Be Your Inspiration

Thursday 19 April 2018

Rusa, Maskot NTB dan Populasi yang Terancam Punah

Rusa, maskot NTB yang terancam punah
Siapa yang tidak mengenal rusa. Atau orang Lombok menyebut, hewan yang menjadi maskot NTB ini dengan nama mayung. Populasinya setiap waktu terus menyusut. Perburuan liar, dan minimnya kegiatan penangkaran membuatnya yang tersisa sekitar seribuan ekor. Padahal, Mayung ini telah menjadi maskot NTB, bersamaan dengan lahirnya provinsi dengan dua pulau ini.


JENIS rusa atau dengan nama latin (Cervus spp) merupakan satwa dilindungi. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, jenis rusa termasuk jenis satwa dilindungi. Jenis rusa di NTB adalah Rusa Timor (Cervus timorensis). Sebagai hewan yang menjadi konsumsi dan peliharaan masyarakat, Rusa Timor cukup banyak diminati, baik dari dalam daerah maupun luar daerah. Tak heran, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB banyak mencegah pengiriman rusa di pintu keluar dan masuk NTB

Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA NTB Lugi Hartanto, menyebut, jumlah Rusa Timor di NTB  di alam saat ini populasinya diperkirakan hanya sekitar 1000-an ekor dan populasi di penangkaran 500-an ekor.

Populasi tersebut, tersebar di beberapa kawasan baik hutan konservasi maupun hutan lindung dan Hutan Produksi, Taman Nasional Gunung Rinjani, Taman Nasional Tambora, Pulau Moyo, Beberapa kawasan hutan lindung Rinjani dan sekitarnya, cagar alam Sangiang dan beberapa kawasan hutan lainnya.


Padahal berdasarkan survei rusa dan data di Pulay Moyo saja pada tahun 1985. Populasi rusa sangat melimpah diperkirakan sebanyak 6.000 ekor dan pada tahun 1995 atau 20 tahun kemudian jumlah populasinya di Pulau Moyo menurun drastis diperkirakan sebanyak 1.000 ekor, karena perburuan.
Saat ini di Pulau Moyo, diperkirakan populasinya hanya sekitar 200-an ekor. Penyebab lainnya, selain perburuan liar adalah kerusakan habitat alami rusa yaitu kerusakan hutan akibat penebangan, kebakaran hutan dan konversi hutan menjadi lahan.
Rusa NTB

Perburuan rusa atau perburuan satwa dilindungi jenis rusa merupakan tindak pidana. Hal ini dipertegas pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 21 ayat (2) jo pasal 40 ayat (2) bahwa setiap orang dilarang untuk  menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa satwa dilindungi. Di mana, sanksi pidananya penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp100 juta.

“Upaya yang dapat dilakukan untuk perlindungan rusa adalah perlindungan dan pengamanan habitat alam yaitu hutan,dengan menekan perburuan liar satwa tersebut, sosialisasi dan kampanye perlindungan jenis tersebut, dan upaya peningkatan populasi melalui penangkaran rusa sebagai upaya budidaya meningkatkan populasi rusa melibatkan masyarakat,” kata Lugi.


BKSDA NTB telah memberikan izin penangkaran kepada 50 penangkar. Izin penangkaran diterbitkan oleh BKSDA dengan salah satu syarat, penangkar memiliki kewajiban mengembalikan ke alam sebesar 10 persen dari total peningkatan populasi.  “10 persen inilah yang kami tagih ke penangkar. Salah satunya kepada PT. Sadhana Arifnusa,” kata Lugi.

PT. Sadhana adalah salah satu penangkar besar rusa di NTB. dia termasuk yang sukses melakukan penangkaran. Karena itu, F2 dari hasil penangkarannya, ditarik untuk dilepasliarkan kembali ke alam. Demikian juga penangkar-penangkar lainnya dari sebanyak 50-an izin penangkaran diterbitkan BKSDA. “Kalau total 600 ekor populasi rusa di penangkaran, 10 persen kita tarik, lumayan itu untuk mendukung re-stoking,” imbuhnya.

Ia juga mendukung pengembangan jumlah penangkar rusa di NTB. izin-izin akan dipermudah, cukup dengan biaya Rp500.000 untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), BKSDA akan menerbitkannya. Akan tetapi, syarat lain yang paling utama tentu kesediaan penangkar untuk pemeliharaan/perawatan, mendapat izin-izin dari lingkungan. Rusa yang akan dipelihara harus berkelamin jantan dan betina. Satu jenis kelamin, izin tak diterbitkan. Karena tak mendukung pengembangbiakannya. “Selama dipelihara dengan baik, boleh dikembangbiakkan sendiri. Dan kita akan terbitkan izin penangkarannya,” imbuh Lugi.


Membuka ruang bagi penangkaran rusa ini juga berpotensi secara ekonomis. Daging rusa bisa dijadikan kuliner khas NTB. pemerintah memberikan ruang bagi masyarakat/penangkar untuk memperjualbelikannya, atau untuk dipotong.  “Setelah 10 persen dipenuhi, sisanya bisa dipotong, atau bisa diperjualbelikan, khusus untuk cucunya. Dan ini bisa menjadi kuliner khas NTB,” jelas Lugi.

BKSDA juga melakukan evaluasi kepada penangkar rusa. Apakah pemeliharaan sudah dilakukan dengan baik, atau sebaliknya. Jika fakta di lapangan penangkaran dipandang tak dilakukan dengan baik, maka izin-izinnya akan dicabut. “Tahun 2017 lalu ada 7 izin penangkaran sudah kita cabut. Otomatis setelah izin dicabut, rusa yang dimilikinya sudah kategori ilegal dan berhak diambil untuk dilepasliarkan,” demikian Lugi. (Bulkaini/Suara NTB)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive