Be Your Inspiration

Monday 13 March 2017

Gasing Tradisional Lombok yang Harganya Capai Rp 800 Ribu

Gasing Lombok yang menembus harga Rp 800 ribu

PERMAINAN tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu merupakan salah satu warisan yang tetap lestari. Salah satunya adalah permainan gasing tradisional yang tetap diminati banyak orang. Gasing zaman dulu terbuat dari kayu dan berukuran kecil, tetapi kemudian mengalami modifikasi menjadi bentuk yang lebih besar dan lebih kuat.

Menurut Saminah, pembuat gasing tradisional di Dusun Kumbang, Desa Bangket Daya, Masbagik, Lombok Timur, permainan gasing biasanya ada 2 bentuk. “Ada gasing yang digunakan untuk bertanding saja dengan melihat lamanya gasing berputar dan yang digunakan untuk mengadu,” katanya saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (8/3/2017). Tidak heran bentuk dan model gasing yang dibuatnya berbeda tergantung dari tujuan penggunaan.

“Yang beda itu hanya di otaknya saja. Kalau yang diadu lebih kecil otaknya,” terang Saminah sambil memperlihatkan perbedaan gasing.

Gasing tradisional ini terbuat dari besi dan kayu asem yang lebih kuat dari kayu lainnya. “Beli kayunya sampai Sumbawa, soalnya di sini sudah jarang. Jadi saat belinya, sudah dipotong sesuai ukuran yang diinginkan, satu potong kayu jadi satu gasing,” katanya. Pembuatan gasing dilakukan dengan menggunakan cetakan sesuai ukuran yang diinginkan.

Ada beberapa ukuran gasing yang dibuat di bengkel kerjanya. “Ukurannya di sini mulai dari 10 – 23 cm,tetapi yang paling laku ukuran 18 – 23 cm,” terangnya.

Ia menjelaskan, ukuran gasing ada yang sampai 28 cm. Namun, jarang dibuat. ‘’Yang paling besar itu ukuran 25 cm,” tukasnya.

Permainan gasing sendiri menggunakan tali yang berukuran agak besar untuk memainkannya. “Gasingnya ini bisa berputar lama. Makanya ada lomba tandingnya,” katanya.
Saminah pembuat gasing di Dusun Kumbang Desa Bangket Daye Masbagik Lombok Timur 

Dalam sehari, Saminah bisa membuat 20 buah gasing. “Di sini buatnya sesuai orderan, sampai tidak bisa stok barang saking banyaknya pesanan,” katanya.

Ia mematok harga gasing sesuai ukuran yang dipesan. “Harga tergantung dari lingkarnya. Kalau ukuran 13 cm harganya Rp 75 ribu, sedangkan yang ukuran 23 cm harganya Rp 700 – 800 ribu,” jelasnya. Ia mengatakan, gasing buatannya ini bisa bertahan selama 1 tahun.

Konsumen gasing tradisional ini sendiri datang dari seluruh penjuru Pulau Lombok. Bahkan sampai Sumbawa. Apalagi dengan sering diadakannya perlombaan gasing baik tingkat desa membuatnya sering kebanjiran order gasing. “Kebanyakan yang pesan itu pemuda dan bapak-bapak yang suka main,” terangnya. (uul/Ekbis NTB)
Share:

Tungku Tanah Liat Khas Masbagik Lombok Timur Bertahan di Era Modern

Inaq Aris di Lombok Timur sedang membuat tungku dari tanah liat. 
BEBERAPA tahun lalu, peralatan rumah tangga terbuat dari tanah liat yang mudah ditemukan di mana saja. Seiring perkembangan zaman peralatan rumah tangga dari tanah liat mulai ditinggalkan karena kalah saing dengan peralatan modern yang lebih praktis. Lantas bagaimana nasib peralatan masak tradisional sekarang ini?

Sebut saja, setelah pemerintah melakukan konversi dari bahan bakar minyak tanah ke elpiji, penggunaan alat masak tradisional tidak banyak digunakan lagi. Bahkan, penggunaan kompor juga jarang kita temukan. Jika dulu banyak warung, usaha-usaha kecil hingga kalangan rumah tangga menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah, kini semakin jarang ditemukan, khususnya di kota-kota besar.

Meski demikian, di pedesaan, alat masak tradisional masih digunakan. Misalnya, penggunaan tungku tanah liat. Harus diakui, penggunaan tungku tanah liat untuk memasak masih banyak ditemukan. Bahkan, perajin tungku tanah liat masih terus berproduksi, meski dalam jumlah yang tidak besar.

Inaq Aris, salah satu perajin tungku tanah liat di Dusun Lantan, Desa Masbagik Timur, Lombok Timur, mengaku, tungku tanah liat masih banyak diminati. Alasan masih banyaknya masyarakat menggunakan tungku tanah liar, karena rasa masakan yang dihasilkan.

“Beda rasanya yang dimasak dengan tungku dengan tungku tanah liat. Jadi orang-orang lebih pilih pakai ini, juga karena banyak tersedia kayu yang sayang jika tidak dimanfaatkan,” terangnya pada Ekbis NTB, Rabu (8/3/2017).
Jejeran tungku tanah liat yang dibuat di Dusun Lantan Desa Masbagik Timur Lombok Timur.
Selain itu, dalam acara-acara pesta atau hajatan pernikahan tungku lebih banyak digunakan karena bisa memasak lebih cepat dan praktis. Terlebih, kayu yang dipergunakan untuk memasak banyak tersedia di tengah masyarakat.

Diakuinya, dalam sehari, Inaq Aris bisa membuat 25 tungku tanah liat. Proses pembuatannya bisa memakan waktu 2 hari. 1 hari untuk buat dan 1 harinya untuk dihaluskan, dijemur dan dibakar,” tukasnya. Tungku tanah liat memiliki berbagai model, tapi yang paling umum dikenal yaitu 1 tungku dan 2 tungku.

“Ada yang namanya tungku sampak, karena sudah ada sampaknya, jangkih jembatan karena ada jembatannya, tungku bongkang yang polos, dan tungku belo,” jelasnya.

Harga tungku tanah liat sendiri bervariasi, tergantung model yang dipilih. Kalau yang 1 tungku harganya Rp 10 -15 ribu. Sedangkan yang dua tungku harganya Rp 25-30 ribu. Tungku buatan ini dijual kepala rumah tangga ke pasar atau keliling kampung untuk menawarkannya. “Tungku ini bisa bertahan lama tergantung pemakaian penggunanya soalnya semakin lama semakin kuat dia,” jelasnya.

Hasil dari membuat tungku ini, diakuinya, mampu menghidupi kehidupannya sehari-hari. "Hasilnya dipakai untuk menyekolahkan kedua anak saya. Sampai anak saya tamat SMA dari uang buat ini," terangnya. (uul/Ekbis NTB)
Share:

Tuesday 7 March 2017

Mengenal Setanggor, Desa Wisata Halal di Lombok Tengah

Areal persawahan di Desa Setanggor Praya Barat Lombok Tengah yang dijual pada wisatawan

Wisata halal beberapa waktu terakhir ini sekarang ini menjadi tren di Indonesia. Termasuk di NTB. Keberadaan wisata halal ini diharapkan mampu mendatangkan wisatawan asal Timur Tengah atau mayoritas beragama Islam. Adanya program wisata halal ini menjadi inspirasi banyak pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa mengembangkan wisata halal.

Salah satu contohnya, adalah Desa Setanggor Kecamatan Praya Barat Lombok Tengah (Loteng). Sejak akhir 2016, Pemerintah Desa Setanggor mulai mengembangkan desa wisata halal atau halal tourism village.

Menurut H. Sirajudin, Sekretaris Kelompok Sadar Wisat (Pokdarwis) Sekarteja Mertakmi Desa Setanggor, pengembangan wisata di desa ini lebih kepada wisata seni budaya. “Kita mengembangkan potensi yang ada di sini, apalagi tren sekarang di mana turis cenderung ke seni budaya tradisional,” terangnya saat ditemui Selasa, (28/2/2017).

Diakuinya, saat pertama kali akan dibentuk, masyarakat merasa pesimis, karena tidak ada yang bisa ‘dijual’ untuk wisata. “Karena mereka pikirnya kalau tempat wisata itu kalau ndak pantai ya air terjun gitu,” jelasnya.
Kesenian khas Lombok yang disajikan pada wisatawan saat berkunjung ke Desa Wisata Halal Setanggor Lombok Tengah

Tetapi, atas inisiatif seorang warga yang meyakinkan warga sana untuk membentuk desa wisata, barulah keinginan tersebut terpenuhi. “Di sini yang dibenahi untuk desa wisatanya hanya masalah kebersihan, sama sanggar seninya untuk mempertunjukkan kesenian di sini. Selebihnya kita biarkan bagaimana bentuknya,”kata Sirajudin. Pengurus untuk desa wisata ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari Pokdarwis sendiri.

Setiap wisatawan yang datang berkunjung, kata Sirajudin, akan dipakaikan kain serta lambung untuk perempuan. “Sehingga kata halal tourism village itu bisa diterapkan,” katanya.

Setelah itu, wisatawan akan dibawa ke sanggar seni untuk disuguhkan berbagai kesenian tradisional yang dibawakan oleh anak-anak dan remaja Desa Setanggor. “Keseniannya mulai dari gendang beleq, ngelawas, sampai tari-tarian,” jelasnya.

Ada 7 jenis wisata yang ditawarkan di Desa Wisata Setanggor ini, mulai dari wisata religi sampai wisata agro. Wisata religi itu kegiatannya mengaji di tengah sawah. Kalau wisata ritual dengan mengadakan ziarah ke Makam Mertakmi yang merupakan makam keramat. Di sana ada disediakan rumah pohon bagi yang suka foto-foto. Kemudian ada wisata seni budaya di sanggar itu, lalu wisata tenun dengan melihat proses menenun.

‘’Ada juga wisata kebun dimana para wisatawan dapat memetik ubi di kebun lalu makan siang di tengah sawah. Wisata agro itu pengunjung diajak ke kebun buah naga, sedangkan wisata terakhir yaitu permainan anak tradisional sama pepausan huruf Sasak,” terang Sirajudin.

Dari semua wisata tersebut, yang paling banyak diminati adalah sanggar seni, makan di tengah sawah serta wisata religi. “Bahkan ada turis yang tidak mau pulang karena merasa betah di sini walau sudah berkali-kali dipanggil sama tour guide-nya,” kata Sirajudin.

Harga untuk berwisata di tempat ini sendiri, disediakan dalam bentuk paket 2, 4 dan 1 hari. “Paket 2 jam itu harganya Rp 175 ribu/orang, paket 4 jam Rp 250 ribu/orang, dan 1 hari Rp 350 ribu/orang,” terangnya. Tetapi, para wisatawan lebih banyak yang memilih paket 4 jam, karena dapat mengunjungi semua lokasi.

Promosi yang dilakukan dalam menggaet wisatawan, kata Sirajudin, dilakukan melalui brosur, sosial media serta kerjasama dengan travel. “Setiap hari di sini selalu ada saja yang datang berkunjung walau belum banyak. Kita punya target agar masuk dalam paket segitiga S (Sukarara, Setanggor dan Sade), sehingga wisatawan tambah ramai ke sini,” terangnya. untuk itu, ia mengharapkan dukungan dari pemerintah daerah agar desa wisata ini bisa lebih dikenal oleh kalangan wisatawan. (Uul/Ekbis NTB)
Share:

Makam Bintaro, Makam Habib Husen bin Umar Mashur di Kota Mataram

Makam Bintaro di Kota Mataram NTB

PENYEBARAN agama Islam di NTB, khususnya Lombok telah dilakukan sejak dahulu. Tetapi, dalam implementasinya ajarannya masih belum sempurna, karena masih tercampur dengan tradisi yang ada.

Makam Bintaro yang berada di Jalan Saleh Sungkar, Bintaro, Ampenan, Mataram, merupakan makam para Habib yang datang untuk menyempurnakan ajaran Islam di Lombok. Dari papan informasi yang dipasang Pemkot Mataram, jika Makam Bintaro merupakan makam dari Habib Husen Bin Umar Mashur, Syarifah Zahra Al Habsy, dan Syech Abdullah Al Badawi yang meninggal tahun 1880.  Ketiganya merupakan para habib yang berasal dari Yaman Selatan  yang datang tahun 1865 dan menetap di lingkungan Telaga Mas Kampung Arab Ampenan.

Nurrahman, penjaga Makam Bintaro, menuturkan jika Habib Husen Bin Umar Mashur dan Syarifah Zahra Al Habsy merupakan pasangan suami istri. “Jadi makamnya berderet begitu, sedangkan makam Syech Abdullah Al Badawi sendiri dia,” terangnya saat ditemui Ekbis NTB, Jumat (3/3/2017).

Makam para habib ini berada di sebuah bangunan di mana makam ketiganya dibuat paling besar dan diberi kain penutup. Juga terdapat belasan makam lainnya di dalam makam tersebut. “Kalau yang itu makamnya tidak ada namanya,” jelas Nurrahman.


Selain makam para Habib, di Makam Bintaro juga terdapat makam Saleh Sungkar yang berada di selatan bangunan makam Habib. Makamnya diberi penutup kain putih dan dibuat agak tinggi dibanding makam sebelahnya.

Nurrahman menjelaskan Saleh Sungkar dulunya merupakan Datu Ampenan yang terkenal dengan kepintarannya. “Tetapi ada temannya yang iri sama dia, jadi Saleh Sungkar dibunuh sama temannya itu. Tidak salah dia dibunuh di sekitaran Narmada dulu,” katanya. Makam Saleh Sungkar bertahun tahun 1952. “Di sebelah kirinya ini makam istrinya Saleh Sungkar. Kalau keturunannya di luar Lombok saja tempatnya,” terangnya.

Makam Bintaro ini, kata Nurrahman, bisa dikunjungi setiap harinya. “Tetapi paling ramai setiap hari minggu. Pengunjungnya datang dari seluruh Lombok,” katanya. Makam ini juga biasanya dikunjungi oleh calon jamaah haji yang sebelum berangkat akan berziarah ke makam ini. Fasilitas makam Bintaro ini sendiri cukup bagus, karena tersedia tempat parkir yang luas dan posisinya yang berada di samping jalan utama Senggigi memberikan kemudahan akses bagi pengunjung. Di sini juga tersedia lapak pedagang yang sudah disediakan oleh Pemkot Mataram, sehingga pengunjung bisa membeli kebutuhannya. (uul/Ekbis NTB)
Share:

Subahnala, Motif Tenun Sukarara yang Banyak Dicari Wisatawan

H. Suradi dengan motif kain tenun subahnala yang lebih banyak dicari wisatawan luar daerah dan mancanegara. 


KAIN tenun Sukarara Kecamatan Jonggat Lombok Tengah banyak memiliki motif. Tiap motif memiliki pangsa pasar dan penggemar sendiri. Seperti motif kain rangrang, subahnala, wayang, keket, ragi genep dan lainnya.

Misalnya, motif rangrang yang banyak dicari para perancang busana, baik lokal hingga nasional. Motif ini banyak dicari, karena membuat orang memakainya menjadi percaya diri atau lebih cantik.
Begitu juga dengan motif subahnala. Peminat kain motif tradisional ini sendiri lebih banyak wisatawan luar daerah dan luar negeri. “Kalau di sini, karena mereka bisa buat sama pakainya juga hanya saat hari-hari tertentu saja,” jelas H. Suradi – pemilik Bilal Al Fariz Artshop pada Ekbis NTB di Sukarara Jonggat, Minggu (5/3/2017).

Menurutnya, turis asing banyak yang lebih menyukai motif tradisional karena keunikannya. “Mereka biasanya lebih menyukai yang motif tradisional karena suka yang berbau tradisional dari daerah yang dikunjungi,” tukasnya

Motif Subahnala tenunan khas Sukarara Lombok Tengah

Diakuinya, tenun awalnya hanya terdiri dari 25 motif tradisional. Namun, sekarang ini, motifnya sudah ratusan, dari yang tradisional sampai yang modern. Motif tradisional mulai dari motif subahnala, wayang, keket, ragi genep, dan lainnya, sedang yang motif modern seperti rangrang.

Motif tradisional, tambahnya, memiliki arti di balik namanya. ‘’Dinamakan subahnala, karena saat penenunnya merasa capek menenun 24 jam, ia menjadi sulit untuk melafazkan kata subhanallah, sehingga terdengar seperti kata subahnala. Kemudian motif wayang itu timbul setelah para penenun habis nonton pagelaran wayang dan membayangkan bentuknya,” kata Suradi. Tetapi, dari berbagai motif tradisional yang ada yang paling banyak digunakan adalah motif subahnala.

Salah satu kain tenun dengan motif Subahnala di Sukarara Lombok Tengah

Selain itu, tambahnya, di Lombok Tengah, di setiap tiang jalan di Praya dilukis motif subahnala, karena itu merupakan motif paling tua. Selain itu, dalam acara-acara besar motif ini banyak digunakan oleh masyarakat. “Subahnala itu terdiri dari subahnala beleq dan rincik (kecil),” tukasnya.

Pembuatannya sendiri terdiri dari 2 jenis benang yang berbeda. “Pakan itu tergantung dari kreasi penenun dalam mengkombinasikan warna. Tetapi warna kain motif subahnala itu merah, hitam, hijau,serta kadang-kadang emas,” jelasnya.

Kain motif tradisional biasanya agak berat serta terdiri dari berbagai macam warna dalam satu kain. “Kalau motif yang rumit membutuhkan banyak bambu sampai 100 buah yang membuatnya harganya berkisar 1 jutaan,” kata Suradi. Tidak heran, kain motif tradisional seperti subahnala berharga mahal. Untuk subahnala beleq dihargai Rp 700 ribu– 1,5 juta/kain, sedangkan untuk subahnala rincik harganya berkisar Rp 500 – 600 ribu/kain. “Harganya tergantung dari motif, desain serta kualitas bahannya,” kata Suradi. (uul/Ekbis NTB)


Share:

Monday 27 February 2017

Makam Nyatoq, Makam yang hanya Boleh Diziarahi Hari Rabu dan Hari Besar Islam

Makam Nyatoq Rembitan Pujut Lombok Tengah

Penyebaran agama Islam di Lombok tidak terlepas dari adanya para wali atau sunan yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Di Lombok, kiprah para wali ini bisa dilihat dari adanya peninggalan berupa makam atau masjid yang masih terawat sampai sekarang. Salah satunya adalah makam Wali Nyatoq yang berada di Desa Rambitan, Pujut, Lombok Tengah.

Menurut Amaq Tibe dan Wirajaya, selaku penjaga makam Wali Nyatoq, kata nyatoq berarti nyata. "Makam Nyatuq ini makam paling pertama di Lombok dan satu-satunya makam wali Allah di Lombok,’’ tuturnya pada Ekbis NTB, Rabu (8/2/2017).

Amaq Tibe menjelaskan makam Wali Nyatoq ini terdiri dari dua bagian di lahan seluas 80 are. "Yang utama ada 2, tetapi makam pengiringnya ada 44 orang," jelasnya.

Makam wali Nyatuk ini sendiri hanya diperbolehkan diziarahi hanya pada hari Rabu dan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. "Kunjungan hari Rabu itu diadakan, karena sebelum meninggal, sang wali berpesan seperti itu agar dikunjungi hari Rabu," kata Wirajaya.

Makam ini sendiri masih mempertahankan bentuk aslinya dilihat dari tidak adanya bangunan modern di sekitar makam, kecuali di luar areal makam.
Peziarah sedang berdoa di Makam Nyatoq Rembitan Lombok Tengah

Memasuki makam utama, para pengunjung harus menaati aturan yang berlaku, seperti mengucap salam dan membuka alas kaki. ‘’Selain itu, saat masuk para pengunjung juga dianjurkan untuk membasuh muka dan kaki serta disembek saat keluar. Airnya untuk membasuh muka dan kaki itu beda, kalau yang muka airnya diambil di Gerepek dan untuk kaki diambil dari Bakal," jelas Amaq Tibe.

Di depan makam, terdapat sebuah sumur kering yang tidak terlalu dalam. "Walau tidak dalam, kadang-kadang ada airnya tetapi tergantung rezeki," jelas Wirajaya. Selain itu, juga terdapat 2 berugak yang dinamakan berugak bini dan laki karena fungsinya. "Berugak bini untuk perempuan dan berugak laki yang lebih besar diperuntukkan untuk laki-laki," jelasnya.

Pengunjung makam ini sendiri datang dari seluruh penjuru nusantara bahkan luar negeri. Pemerintah daerah juga memberikan perhatian besar terhadap situs bersejarah ini degan membangun berbagai fasilitas umum. "Pemerintah daerah sebenarnya ingin memugar makam ini, tetapi ditolak oleh masyarakat, karena ingin tetap alami seperti aslinya," kata Wirajaya. (uul/Ekbis NTB)
Share:

Friday 24 February 2017

April 2017, Dinas Pariwisata NTB akan Gelar Tour de Mandalika

Pantai Kuta Mandalika (Dokumentasi Novotel Loteng)


Berbagai program diseleggarakan Dinas Pariwisata Provinsi NTB untuk mendatangkan sebanyak-banyaknya wisatawan. Setelah sukses dengan Pesona Bau Nyale, akan diselenggarakan pula Tour de Mandalika pada April mendatang. Rencananya akan diundang atlet-atlet sepeda dari berbagai negara. Selain itu juga akan ada berbagai kegiatan yang akan meramaikan event tersebut.

“Nanti kita akan undang dari negara lain juga, kita juga akan membuka pendaftaran bagi siapa saja yang mau ikut. Nanti akan ada banyak wisatawan yang akan mengikuti kegiatan ini,” kata Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Provinsi NTB Dra. Hartati, MM kepada  di Mataram, Rabu (22/2/2017).

Ia mengatakan bahwa ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan di NTB. Sehingga sejumlah persiapan akan dilakukan dengan lebih baik. Sebab akan mendatangkan banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Sehingga dapat sekaligus menjadi ajang promosi sejumlah destinasi wisata. Baik yang ada di kawasan Mandalika maupun wisata NTB pada umumnya.

“Ini merupakan kesempatan kita untuk mempromosikan potensi wisata di Mandalika yang menjadi salah satu destinasi prioritas di Indonesia. Untuk Tour De Mandalika ini masih disusun program dan rancangan kegiatannya,” ujarnya.

Saat ini Dispar NTB tengah gencar melakukan promosi pariwisata. Pasalnya target kunjungan wisatawan selama 2017 meningkat dari tahun sebelumnya, menjadi 3,5 juta wisatawan. Dispar melihat program Tour de Mandalika ini bisa menjadi salah satu moment untuk mendatangkan sebanyak-banyaknya wisatawan.

Rencananya program ini akan selenggarakan pada pertengahan April. Sehingga wisatawan bisa merencanakan liburannya sekaligus ikut serta dalam Festival Pesona Tambora.

“Itu dekat waktunya dengan FPT, kita berharap tamu yang datang juga bisa sekalian ikut FPT. Kita konsentrasi di keduanya, tapi kita akan lebih konsentrasi pada kegiatan yang lebih dulu diselenggarakan. Semoga bisa mendatangkan banyak wisatawan,” ujarnya.

Tour de Mandalika bukan kegiatan pertama yang diselenggarakan di kawasan Mandalika. Sebelumnya juga telah diadakan Festival Bau Nyale yang diikuti oleh ribuan wisatawan dan warga. (Lingga)


Share:

Tuesday 21 February 2017

Pantai Selong Belanak, Pantai Favorit Penjaga Gawang Juventus Emil Audero Mulyadi

Nelayan Selong Belanak sedang mengambil ikan dari jaring nelayan. Pantai Selong Belanak merupakan favorit kunjungan penjaga gawang Juventus Emil Audero Mulyadi.

Emil Audero Mulyadi -- penjaga gawang Juventus kembali akan berlibur ke Lombok bulan Juni 2017. Emil datang ke Lombok karena rindu dengan ayahnya, Edy Mulyadi di Praya Lombok Tengah. Selain itu Emil juga sangat senang berlibur di Lombok karena keindahan wisata di Lombok. Salah satu tempat wisata yang disukai Emil kata Budi Utami adalah Pantai Selong Belanak.

"Emil senang berlama-lama liburan di Selong Belanak karena ada tempat surfing-nya," kenang Budi.
Sementara itu rumah yang ditempati orang tua Emil di Praya  saat ini merupakan peninggalan Kakek Emil, H. Halifah Amin (Almarhum) dan nenek Emil bernama Hj. Baiq Arini. Almarhum H. Halifah Amin merupakan saudara kandung dari  H. Usman Paradiso, pemilik Hotel Paradiso yang berlokasi di Kota Mataram.

Almarhum H. Halifah memiliki delapan anak, dari delapan anaknya (tiga) meninggal. Dan kini sisa lima saudara. Sementara Ayah Emil yang bernama Edy Mulyadi anak ketujuh, sedangkan Budi Utami merupakan anak keenam atau kakak kandung ayah Edy Mulyadi.

Edy yang pernah  bekerja di salah satu hotel di Selong Belanak menikah dengan Antonella Audero tahun 1992. Buah cinta Edy dan Antonella melahirkan seorang putra yakni Emil Audero Mulyadi. Saat ini Edy Mulyadi menetap di Loteng, sementara Emil dan Ibunya, Antonella tinggal di Italia.  (Afandi)
Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive