Kondisi warung yang berada di depan ritel modern di Batulayar Lombok Barat. Banyak warung di sekitar ritel modern merasakan dampak dari keberadaan ritel modern. |
BADAN Pusat Statistik (BPS) mengungkap persoalan ekonomi
kerakyatan di desa di dalam keterancaman. Menjamurnya minimarket memicu
tergerusnya wirausaha kecil. Minimarket, atau lumrah disebut ritel modern dalam
beberapa tahun terakhir masuk ke NTB. mula-mula, keberadaannya hanya dijumpai
di kota-kota. Pelan tapi pasti, jumlahnya kian banyak. Dan menggerogoti ceruk
pasar hingga ke desa-desa.
TENTU ia tak masuk begitu saja. ada campur tangan pemerintah
daerah hingga minimarket dengan jaringan ritel yang menggurita ini tiba-tiba
saja jumlahnya terus membengkak. Dan seolah tak lagi kenal tempat. Asal ada
peluang, ritel-ritel modern terus merangsek.
Sangat tak bisa dibayangkan makin terjepitnya
pedagang-pedagang kecil. Ritel modern ini secara terbuka dipertemukan pada
medan tarung head to head dengan
pedagang-pedagang kecil. Bagaimana mungkin? Jaringan bisnis dengan pemodal
raksasa ini dapat ditaklukkan oleh pedagang-pedagang tradisional yang modalnya
hanya kacangan?
Malam Minggu biasanya jalur Mataram menuju utara ke Senggigi
akan terasa berbeda. Jejeran pedagang-pedagang kecil sederhana di jalur kiri
kanan menuju objek wisata legendaris di Lombok Barat ini cukup banyak.
Ada perbedaaan yang mencolok, antara ritel modern dan kios-kios
kecil yang ada di sepanjang jalan. Kios-kios milik pedagang tradisional hanya
disiram cahaya lampu remang-remang. Di bagian lain, ritel modern nampak
gemerlap. Terang benderang. Secara alam
bawah sadar, rasa ingin berbelanja kita tentu lebih tertuju kepada ritel-ritel
modern yang dikemas mencuri perhatian itu. Rasanya lebih mantap berbelanja di sana.
Di sebuah warung kecil di Dusun Duduk, Batulayar Lombok
Barat, terdapat sebuah warung yang beroperasi dekat ritel modern yang terlihat
mentereng. Dalam jangka waktu beberapa
lama, tak satupun pembeli datang menghampiri warung ini. Padahal di warung
sederhana ini, aneka makanan cemilan disediakan atau rokok. Di tambah di
depannya bahan bakar kendaraan eceran.
Di seberang jalan, ritel modern nampak tak sepi kunjungan.
Dari yang jalan kaki, menggunakan kendaraan roda dua, hingga
kendaraan-kendaraan pribadi. Mereka terhenti, lalu masuk dan keluar menenteng
bawaan.
Nurhayati – sang pemilik warung kesal ditanya sebegitu
bertolakbelakang keadaannya. Sejak hadirnya ritel modern itu, praktis jualannya
tak lagi seperti dulu. Hasil berjualan seadanya. Yang laku hanyalah rokok
bijian, di tambah bensin eceran, itupun kalau sehari terjual tak lebih dari
lima botol. Bahkan terkadang laku hanya sebotol bensin.
“Sebelum ini ada, malam Minggu kita bisa jualan sampai di atas
jam 12. Ada saja pembeli masuk. Sekarang jangan harap. Betul-betul sepi,” ujarnya
kecewa.
Ritel modern di wilayah Lombok Barat |
Telah enam tahun ia jualan di pinggir jalan ini. Hadirnya
ritel modern di seberang jalan praktis telah mengubah keadaannya. Ia kehilangan
pasar. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Nurhayati berusaha serabutan. Dua
anaknya harus dihidupi, dan hidup terus berlanjut.
Minimarket itu menurutnya tiba-tiba saja beroperasi. Tanpa
pemeritahuan, kendati telah dipertanyakan oleh pedagang-pedagang kecil di sekitarnya.
Tak ada daya, meski para pedagang pinggiran jalan ini menolak keras hadirnya
minimarket itu. “Mau bagaimana lagi. Kita terima saja, karena sudah telanjur
diizinkan buka,” ujarnya.
Ia dan beberapa pedagang kecil di sekitarnya juga nyaris tak
mendapat manfaat. Untuk membeli barang isian kiosnyapun, Nurhayati tak membeli
dengan pola kemitraan. Bahkan cenderung harga jual barangnya lebih mahal
ketimbang ditempat ia biasa mendapatkannya.
Senggigi masihlah dihitung desa. Pusat wisata pantai ini
harusnya menjadi tempat empuk pedagang-pedagang kecil mencari nafkah.
Sayangnya, tidak demikian. Minimarket di bawah satu brand menjamur. Menjaring uang-uang belanja recehan wisatawan di sana.
Berbalik haluan menuju pulang. Melintasi jalan-jalan desa di
Gunung Sari. Desa-desa penyangga Senggigi ini rupanya dikawal ketat pemodalnya.
Minimarket juga menjamur. Antara yang satu dengan yang lain jaraknya sangat
dekat. Beberapa pemilik kios turut
resah. Mereka kalah saing. Tapi ada dayanya, tangan pemerintah daerah membuat
mereka tak kuasa menolak persaingan berat itu.
Sementara di Jalan Ade Irma Suryani Mataram. Banyak warung
atau usaha kecil harus bersaing untuk mendapatkan pembeli, baik sesama pemilik
warung atau dengan usaha berskala besar. Sebagian pedagang memilih menjual
produk tradisional dan tidak dijual di ritel modern, seperti sayur mayur, lauk
pauk yang sudah jadi, es kelapa, sate, nasi bungkus dan lainnya.
Sejumlah pedagang menyadari, kalau mereka berjualan seperti
yang dijual di tempat yang bagus, barang mereka tidak akan laku. Apalagi, harga
antara pedagang kecil dan di ritel modern ada perbedaan cukup signifikan. Namun, banyak di antara pedagang
kecil yang tetap berjualan beberapa produk yang dibutuhkan, seperti rokok, mi
instan, manisan dan makanan ringan lainnya.
Di lain pihak, Kepala BPS Provinsi NTB, hasil pendataan
Potensi Desa (Podes) 2018 yang diselenggarakan telah mengungkap tantangan besar ekonomi kerakyatan di desa.Hasil Podes menunjukkan, desa dengan keberadaan minimarket
pada keadaan tahun 2014 – 2018 mengalami peningkatan sebesar 49 persen. Atau
dari sebanyak 197 desa, menjadi 293 desa yang menjadi jaringan pasarnya.
“Saya sudah sampaikan juga ke Bu Wagub, karena minimarket
ini sudah ada. Tinggal, bagaimana caranya agar minimarket ini bisa menjual
produk-produk lokal,” ujarnya.
Pendataan Podes dilaksanakan tiga kali dalam 10 tahun. Tahun
2018 ini, Podes dilaksanakan pada Mei secara sensus melibatkan kepala desa,
lurah atau setingkat di bawahnya. Suntono, menggambarkan secara umum,
berdasarkan hasil Podes 2018di Provinsi NTB tercatat 1.143 wilayah administrasi
pemerintahan setingkat desa yang terdiri dari 995 desa, 145 kelurahan dan 3
UPT. Podes juga mencatat sebanyak 117
kecamatan dan 10 kabupaten/kota. (Bulkaini/Ekbis NTB)