak mau menjadikan pembajak kaya. Sementara para musisi yang menghasilkan karya seni yang digemari masyarakat justru tidak mendapatkan apa-apa. Musisi atau grup musik yang mengandalkan penjualan dari kaset atau VCD dan DVD tidak bisa berharap banyak dari hasil penjualan. Apalagi, harga kaset, VCD dan DVD asli sangat mahal dibandingkan dengan kaset atau VCD bajakan yang beredar luas di masyarakat. 

Sebagai contoh, vokalis Virtual Band Lalu Edi Setiawan, tidak mampu berbuat apa-apa, ketika kaset atau VCD hasil karya musiknya dibajak dan dijual dengan harga murah di pasaran. Sebagai grup musik lokal yang sudah cukup lama eksis, Eed – panggilan akrabnya, mengaku pembajak merupakan musuh utama dari musisi. 

Dicontohkannya, Virtual Band hanya mengeluarkan sebuah album lagu dalam bentuk kaset dan tidak dalam bentuk VCD atau DVD. Namun, yang banyak beredar di pasaran adalah hasil karya Virtual dalam bentuk VCD. ‘’Ini yang kami herankan. Kami tidak pernah mengeluarkan album dalam bentuk VCD. Tapi di VCD itu yang ada suaranya dan visualnya hanya pemandangan-pemandangan saja,’’ ujarnya pada Ekbis NTB, Rabu (4/1) lalu. 

Sekarang ini, tutur Eed yang juga membuka usaha  rental studio dan musik serta nasi belut ini, dirinya bersama personel Virtual Band yang lain lebih konsentrasi pada pekerjaan masing-masing. Personel Virtual Band, banyak bekerja di luar Kota Mataram dan kumpul saat liburan atau ada momen tertentu. Sementara bagi Eed yang juga staf di Biro Humas dan Protokol Setda NTB ini, tidak hanya terpaku pada salah satu grup musik saja. Artinya, ketika ada kegiatan, dirinya siap tampil bersama band manapun. 

Namun, ketika ada undangan konser langsung menggunakan  personel Babad Band. Apalagi saat tampil sering tampil dengan karakter band yang berbeda. Sebagai contoh, Babad Band untuk band festival dengan lagu-lagu rock happy metal, E-go Band, untuk lagu-lagu religi dan akuistik. ‘’Sementara Virtual Band dengan lagu pop Sasak modern,’’ tuturnya. ‘’Selain itu kita berharap semoga pembajakan tidak ada lagi,’’ tambahnya. 
Jien Rahardja
Gunakan Teknologi 

Lain halnya dengan Jien Rahardja – vokalis The Datu Band Lombok. Itoq, panggilan akrab Jien Rahardja ini berusaha mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembajakan hasil karya musik. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi terhadap VCD yang digunakan. Di mana, VCD yang dijual menggunakan teknologi tertentu, sehingga ketika ada upaya penggandaan VCD tidak bisa dilakukan. Meski demikian, pihaknya menyadari kemungkinan adanya pembajakan terhadap metode seperti itu masih bisa terjadi. ‘’Yang penting kita sudah berusaha,’’ ujarnya pada Ekbis NTB, Kamis (5/1).

Selain itu, hal lain yang tidak boleh dilakukan adalah dengan meng-upload lagu-lagu hasil karya yang baru dirilis di YouTube. Itoq yang juga salah satu dosen di perguruan tinggi swasta di Mataram ini, mengkritisi sejumlah musisi atau grup musik ketika baru merilis lagu langsung di-upload di YouTube. Cara seperti ini, ujarnya tidak bagus. Di mana, ketika lagu dirilis, maka banyak orang yang akan mengunduh atau men-download lagu, sehingga orang tidak perlu membeli VCD atau kaset di pasaran. ‘’Jadi sebaiknya, teman-teman musisi, jangan meng-upload dulu ke YouTube, karena itu berpotensi besar dibajak,’’ sarannya. 

Hal lain yang perlu diperhatikan, tuturnya, masalah tingginya permintaan penggemar terhadap lagu-lagu lewat MP3. Sebagai musisi, ia sering diminta mengirim link video atau MP3 lagu-lagu lewat Facebook, Twitter, WhatsApp dan BBM oleh para penggemarnya. Namun, dengan alasan profesional dirinya banyak menolak permintaan para penggemar dan menyarankan untuk membeli VCD secara langsung. ‘’Itulah yang perlu diantisipasi,’’ katanya. (Marham)
Share:

Friday 6 January 2017

YPH-PPD NW ­Pancor Gelar Lombok Seribu Masjid Sejuta Huffazh

 Kegiatan Lombok Seribu Masjid dan Sejuta Huffazh di GOR YPH-PPD NW
Pancor Lotim, Kamis (5/1/2017).
Ribuan santri-santriwati Yayasan Pendidikan Hamzanwadi Pondok Pesantren Darunnahdlatain (YPH-PPD) NW Pancor menggelar Lombok Seribu Masjid dan Sejuta Huffazh, Kamis (5/1/2017). Selain melibatkan salah satu televisi nasional itu, hadir juga salah satu penceramah kondang Ustadz Haikal Hasan.
Direktur Humas Universitas Hamzanwadi Selong, M. Halqi menyampaikan, pengajian umum dengan melibatkan salah satu televisi nasional itu untuk menjalin silaturahmi dengan media guna memperkenalkan dan mempertahankan identitas Lombok melalui YPH-PPD NW Pancor. Terlebih, katanya, Kabupaten Lotim merupakan kota santri yang penuh dengan nuansa religiusnya.
Sebagai kota santri, lanjutnya, diharapkan ke depan Lombok khususnya YPH-PPD NW Pancor mampu melahirkan santri-santri penghafal Al Qur’an yang dapat dikenal di seluruh lapisan nusantara. (Yoni Ariadi Lombok Timur)

Share:

Event Bau Nyale Digelar 16-17 Februari 2017

 Rapat penetapan pelaksanaan Bau Nyale di kawasan Pantai Seger Kuta Lombok Tengah.

Pemkab Lombok Tengah (Loteng) telah memutuskan pelaksanaan event Bau Nyale tahun 2016 ini akan digelar pada tanggal 16-17 Februari mendatang. Keputusan ini diambil dalam Sangkep Wariga (rapat penetapan) di kawasan Pantai Seger Kuta, Kamis (5/1/2017).
“Setelah penetapan ini, maka kita akan segera melakukan persiapan. Termasuk persiapan panitia pelaksananya,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Loteng, H.L. Putria, kepada wartawan, usai pertemuan.

Bau Nyale di Pantai Seger Lombok Tengah
Pada awalnya, rapat penentuan pelaksanaan Bau Nyale berjalan alot. Para pemuka adat yang hadir, sempat terlibat perdebatan hebat. Terkait puncak perayaan event tahunan yang kini telah ditetapkan sebagai event pariwisata nasional tersebut. Di mana para pemuka adat sempat terlibat silang pendapat.
Ada tiga opsi pilihan waktu pelaksanaan event Bau Nyale yang berkembang dalam pertemuan ini. Opsi pertama yakni pada hari Rabu-Kamis, tanggal 15-16 Februari. Kemudian pada Kamis-Jumat, tanggal 16-17 Februari dan opsi terakhir tanggal 17-18 Februari atau Jumat sampai Sabtu.
Silang pendapat muncul, karena masing-masing pemuka adat memiliki dasar perhitungan sendiri-sendiri. Mulai dari penghitung bintang hingga tanda-tanda alam yang terjadi. “Silang  pendapat ini wajar terjadi, karena dasar perhitungan memang berbeda-beda,” ujar Putria.

Namun setelah proses pembahasan lebih detail, akhirnya diputuskan untuk mengambil jalan tengah dengan mengambil pelaksanaan Bau Nyale pada Kamis hingga Jumat atau tanggal 16-17 Februari mendatang. “Hasil ini akan segera kita sampaikan ke Bupati. Supaya bisa ditindaklanjuti dengan penunjukan panitia pelaksana Bau Nyale,” tandasnya.
Nyale Lombok Tengah

Lebih lanjut, Putria menjelaskan, event Bau Nyale tahun ini akan jadi gawe bersama antara Pemkab Loteng, pemerintah provinsi serta pemerintah pusat. Mengingat status event Bau Nyale sebagai event nasional.
Disinggung dukungan anggaran, dari Pemkab Loteng sendiri sudah menyiapkan alokasi anggaran sekitar Rp 400 juta ditambah dukungan dari pemerintah pusat yang informasinya juga sudah menyiapkan anggaran di atas Rp 500 juta. (Munakir Suara NTB)


)
Share:

Tuesday 3 January 2017

Motif Rangrang Sukarara, Tren Busana Modern Masa Kini


Kain motif Rangrang Sukarara Lombok Tengah yang banyak dipesan dari luar daerah. 

Di antara kita pasti pernah melihat kain motif Rangrang ini, karena beberapa tahun belakangan memang sedang menjadi tren di masyarakat. Berbagai macam tas, baju atau perlengkapan lain banyak menggunakan motif ini sebagai bahan utama produknya. Motif Rangrang merupakan motif kain tenun tradisional yang sudah turun-temurun tersimpan di daerah tertentu di bagian Indonesia Tengah.
Menurut Inaq Maryam dan Inaq Sul, penenun kain di Desa Sukarara, motif Rangrang baru booming sejak 5 tahun lalu. “Mulai dari tahun 2011 boomingnya. Rangrang ini asalnya dari Bali,” katanya saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (28/12/2016).
Menurutnya, nama Rangrang berasal dari benangnya yang jaraknya jarang-jarang. “Dalam satu kain, bisa menggunakan 6-7 warna benang dengan berbagai macam motif,” terang Inaq Sul.
Ukuran kain Rangrang yang biasa dibuatnya adalah 2 meter. Rangrang bisa jadi 2 hari, beda dengan kain songket yang bisa sampai 1 bulan. Tetapi kerumitan pembuatan kain motif Rangrang adalah saat menumpuk benangnya itu. “Sampai pusing kita dibuatnya karena terlalu lama menunduk, prosesnya bisa 1 hari hanya untuk itu saja,” akunya.
Salah satu tas yang dibuat menggunakan motif Rangrang khas Sukarara Lombok Tengah. 

Inaq Maryam menambahkan motif-motif Rangrang sendiri ada bermacam-macam, seperti bentuk M, Z, wajik, bianglala, ketupat, enggol (lurus) dan lainnya. “Motifnya sendiri tergantung selera pembeli, kita menyesuaikan dengan pesanan mereka,” terangnya.
Harga kain motif Rangrang diakui Inaq Maryam tidak setinggi harga kain songket. “Modalnya hanya Rp 150 ribu, nanti jualnya Rp 200 ribu tergantung modelnya,” katanya. Beda dengan kain songket yang bisa mencapai Rp 3 juta untuk setiap kain.
Pemasaran untuk kain motif Rangrang, kata Inaq Maryam, dijualnya ke Bali. “Di Bali, mereka pesannya di sini untuk Rangrang dan Songket, jadi siklusnya berputar,” katanya. Tetapi, ia juga mempunyai bos dari Jakarta yang menampung hasil kerjanya. “Biasanya dia pesan sampai 2 karung dengan isi 100 kain. Tetapi pesanannya datang kalau di sana sudah habis dijual,” katanya.
Menurutnya, kain tenun motif Rangrang yang dibuatnya menjadi bahan baku untuk berbagai macam kerajinan. “Kita di sini hanya buat untuk jadi bahan baku, kalau di Jakarta itu dibuat jadi baju atau tas,” katanya. Di galeri yang dimilikinya juga, terdapat kerajinan tangan dengan motif Rangrang seperti tas tangan atau tas-tas kecil yang banyak diminati. (uul/Ekbis NTB)
Share:

Makam Serewa Lombok Tengah, Napak Tilas Datu Kerajaan Pejanggik

 
Makam Serewa Praya Tengah Lombok Tengah
Selain Kerajaan Selaparang yang memiliki daerah kekuasaan cukup luas di Lombok, juga terdapat kerajaan Pejanggik yang berada di daerah Pejanggik, Lombok Tengah. Bukti kerajaan ini pernah berdiri bisa dilihat dari adanya Makam Serewa di Dusun Serewa, Desa Pejanggik, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah. Makam ini berada tepat di samping jalan Praya-Mujur dan berada di sebuah bukit yang dikelilingi rimbunnya pohon kamboja berusia ratusan tahun.
Menurut Inaq Sumiati, penjaga Makam Serewa, saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (28/12/2016) nama Serewa diambil dari Bahasa Sasak. “Serewa itu nama pendeknya Sereok, karena di sini terakhir kali dilihat Datu Pejanggik dulu sebelum menghilang,” terangnya.
Ia menjelaskan, di Makam Serewa tersebut terdapat batu nisan yang ditutup dengan kayu dan kain putih yang menjadi penanda tempat dilihatnya Datu Pejanggik dulu. “Makam yang lain disana itu hanya istri dan pengiringnya saja,” kata Inaq Sumiati yang ditemani anak, menantu dan cucunya saat wawancara.
Sedangkan makam keturunan Datu Pejanggik berada di Kelebuh di tempat yang dikenal dengan Bale Beleq. Total ada 15 makam di tempat tersebut yang disusun bertingkat sesuai pangkat mereka dahulu. Ukuran luas makam juga berbeda antar tingkatan yang menambah cerita sejarah di dalamnya. Ia menuturkan, Makam Serewa sudah menjadi cagar budaya sejak tahun 1992 lalu.
Plang Makam Serewa Praya Tengah Lombok Tengah

Di pelataran makam, terdapat beberapa pohon kamboja yang berdiri kokoh membentengi makam. Ukurannya yang besar seakan menceritakan dirinya yang sudah berumur ratusan seperti umur makam tersebut. “Sering ada yang ingin beli pohon itu, tetapi saya tidak memberikannya. Takut sama yang punya (jin),” ujar. Menurutnya, pohon tersebut dilindungi oleh jin yang bisa mengganggu jika terusik.
Selain makam, terdapat juga sumur kecil yang mungkin berdiameter 20 cm dengan kedalaman hanya 1 meter di dekat makam. “Kadang airnya keluar, kita juga bisa menyentuh dasarnya tetapi tergantung niatnya,” kata Inaq Sumiati. Air di sumur tersebut bisa bertahan bertahun-tahun tanpa adanya lumut dan lebih bersih dibandingkan air mineral. Tidak heran, makam ini selalu didatangi orang-orang untuk berziarah tiap minggunya.
Dalam hal ini, pihaknya mengharapkan perhatian pemerintah terhadap keberadaan makam ini.. “Sebelum bupati yang sekarang, kita dibuatkan berugak serta jalan menuju makam. Sekarang tidak ada perhatian,” katanya.
Memang terlihat jika 3 berugak yang ada kondisinya sudah tidak layak pakai. Ia menambahkan tempat ini hanya diperhatikan saat ada Perang Timbung saja yang diadakan setiap bulan Agustus. (uul/Ekbis NTB)
Share:

Ketua BPPD NTB Affan Ahmad Harapkan Pariwisata NTB Harus Lebih Baik Tahun 2017


 
Ketua BPPD NTB Affan Ahmad
Pariwisata NTB sedang menunjukkan geliatnya. Tiga penghargaan bertaraf internasional yang diraih tahun 2016 setidaknya membuktikan kinerja dari pelaku pariwisata tidak perlu diragukan lagi.  Penghargaan yang diraih pada ajang World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi, Uni Arab Emirate (UEA) adalah, Novotel Lombok Resort & Villas meraih penghargaan  World’s Best Halal Beach Resort.  Sembalun  meraih penghargaan World’s Best Halal Honeymoon Destination. Terakhir, www.wonderfullomboksumbawa.com  meraih penghargaan  World’s Best Halal Tourism Website.

Hal inilah menurut Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB H. Affan Ahmad yang perlu terus dipertahankan. BPPD NTB sebagai salah satu ujung tombak promosi pariwisata NTB akan terus berusaha meningkatkan promosi objek wisata dan potensi yang dimiliki NTB. Pihaknya sadar, jika promosi wisata yang dilakukan selama 2016 masih belum optimal. Hal ini yang akan menjadi pekerjaan rumah di tahun 2017 untuk diperbaiki dan ditingkatkan.
"Tahun 2017, kita tetap akan garap-garap pasar potensial. Promosi akan lebih kita tingkatkan lagi," ujarnya, Rabu (28/12/2016).
Menurutnya, target kunjungan wuisatawan tahun 2017 sebesar 3,5 juta wisatawan menjadikan pihaknya tidak boleh main-main dalam melakukan promosi. Itu artinya, pihaknya harus menjalin kerjasama dengan banyak pihak dan elemen dalam mempromosikan potensi yang dimiliki. Jika ini tidak dilakukan, maka harapan mendatangkan wisatawan sesuai target tidak akan berhasil.
Selain itu, di akhir masa pemerintahan Dr. TGH. M. Zainul Majdi dan H. Muh. Amin, SH, MSi, tahun 2018 mendatang target 4 juta kunjungan wisatawan ke NTB bisa terwujud. Dalam mewujudkan target ini cukup berat, sehingga pelaku pariwisata dan pemerintah harus kreatif dalam membuat event. "Kreativitas event perlu dilakukan agar apa yang kita targetkan bisa tercapai," ujarnya.
Namun, target tidak akan bisa terwujud, jika tidak ada kebersamaan antara elemen pariwisata dan lainnya. "Jika elemen pariwisata tidak memiliki kebersamaan, apa yang diharapkan pak gubernur tidak akan terwujud," ujarnya.
Begitu juga dengan masyarakat yang ada di daerah ini harus tetap menjaga keamanan dan kebersihan. Jika keamanan terganggu, ujarnya, pariwisata NTB akan terganggu. Wisatawan akan takut datang berkunjung dan menikmati potensi yang dimiliki. Untuk itu, ujarnya, masyarakat harus bahu membahu menjaga keamanan dan kondusivitas wilayahnya agar tetap aman dan nyaman dikunjungi.
Hal lain yang perlu diperhatikan, lanjutnya, adalah masalah kebersihan di daerah objek wisata. Wisatawan akan nyaman berkunjung, jika objek wisata kotor dan kumuh akan membuat image wisata NTB menjadi jelek. "Bahkan bisa menjadi promosi negatif bagi wisatawan. Mereka nanti cerita ke teman-temannya, jika kondisi wisata NTB kotor dan membuat image buruk. Untuk itu, kebersihan harus tetap dijaga," sarannya. 
Pada bagian lain, dirinya memberikan apresiasi pada pelaku dan organisasi pariwisata yang ada di NTB yang cepat memberikan respons pada korban banjir Bima. Sejumlah organisasi pariwisata, seperti PHRI, ASSPI, INCCA, HPI dan lainnya langsung mengumpulkan bantuan yang dibutuhkan korban banjir. Kebersamaan seperti ini, ujarnya, harus terus diwujudkan dan dipelihara, sehingga tetap bersatu membangun pariwisata NTB. "Bantuan ini bisa membantu saudara kita yang jadi korban banjir di Bima," ujarnya. (Marham)
Share:

Guide di NTB akan Ditertibkan


PADA dasarnya Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTB enggan menanggapi polemik tentang pemberian balas jasa kepada guide. Sebab perdebatannya tak akan berakhir sampai kapanpun. Menurutnya, lebih baik sama – sama saling menguatkan untuk membangun pariwisata NTB.
Fee guide, menurut Ketua HPI Provinsi NTB, Dr.Ainuddin, SH, MH, adalah gaji yang diberikan perusahaan (travel agent) tempat guide bernaung. Sementara imbalan yang diberikan oleh pemilik art shop (pasar seni) kepada guide disebut komisi.
Di lapangan istilah guide fee berkembang. Yang diidentikan sebagai imbalan pengusaha art shop kepada guide. Bahkan disebut-sebut pemberian itu bisa mencapai 50 persen dari harga penjualan barang kepada dari wisatawan yang dibawa oleh guide.
Ainuddin mempertanyakan mengenai komisi yang diberikan kepada guide sampai 50 persen. Jika ada, HPI mengharapkan ada laporan yang disertai bukti. ‘’Jikau dia anggota HPI, saya gunting lisensinya. Cobalah, tunjukkan kita buktinya,’’ tegas pengacara ini akhir 2016.
Menurutnya, pemberian komosi sampai 50 persen itu, hanya diperdengarkan oleh pengusaha atau pemilik art shop yang jarang dikunjungi oleh rombongan wisatawan yang didampingi oleh guide. Karena menurutnya tidak ada produk yang sangat layak untuk dijual kepada wisatawan. ‘’Lihat Sasaku, Gandrung, Lombok Exotice, dan lain-lain. Tidak ada yang teriak soal komisi. Yang teriak itu orang-orang yang barangnya tidak layak jual, oknum itu,’’ tegasnya.
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia NTB Dr. Ainuddin

Yang ada saat ini sepertinya berat melakukan permainan harga barang. Di tempat-tempat penjualan suvenir masing-masing sudah dicantumkan label harga di setiap produk. Ainuddin mempertanyakan, apakah kemudian harga barangnya bisa diutak-atik untuk menyisihkan komisi kepada guide?
Pemberian komisi kepada guide menurutnya hal mutlak dan berlaku di hampir seluruh negara. Di luar negeri, bahkan guide mendapat komisi dari berbagai jenis. Di daerah-daerah wisata maju seperti Bali juga memberlakukan demikian. Namun tidak ada protes, karena seluruh pihak sepakat untuk membungkus apapun yang bisa berimplikasi membuat wisatawan tidak nyaman. Semua menyatukan suara yang sama.
“Sekarang pertanyaannya, apakah sekarang persoalan ini akan terus – terus di blow up, oleh oknum, lalu oleh media. Lebih baik kita sama-sama berbuat untuk pariwisata kita,” imbuhnya. Mengapa tempat-tempat penjualan tertentu jarang dikunjungi oleh guide. Bisa saja selain karena produknya yang tidak layak, pengusaha-pengusaha di tempat itu justru tak pernah ambil bagian untuk memajukan pariwisata NTB.
‘’Di Sekarbela, pengusahanya teriak-teriak hanya melihat barang dagangannya yang tidak laku. Sementara jarang kita dengar ada gerakannya yang mendukung pariwisata langsung. Lalu apakah kemudian ini menjadi persoalan yang kita panjang lebarkan. Lebih baik ayo sama-sama membangun pariwisata kita,’’ ajaknya.
Guide memiliki peran strategis untuk memajukan pariwisata. Jika guide selalu dipojokkan, kemudian berdampak langsung kepada pariwisata NTB, khawatirnya akan terjadi pengangguran-pengangguran baru. Terkait besaran komisi ini, Ainuddin mengatakan sudah ada komitmen bersama antara guide (berlisensi/legal) dengan pemilik art shop, maksimal 20 persen komisi.
Sementara, Ahyar agak kecewa, guide kerap disebut-sebut bermain fee. Ahyar adalah salah satu guide senior di NTB. ia telah menjadi abdi pramuwisata lebih dari 20 tahun. Ia mengenal betul hampir seluruh sisi pariwisata, bahkan hal-hal paling kecil sekalipun yang berkaitan dengan sektor pariwisata.
Siapa yang tak mengenalnya di hampir seluruh pusat oleh-oleh, pasar seni di Lombok. Ahyar adalah guide freelance, tidak terikat di salah satu perusahaan travel. Karena itulah yang membuatnya sangat tidak asing bagi pemilik-pemilik art shop dan perusahaan travel agent.
Pengurus BPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kota Mataram ini bersama rekan-rekannya bahkan berencana akan meminta klarifikasi kepada media-media yang menulis soal fee guide, seolah-olah guide selalu dipojokkan. Padahal guide memiliki peran strategis dan mendukung suksesnya pariwisata.
‘’Tidak ada itu, bukan. Tidak ada cerita (soal fee guide 40 sampai 50 persen),” kata Ahyar pada Ekbis NTB.
Ia mengklarifikasi pemahaman masyarakat yang selama ini berkembang soal fee guide. Di kalangan guide, uang balas jasa yang diberikan oleh pemilik art shop dibahasakan komisi. Sementara yang disebut fee guide adalah pendapatan/gaji yang diterima dari travel agent tempat masing-masing guide bergantung.
Soal fee guide, tentu tak bisa diintervensi oleh pihak manapun berapa besaran yang diterimanya. Karena hal tersebut adalah kesepakatan internal antara guide dengan perusahaan travel agent yang menjadi tempatnya bernaung.
Selanjutnya soal komisi yang diberikan art shop, tidak tertera dalam kesepakatan manapun besaran yang harus diberikan kepada guide. Hal itu tergantung berapa yang diikhlasnya oleh pemilik art shop. Mungkin hal itu wajar, sebagai bentuk terima kasih pemilik art shop karena guide telah memfasilitasi kunjungan dan belanja wisatawan.
Meski demikian, para guide telah sepakat, bahwa komisi yang diterima jangan lebih dari 20 persen. Umumnya 15 persen yang diterima. Bahkan 10 persen, dari nilai belanja wisatawan yang diantarnya berbelanja.
‘’Untuk baju, biasanya hanya 10 persen. Mutiara antara 15 sampai 20 persen, bahkan kita ambil 15 persen, karena di luar kita ‘’disikat’’. Banyak pedagang-pedagang asongan,’’ jelas Ahyar. Guide menurutnya juga sangat paham, jangan sampai komisi yang diberikan tinggi, justru imbasnya kepada wisatawan. Tentu akan berimbas juga kepada guide sendiri.
Lanjut Ahyar, bahkan ada di antara art shop yang menjanjikan sampai 70 persen untuk memancing guide mengunjungi tempatnya. Tentu tidak rasional komisi sebesar itu. Oleh para guide, biasanya tawaran-tawaran seperti itu jarang diterima. Tetapi pemilik art shop mungkin melakukannya karena art shop yang terhitung baru tentu tidak serta merta laris manis.
Lalu mengapa guide hanya mengarahkan rombongan wisatawan kepada art shop – art shop tertentu? Ahyar mengatakan, banyak pengusaha art shop yang mungkin belum memahami cara membangun komunikasi dengan guide.
Bagi art shop yang sering dikunjungi, biasanya mereka mereka melakukan pendekatan kekeluargaan. ‘’Silaturrahmi diperbanyak dengan guide, kalau guide sakit mungkin dijenguk. Pendekatan kekeluargaan ini yang tidak banyak dilakukan sebenarnya. Bohong besar kalau disebut karena komisi yang diberikan sampai 50 persen, tidak ada itu. Inilah perlunya pendekatan personal (kepada guide) dan pendekatan perusahaan (kepada agent travel),’’ jelas Ahyar.
Semua pihak diminta untuk memahami persoalan ini. sebab pada intinya, suksesnya pariwisata juga akan memberi dampak langsung kepada guide itu sendiri. Pun kepada semua pihak.

Akan Ditertibkan

Mulai bulan Januari 2017 nanti, kegiatan pramuwisata atau guide yang bekerja di seluruh destinasi wisata di NTB akan mulai ditertibkan. Penertiban akan dilakukan oleh tim yang sudah dibentuk oleh Disbudpar NTB bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya. Landasan aturan untuk mengatur pramuwisata ini sudah ada yaitu Perda tentang Pramuwisata, tinggal dilakukan penegakan aturan.
“Saya sudah rapat dengan Ketua HPI ( Himpunan Pramuwisata Indonesia ). Kita akan efektif memberlakukan Perda tentang tentang pramuwisata itu. Ada empat hal yang diatur dalam Perda pramuwisata itu yaitu tentang kualifikasi guide, kode etik, wilayah berpraktik guide itu, serta SDM-nya,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar ) NTB H.Lalu Moh Faozal, S.Sos, M.Si kepada Ekbis NTB.
Faozal mengatakan, langkah awal yang akan dilakukan oleh tim ini adalah melakukan pertemuan antara HPI, Disbudpar, Kejaksaan dan Kepolisian. Setelah dilakukan pertemuan diharapkan akan lahir format tindak lanjut terkait empat hal pokok yang diatur dalam perda pramuwisata itu.
“Praktis nanti begitu kita sudah sepakat,  maka pasti ada konsekwensinya. Misalnya saat dia langgar kode etik maka lisensinya akan dicabut. Saat melakukan kegiatan di luar ketentuan maka kita akan pastikan yustisi penindakan,’’ tegasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB H. L. Moh. Faozal

Faozal menilai, HPI NTB memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan penertiban terhadap praktik pramuwisata. Terlebih HPI telah merumuskan dan mengikuti pembahasan perda pramuwisata dari awal, karena pada dasarnya HPI sangat berkepentingan dengan eksekusi perda tersebut.
Salah satu isu besar dalam penertiban pramuwisata ini adalah masalah fee atau komisi yang diminta oleh oknum pramuwisata saat mengantar tamu berbelanja di toko suvenir. Dari informasi yang diperolehnya, fee yang diminta oleh pramuwisata kepada toko suvenir memang berbeda beda, namun angkanya sekitar 10 hingga 20 persen. Dalam pandangan  Disbudpar, jumlah fee dengan besaran seperti itu dalam hitungan bisnis sudah besar.
Dampaknya terhadap dunia wisata NTB cukup besar. Misalnya berdampak pada kesan yang kurang baik dari wisatawan. Dia melihat persaingan bisnis yang ditimbulkan oleh tindakan oknum pramuwisata yang memberlakukan fee tinggi di toko suvenir menjadi tidak sehat. Di mana outlet yang tidak mampu memberikan fee terhadap pramuwisata, mereka tidak akan dikunjungi. ‘’Itu kan praktik yang tidak baik” katanya.

Hal lain yang menjadi titik perhatian yaitu adanya pramuwisata yang tidak memiliki lisensi atau izin berpraktik dalam bekerja. Disbudpar NTB menerima laporan misalnya beberapa oknum pramuwisata di destinasi wisata Senaru, Tiu Kelep dan sejumlah tempat lain tidak memiliki lisensi. Padahal dalam ketentuan, semua pramuwisata yang beroperasi di NTB harus mengantongi izin secara resmi.(bul/ris/Ekbis NTB)-
Share:

Pariwisata, Komisi Guide dan Persaingan Tak Sehat di NTB

Wisatawan saat melihat pembuatan hasil karya seni di Lombok

Pemberian komisi kepada pemandu wisata atau yang biasa disebut guide fee yang diterapkan para oknum guide dalam membawa tamunya ke galery atau art shop, telah dikeluhkan lama para perajin termasuk pemilik art shop. Pemberian fee yang dinilai melampaui batas kewajaran itu, tidak saja memicu persaingan usaha yang tak sehat. Namun lebi dari itu, guide fee yang melebihi batas kewajaran juga merusak citra pariwisata.
SEPERTI dikeluhkan Inaq Maryam, pemilik Arts Hop Bintang Remawa, di Desa Sukarara, Lombok Tengah (Loteng). Ia menuturkan, permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata telah menyulitkannya. Karena itu, ia bahkan sudah memutuskan sudah tidak mau lagi bekerja sama dengan para travel karena pengalaman tidak mengenakkan yang didapatkannya dari permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata.
‘’Pernah saya kerjasama dengan travel, tetapi kebanyakan tamu yang mereka bawa tidak banyak yang belanja,’’ terangnya saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (28/12/2016). Inaq Maryam menceritakan, ia membuat kontrak sebesar Rp 10 juta per tahun tetapi pendapatan yang didapatnya tidak sesuai atau banyak ruginya.
‘’Belum kita kasi selendang buat tamu yang baru datang, terus kasi makan sopirnya disini ditambah kita yang bayarin dia parkir,’’ katanya. Harga jual kain yang diproduksinya juga menjadi lebih tinggi karena ditambah dengan bayar fee untuk guide. ‘’Kalau misalnya harga songket kita jual Rp 3 juta, tetapi di art shop bisa sampai Rp 9-10 juta,’’jelasnya. Oleh karena itu, ia lebih suka menjual langsung atau ke pengepul dalam skala besar. ‘’Lebih enak yang seperti itu,karena tidak ada teman berbagi keuntungan. Jadi berapa-berapa kita dapat kita yang punya,’’ katanya.
Para penjual kerajinan di Pasar Seni Sesela, Lombok Barat (Lobar), juga mengeluhkan hal serupa. Tetapi, besaran fee guide yang mereka bayarkan sesuai dengan kemampuan mereka. ‘’Kalau guide fee besarnya 20 persen dari total penjualan, kecuali kalau yang dari pesiar fee-nya 25 persen,’’ tukas Iwan Sastrawan, Ketua Pasar Seni Sesela saat ditemui Jumat (30/12/2016). Dengan adanya komisi untuk pemandu wisata,  diakuinya berpengaruh terhadap kunjungan tamu ke pasar seni dan berpengaruh terhadap hasil penjualan.  
Wisatawan mancanegara melihat secara langsung proses pembuatan kerajinan khas NTB

Walaupun sudah bekerjasama dengan tour dan travel, akses pasar yang jauh dari keramaian serta persaingan dengan toko oleh-oleh yang menjamur menjadi masalah tersendiri bagi pedagang di Pasar Seni Sesela. ‘’Kita selalu jadi pilihan terakhir buat mereka saat membawa tamu. Tamunya sudah diajak belanja di tempat lain baru diajak ke sini,’’ kata Iwan. Karena tempat lain berani memberikan fee yang lebih tinggi.
‘’Contohnya di Sukarara, mereka berani memberi fee sampai lebih dari 30 persen karena takut nanti tidak ada tamu yang berkunjung ke tempat mereka. Makanya Sukarara selalu jadi prioritas kunjungan tamu (wisatawan),’’ jelasnya.
Padahal, kata Iwan, sentra produksi kerajinan (tenun) tidak hanya di Sukarara saja tetapi banyak tempat di Lombok. ‘’Seharusnya tamu diajak ke sentra produksi, sehingga bisa memberdayakan hasil kerajinan masyarakat,’’ jelasnya. Tetapi, karena ada oknum guide yang berpikiran materialistis, maka hal tersebut sulit dilakukan.
Iwan menjelaskan HPI, dinas terkait serta travel harus melebur dan bersinergi menjadi satu. "Perhotelan, pengusaha oleh-oleh serta guide itu satu kesatuan, tetapi dalam kenyataannya tidak nyambung,’’ katanya. Pemberian komisi yang berbeda juga sulit ditertibkan oleh dinas terkait karena tidak adanya tindak tegas untuk para pelakunya.
Jika  ingin pariwisata di Lombok (NTB) seperti di Bali, kata Iwan, maka semua elemen di dalamnya harus sejalan. Misalnya dengan pemberian komisi yang sama. ‘’Tetapi itu sudah, guide-nya maunya komisi tinggi, jadi tamunya dibawa ketempat yang kasi dia komisi tinggi,’’ katanya dengan nada kecewa. Padahal jika hal itu terus terjadi, akan membawa dampak buruk bagi pengusaha kerajinan yang bisa gulung tikar karena tidak adanya pendapatan.
Hasil karya seni yang dipajang di Pasar Sesela Lombok Barat

Ke depannya, Iwan menginginkan HPI, dinas terkait khususnya pariwisata serta UKM duduk bersama membicarakan masalah tersebut. ‘’Jangan sampai target yang sudah ditetapkan sia-sia, karena mereka tidak mau datang kembali ke sini karena merasa tertipu,’’ tukasnya.
Tidak saja di industri kerajinan tenun, perajin dan pemilik  art shop emas dan mutiara juga sangat familiar dengan istilah guide fee. Apapun bahasanya,  polemik besaran tarif yang kabarnya diberikan kepada guide sebagai tanda balas jasa, secara tidak langsung telah memicu iklim persaingan yang tidak sehat. Tidak saja memicu persaingan tak sehat. Guide fee juga bisa merusak citra pariwisata.
ITULAH yang dirasakan para pemilik toko emas perak mutiara di Sekarbela, Kota Mataram. Keresahan dari pemberian komisi kepada pemandu wisata ini, membuat para pemilik toko emas dan mutiara di sana harus berbuat sesuatu. Mereka sepakat membentuk  Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok, NTB. Ketuanya ditunjuk H. Fauzi. Sebelumnya sebenarnya sudah terbentuk Forum Komunikasi Perajin Mutiara Emas dan Perak (FKP-MEP) Kota Mataram, dengan ketua yang sama.
Persatuan yang baru terbentuk tersebut, dalam waktu dekat akan segera dikukuhkan. Salah satu program yang telah disusun adalah menertibkan besaran guide fee. ‘’Program jangka pendek sudah kami buat,’’ kata H. Fauzi kepada Ekbis NTB.
Ia membenarkan bahwa ada pemberian komisi kepada guide hingga sebesar 40 persen di sentra-sentra pedagang mutiara di Kota Mataram seperti di wilayah Pagutan dan Karang Genteng. Sementara di Sekarbela, para pemilik toko hanya memberikan hingga 5 persen, bahkan ada tidak sama sekali. Karena itulah, kunjungan wisatawan dianggap tak begitu banyak ke Sekarbela. Ia menduga, kalaupun ada wisatawan yang berkunjung, bisa jadi karena dipaksa travel agentnya untuk mengantarkan. Sehingga tidak ada alasan bagi para guide untuk tidak mengantar wisatawan ke sentra perajin mutiara tertua di Lombok ini.
‘’Kami kasi 5 persen, kadang tidak sama sekali kepada guide. Di tempat lain, bahkan ada ditawarkan fee sampai 50 persen. Tapi tamu banyak yang meminta datang ke Sekarbela,’’ kata pemilik salah satu toko kerajinan emas perak dan mutiara terbesar di Sekarbela ini.
‘’Awalnya pemberian fee tinggi dimulai dari Sukarara,’’ katanya. Karena itulah, sampai saat ini terjadi iklim usaha yang tidak sehat antarperajin kerajinan lokal. Ada lomba memberikan fee paling besar, yang justru dampaknya merugikan wisatawan. Sebab dengan pemberian fee besar kepada guide, otomatis harga jual barang yang disiasati menjadi jauh lebih mahal.
Kekhawatirannya, persaingan usaha yang tidak sehat ini  akan dikeluhkan wisatawan dan berdampak besar pada pariwisata NTB. Jika persoalan ini diabaikan, maka bisa berimbas pada citra pariwisata yang buruk. Soal besaran fee guide ini, kata H. Fauzi, sudah sejak lama dibahas, antara pemerintah daerah, ASITA dan HPI. Namun hingga saat ini tidak ada realisasi dari hasil pembahasan tersebut.
Karena itulah, Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok yang telah terbentuk, akan mengajak semua pihak yang terkait dengan persoalan ini untuk duduk bersama kembali. Membahas berapa fee yang ideal dan dapat diberlakukan secara menyeluruh.
Selanjutnya hasil kesepakatan dapat dituangkan dalam surat edaran pemerintah daerah. Dengan adanya kesepakatan yang dibuat dalam surat edaran ini, akan menjadi acuan atau patokan pemerian  komisi kepada para pemandu wisata. Jika ternyata ada yang memberikan komisi lebih tinggi. Atau mungkin pemandu meminta komisi lebih besar dari kesepakatan, dalam aturan atau surat edaran itu juga bisa dibuat ketentuan sanksi. ‘’Ada sanksi kepada guide, kepada art shop sendiri yang melanggar kesepakatan.’’
“Pengusaha mengatakan, kalau tidak memberikan fee, tidak didatangi rombongan wisatawan. Sementara guide mengatakan tidak pernah meminta fee kepada pengusaha. Jika tidak ada kesepakatan, ini akan menjadi perdebatan terus menerus, ‘’ demikian H. Fauzi. (uul/Bul/Ekbis NTB)
Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive