Be Your Inspiration

Tuesday 3 January 2017

Ketua BPPD NTB Affan Ahmad Harapkan Pariwisata NTB Harus Lebih Baik Tahun 2017


 
Ketua BPPD NTB Affan Ahmad
Pariwisata NTB sedang menunjukkan geliatnya. Tiga penghargaan bertaraf internasional yang diraih tahun 2016 setidaknya membuktikan kinerja dari pelaku pariwisata tidak perlu diragukan lagi.  Penghargaan yang diraih pada ajang World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi, Uni Arab Emirate (UEA) adalah, Novotel Lombok Resort & Villas meraih penghargaan  World’s Best Halal Beach Resort.  Sembalun  meraih penghargaan World’s Best Halal Honeymoon Destination. Terakhir, www.wonderfullomboksumbawa.com  meraih penghargaan  World’s Best Halal Tourism Website.

Hal inilah menurut Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB H. Affan Ahmad yang perlu terus dipertahankan. BPPD NTB sebagai salah satu ujung tombak promosi pariwisata NTB akan terus berusaha meningkatkan promosi objek wisata dan potensi yang dimiliki NTB. Pihaknya sadar, jika promosi wisata yang dilakukan selama 2016 masih belum optimal. Hal ini yang akan menjadi pekerjaan rumah di tahun 2017 untuk diperbaiki dan ditingkatkan.
"Tahun 2017, kita tetap akan garap-garap pasar potensial. Promosi akan lebih kita tingkatkan lagi," ujarnya, Rabu (28/12/2016).
Menurutnya, target kunjungan wuisatawan tahun 2017 sebesar 3,5 juta wisatawan menjadikan pihaknya tidak boleh main-main dalam melakukan promosi. Itu artinya, pihaknya harus menjalin kerjasama dengan banyak pihak dan elemen dalam mempromosikan potensi yang dimiliki. Jika ini tidak dilakukan, maka harapan mendatangkan wisatawan sesuai target tidak akan berhasil.
Selain itu, di akhir masa pemerintahan Dr. TGH. M. Zainul Majdi dan H. Muh. Amin, SH, MSi, tahun 2018 mendatang target 4 juta kunjungan wisatawan ke NTB bisa terwujud. Dalam mewujudkan target ini cukup berat, sehingga pelaku pariwisata dan pemerintah harus kreatif dalam membuat event. "Kreativitas event perlu dilakukan agar apa yang kita targetkan bisa tercapai," ujarnya.
Namun, target tidak akan bisa terwujud, jika tidak ada kebersamaan antara elemen pariwisata dan lainnya. "Jika elemen pariwisata tidak memiliki kebersamaan, apa yang diharapkan pak gubernur tidak akan terwujud," ujarnya.
Begitu juga dengan masyarakat yang ada di daerah ini harus tetap menjaga keamanan dan kebersihan. Jika keamanan terganggu, ujarnya, pariwisata NTB akan terganggu. Wisatawan akan takut datang berkunjung dan menikmati potensi yang dimiliki. Untuk itu, ujarnya, masyarakat harus bahu membahu menjaga keamanan dan kondusivitas wilayahnya agar tetap aman dan nyaman dikunjungi.
Hal lain yang perlu diperhatikan, lanjutnya, adalah masalah kebersihan di daerah objek wisata. Wisatawan akan nyaman berkunjung, jika objek wisata kotor dan kumuh akan membuat image wisata NTB menjadi jelek. "Bahkan bisa menjadi promosi negatif bagi wisatawan. Mereka nanti cerita ke teman-temannya, jika kondisi wisata NTB kotor dan membuat image buruk. Untuk itu, kebersihan harus tetap dijaga," sarannya. 
Pada bagian lain, dirinya memberikan apresiasi pada pelaku dan organisasi pariwisata yang ada di NTB yang cepat memberikan respons pada korban banjir Bima. Sejumlah organisasi pariwisata, seperti PHRI, ASSPI, INCCA, HPI dan lainnya langsung mengumpulkan bantuan yang dibutuhkan korban banjir. Kebersamaan seperti ini, ujarnya, harus terus diwujudkan dan dipelihara, sehingga tetap bersatu membangun pariwisata NTB. "Bantuan ini bisa membantu saudara kita yang jadi korban banjir di Bima," ujarnya. (Marham)
Share:

Guide di NTB akan Ditertibkan


PADA dasarnya Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTB enggan menanggapi polemik tentang pemberian balas jasa kepada guide. Sebab perdebatannya tak akan berakhir sampai kapanpun. Menurutnya, lebih baik sama – sama saling menguatkan untuk membangun pariwisata NTB.
Fee guide, menurut Ketua HPI Provinsi NTB, Dr.Ainuddin, SH, MH, adalah gaji yang diberikan perusahaan (travel agent) tempat guide bernaung. Sementara imbalan yang diberikan oleh pemilik art shop (pasar seni) kepada guide disebut komisi.
Di lapangan istilah guide fee berkembang. Yang diidentikan sebagai imbalan pengusaha art shop kepada guide. Bahkan disebut-sebut pemberian itu bisa mencapai 50 persen dari harga penjualan barang kepada dari wisatawan yang dibawa oleh guide.
Ainuddin mempertanyakan mengenai komisi yang diberikan kepada guide sampai 50 persen. Jika ada, HPI mengharapkan ada laporan yang disertai bukti. ‘’Jikau dia anggota HPI, saya gunting lisensinya. Cobalah, tunjukkan kita buktinya,’’ tegas pengacara ini akhir 2016.
Menurutnya, pemberian komosi sampai 50 persen itu, hanya diperdengarkan oleh pengusaha atau pemilik art shop yang jarang dikunjungi oleh rombongan wisatawan yang didampingi oleh guide. Karena menurutnya tidak ada produk yang sangat layak untuk dijual kepada wisatawan. ‘’Lihat Sasaku, Gandrung, Lombok Exotice, dan lain-lain. Tidak ada yang teriak soal komisi. Yang teriak itu orang-orang yang barangnya tidak layak jual, oknum itu,’’ tegasnya.
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia NTB Dr. Ainuddin

Yang ada saat ini sepertinya berat melakukan permainan harga barang. Di tempat-tempat penjualan suvenir masing-masing sudah dicantumkan label harga di setiap produk. Ainuddin mempertanyakan, apakah kemudian harga barangnya bisa diutak-atik untuk menyisihkan komisi kepada guide?
Pemberian komisi kepada guide menurutnya hal mutlak dan berlaku di hampir seluruh negara. Di luar negeri, bahkan guide mendapat komisi dari berbagai jenis. Di daerah-daerah wisata maju seperti Bali juga memberlakukan demikian. Namun tidak ada protes, karena seluruh pihak sepakat untuk membungkus apapun yang bisa berimplikasi membuat wisatawan tidak nyaman. Semua menyatukan suara yang sama.
“Sekarang pertanyaannya, apakah sekarang persoalan ini akan terus – terus di blow up, oleh oknum, lalu oleh media. Lebih baik kita sama-sama berbuat untuk pariwisata kita,” imbuhnya. Mengapa tempat-tempat penjualan tertentu jarang dikunjungi oleh guide. Bisa saja selain karena produknya yang tidak layak, pengusaha-pengusaha di tempat itu justru tak pernah ambil bagian untuk memajukan pariwisata NTB.
‘’Di Sekarbela, pengusahanya teriak-teriak hanya melihat barang dagangannya yang tidak laku. Sementara jarang kita dengar ada gerakannya yang mendukung pariwisata langsung. Lalu apakah kemudian ini menjadi persoalan yang kita panjang lebarkan. Lebih baik ayo sama-sama membangun pariwisata kita,’’ ajaknya.
Guide memiliki peran strategis untuk memajukan pariwisata. Jika guide selalu dipojokkan, kemudian berdampak langsung kepada pariwisata NTB, khawatirnya akan terjadi pengangguran-pengangguran baru. Terkait besaran komisi ini, Ainuddin mengatakan sudah ada komitmen bersama antara guide (berlisensi/legal) dengan pemilik art shop, maksimal 20 persen komisi.
Sementara, Ahyar agak kecewa, guide kerap disebut-sebut bermain fee. Ahyar adalah salah satu guide senior di NTB. ia telah menjadi abdi pramuwisata lebih dari 20 tahun. Ia mengenal betul hampir seluruh sisi pariwisata, bahkan hal-hal paling kecil sekalipun yang berkaitan dengan sektor pariwisata.
Siapa yang tak mengenalnya di hampir seluruh pusat oleh-oleh, pasar seni di Lombok. Ahyar adalah guide freelance, tidak terikat di salah satu perusahaan travel. Karena itulah yang membuatnya sangat tidak asing bagi pemilik-pemilik art shop dan perusahaan travel agent.
Pengurus BPC Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kota Mataram ini bersama rekan-rekannya bahkan berencana akan meminta klarifikasi kepada media-media yang menulis soal fee guide, seolah-olah guide selalu dipojokkan. Padahal guide memiliki peran strategis dan mendukung suksesnya pariwisata.
‘’Tidak ada itu, bukan. Tidak ada cerita (soal fee guide 40 sampai 50 persen),” kata Ahyar pada Ekbis NTB.
Ia mengklarifikasi pemahaman masyarakat yang selama ini berkembang soal fee guide. Di kalangan guide, uang balas jasa yang diberikan oleh pemilik art shop dibahasakan komisi. Sementara yang disebut fee guide adalah pendapatan/gaji yang diterima dari travel agent tempat masing-masing guide bergantung.
Soal fee guide, tentu tak bisa diintervensi oleh pihak manapun berapa besaran yang diterimanya. Karena hal tersebut adalah kesepakatan internal antara guide dengan perusahaan travel agent yang menjadi tempatnya bernaung.
Selanjutnya soal komisi yang diberikan art shop, tidak tertera dalam kesepakatan manapun besaran yang harus diberikan kepada guide. Hal itu tergantung berapa yang diikhlasnya oleh pemilik art shop. Mungkin hal itu wajar, sebagai bentuk terima kasih pemilik art shop karena guide telah memfasilitasi kunjungan dan belanja wisatawan.
Meski demikian, para guide telah sepakat, bahwa komisi yang diterima jangan lebih dari 20 persen. Umumnya 15 persen yang diterima. Bahkan 10 persen, dari nilai belanja wisatawan yang diantarnya berbelanja.
‘’Untuk baju, biasanya hanya 10 persen. Mutiara antara 15 sampai 20 persen, bahkan kita ambil 15 persen, karena di luar kita ‘’disikat’’. Banyak pedagang-pedagang asongan,’’ jelas Ahyar. Guide menurutnya juga sangat paham, jangan sampai komisi yang diberikan tinggi, justru imbasnya kepada wisatawan. Tentu akan berimbas juga kepada guide sendiri.
Lanjut Ahyar, bahkan ada di antara art shop yang menjanjikan sampai 70 persen untuk memancing guide mengunjungi tempatnya. Tentu tidak rasional komisi sebesar itu. Oleh para guide, biasanya tawaran-tawaran seperti itu jarang diterima. Tetapi pemilik art shop mungkin melakukannya karena art shop yang terhitung baru tentu tidak serta merta laris manis.
Lalu mengapa guide hanya mengarahkan rombongan wisatawan kepada art shop – art shop tertentu? Ahyar mengatakan, banyak pengusaha art shop yang mungkin belum memahami cara membangun komunikasi dengan guide.
Bagi art shop yang sering dikunjungi, biasanya mereka mereka melakukan pendekatan kekeluargaan. ‘’Silaturrahmi diperbanyak dengan guide, kalau guide sakit mungkin dijenguk. Pendekatan kekeluargaan ini yang tidak banyak dilakukan sebenarnya. Bohong besar kalau disebut karena komisi yang diberikan sampai 50 persen, tidak ada itu. Inilah perlunya pendekatan personal (kepada guide) dan pendekatan perusahaan (kepada agent travel),’’ jelas Ahyar.
Semua pihak diminta untuk memahami persoalan ini. sebab pada intinya, suksesnya pariwisata juga akan memberi dampak langsung kepada guide itu sendiri. Pun kepada semua pihak.

Akan Ditertibkan

Mulai bulan Januari 2017 nanti, kegiatan pramuwisata atau guide yang bekerja di seluruh destinasi wisata di NTB akan mulai ditertibkan. Penertiban akan dilakukan oleh tim yang sudah dibentuk oleh Disbudpar NTB bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya. Landasan aturan untuk mengatur pramuwisata ini sudah ada yaitu Perda tentang Pramuwisata, tinggal dilakukan penegakan aturan.
“Saya sudah rapat dengan Ketua HPI ( Himpunan Pramuwisata Indonesia ). Kita akan efektif memberlakukan Perda tentang tentang pramuwisata itu. Ada empat hal yang diatur dalam Perda pramuwisata itu yaitu tentang kualifikasi guide, kode etik, wilayah berpraktik guide itu, serta SDM-nya,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( Disbudpar ) NTB H.Lalu Moh Faozal, S.Sos, M.Si kepada Ekbis NTB.
Faozal mengatakan, langkah awal yang akan dilakukan oleh tim ini adalah melakukan pertemuan antara HPI, Disbudpar, Kejaksaan dan Kepolisian. Setelah dilakukan pertemuan diharapkan akan lahir format tindak lanjut terkait empat hal pokok yang diatur dalam perda pramuwisata itu.
“Praktis nanti begitu kita sudah sepakat,  maka pasti ada konsekwensinya. Misalnya saat dia langgar kode etik maka lisensinya akan dicabut. Saat melakukan kegiatan di luar ketentuan maka kita akan pastikan yustisi penindakan,’’ tegasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB H. L. Moh. Faozal

Faozal menilai, HPI NTB memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan penertiban terhadap praktik pramuwisata. Terlebih HPI telah merumuskan dan mengikuti pembahasan perda pramuwisata dari awal, karena pada dasarnya HPI sangat berkepentingan dengan eksekusi perda tersebut.
Salah satu isu besar dalam penertiban pramuwisata ini adalah masalah fee atau komisi yang diminta oleh oknum pramuwisata saat mengantar tamu berbelanja di toko suvenir. Dari informasi yang diperolehnya, fee yang diminta oleh pramuwisata kepada toko suvenir memang berbeda beda, namun angkanya sekitar 10 hingga 20 persen. Dalam pandangan  Disbudpar, jumlah fee dengan besaran seperti itu dalam hitungan bisnis sudah besar.
Dampaknya terhadap dunia wisata NTB cukup besar. Misalnya berdampak pada kesan yang kurang baik dari wisatawan. Dia melihat persaingan bisnis yang ditimbulkan oleh tindakan oknum pramuwisata yang memberlakukan fee tinggi di toko suvenir menjadi tidak sehat. Di mana outlet yang tidak mampu memberikan fee terhadap pramuwisata, mereka tidak akan dikunjungi. ‘’Itu kan praktik yang tidak baik” katanya.

Hal lain yang menjadi titik perhatian yaitu adanya pramuwisata yang tidak memiliki lisensi atau izin berpraktik dalam bekerja. Disbudpar NTB menerima laporan misalnya beberapa oknum pramuwisata di destinasi wisata Senaru, Tiu Kelep dan sejumlah tempat lain tidak memiliki lisensi. Padahal dalam ketentuan, semua pramuwisata yang beroperasi di NTB harus mengantongi izin secara resmi.(bul/ris/Ekbis NTB)-
Share:

Pariwisata, Komisi Guide dan Persaingan Tak Sehat di NTB

Wisatawan saat melihat pembuatan hasil karya seni di Lombok

Pemberian komisi kepada pemandu wisata atau yang biasa disebut guide fee yang diterapkan para oknum guide dalam membawa tamunya ke galery atau art shop, telah dikeluhkan lama para perajin termasuk pemilik art shop. Pemberian fee yang dinilai melampaui batas kewajaran itu, tidak saja memicu persaingan usaha yang tak sehat. Namun lebi dari itu, guide fee yang melebihi batas kewajaran juga merusak citra pariwisata.
SEPERTI dikeluhkan Inaq Maryam, pemilik Arts Hop Bintang Remawa, di Desa Sukarara, Lombok Tengah (Loteng). Ia menuturkan, permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata telah menyulitkannya. Karena itu, ia bahkan sudah memutuskan sudah tidak mau lagi bekerja sama dengan para travel karena pengalaman tidak mengenakkan yang didapatkannya dari permintaan komisi oleh oknum pemandu wisata.
‘’Pernah saya kerjasama dengan travel, tetapi kebanyakan tamu yang mereka bawa tidak banyak yang belanja,’’ terangnya saat ditemui Ekbis NTB, Rabu (28/12/2016). Inaq Maryam menceritakan, ia membuat kontrak sebesar Rp 10 juta per tahun tetapi pendapatan yang didapatnya tidak sesuai atau banyak ruginya.
‘’Belum kita kasi selendang buat tamu yang baru datang, terus kasi makan sopirnya disini ditambah kita yang bayarin dia parkir,’’ katanya. Harga jual kain yang diproduksinya juga menjadi lebih tinggi karena ditambah dengan bayar fee untuk guide. ‘’Kalau misalnya harga songket kita jual Rp 3 juta, tetapi di art shop bisa sampai Rp 9-10 juta,’’jelasnya. Oleh karena itu, ia lebih suka menjual langsung atau ke pengepul dalam skala besar. ‘’Lebih enak yang seperti itu,karena tidak ada teman berbagi keuntungan. Jadi berapa-berapa kita dapat kita yang punya,’’ katanya.
Para penjual kerajinan di Pasar Seni Sesela, Lombok Barat (Lobar), juga mengeluhkan hal serupa. Tetapi, besaran fee guide yang mereka bayarkan sesuai dengan kemampuan mereka. ‘’Kalau guide fee besarnya 20 persen dari total penjualan, kecuali kalau yang dari pesiar fee-nya 25 persen,’’ tukas Iwan Sastrawan, Ketua Pasar Seni Sesela saat ditemui Jumat (30/12/2016). Dengan adanya komisi untuk pemandu wisata,  diakuinya berpengaruh terhadap kunjungan tamu ke pasar seni dan berpengaruh terhadap hasil penjualan.  
Wisatawan mancanegara melihat secara langsung proses pembuatan kerajinan khas NTB

Walaupun sudah bekerjasama dengan tour dan travel, akses pasar yang jauh dari keramaian serta persaingan dengan toko oleh-oleh yang menjamur menjadi masalah tersendiri bagi pedagang di Pasar Seni Sesela. ‘’Kita selalu jadi pilihan terakhir buat mereka saat membawa tamu. Tamunya sudah diajak belanja di tempat lain baru diajak ke sini,’’ kata Iwan. Karena tempat lain berani memberikan fee yang lebih tinggi.
‘’Contohnya di Sukarara, mereka berani memberi fee sampai lebih dari 30 persen karena takut nanti tidak ada tamu yang berkunjung ke tempat mereka. Makanya Sukarara selalu jadi prioritas kunjungan tamu (wisatawan),’’ jelasnya.
Padahal, kata Iwan, sentra produksi kerajinan (tenun) tidak hanya di Sukarara saja tetapi banyak tempat di Lombok. ‘’Seharusnya tamu diajak ke sentra produksi, sehingga bisa memberdayakan hasil kerajinan masyarakat,’’ jelasnya. Tetapi, karena ada oknum guide yang berpikiran materialistis, maka hal tersebut sulit dilakukan.
Iwan menjelaskan HPI, dinas terkait serta travel harus melebur dan bersinergi menjadi satu. "Perhotelan, pengusaha oleh-oleh serta guide itu satu kesatuan, tetapi dalam kenyataannya tidak nyambung,’’ katanya. Pemberian komisi yang berbeda juga sulit ditertibkan oleh dinas terkait karena tidak adanya tindak tegas untuk para pelakunya.
Jika  ingin pariwisata di Lombok (NTB) seperti di Bali, kata Iwan, maka semua elemen di dalamnya harus sejalan. Misalnya dengan pemberian komisi yang sama. ‘’Tetapi itu sudah, guide-nya maunya komisi tinggi, jadi tamunya dibawa ketempat yang kasi dia komisi tinggi,’’ katanya dengan nada kecewa. Padahal jika hal itu terus terjadi, akan membawa dampak buruk bagi pengusaha kerajinan yang bisa gulung tikar karena tidak adanya pendapatan.
Hasil karya seni yang dipajang di Pasar Sesela Lombok Barat

Ke depannya, Iwan menginginkan HPI, dinas terkait khususnya pariwisata serta UKM duduk bersama membicarakan masalah tersebut. ‘’Jangan sampai target yang sudah ditetapkan sia-sia, karena mereka tidak mau datang kembali ke sini karena merasa tertipu,’’ tukasnya.
Tidak saja di industri kerajinan tenun, perajin dan pemilik  art shop emas dan mutiara juga sangat familiar dengan istilah guide fee. Apapun bahasanya,  polemik besaran tarif yang kabarnya diberikan kepada guide sebagai tanda balas jasa, secara tidak langsung telah memicu iklim persaingan yang tidak sehat. Tidak saja memicu persaingan tak sehat. Guide fee juga bisa merusak citra pariwisata.
ITULAH yang dirasakan para pemilik toko emas perak mutiara di Sekarbela, Kota Mataram. Keresahan dari pemberian komisi kepada pemandu wisata ini, membuat para pemilik toko emas dan mutiara di sana harus berbuat sesuatu. Mereka sepakat membentuk  Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok, NTB. Ketuanya ditunjuk H. Fauzi. Sebelumnya sebenarnya sudah terbentuk Forum Komunikasi Perajin Mutiara Emas dan Perak (FKP-MEP) Kota Mataram, dengan ketua yang sama.
Persatuan yang baru terbentuk tersebut, dalam waktu dekat akan segera dikukuhkan. Salah satu program yang telah disusun adalah menertibkan besaran guide fee. ‘’Program jangka pendek sudah kami buat,’’ kata H. Fauzi kepada Ekbis NTB.
Ia membenarkan bahwa ada pemberian komisi kepada guide hingga sebesar 40 persen di sentra-sentra pedagang mutiara di Kota Mataram seperti di wilayah Pagutan dan Karang Genteng. Sementara di Sekarbela, para pemilik toko hanya memberikan hingga 5 persen, bahkan ada tidak sama sekali. Karena itulah, kunjungan wisatawan dianggap tak begitu banyak ke Sekarbela. Ia menduga, kalaupun ada wisatawan yang berkunjung, bisa jadi karena dipaksa travel agentnya untuk mengantarkan. Sehingga tidak ada alasan bagi para guide untuk tidak mengantar wisatawan ke sentra perajin mutiara tertua di Lombok ini.
‘’Kami kasi 5 persen, kadang tidak sama sekali kepada guide. Di tempat lain, bahkan ada ditawarkan fee sampai 50 persen. Tapi tamu banyak yang meminta datang ke Sekarbela,’’ kata pemilik salah satu toko kerajinan emas perak dan mutiara terbesar di Sekarbela ini.
‘’Awalnya pemberian fee tinggi dimulai dari Sukarara,’’ katanya. Karena itulah, sampai saat ini terjadi iklim usaha yang tidak sehat antarperajin kerajinan lokal. Ada lomba memberikan fee paling besar, yang justru dampaknya merugikan wisatawan. Sebab dengan pemberian fee besar kepada guide, otomatis harga jual barang yang disiasati menjadi jauh lebih mahal.
Kekhawatirannya, persaingan usaha yang tidak sehat ini  akan dikeluhkan wisatawan dan berdampak besar pada pariwisata NTB. Jika persoalan ini diabaikan, maka bisa berimbas pada citra pariwisata yang buruk. Soal besaran fee guide ini, kata H. Fauzi, sudah sejak lama dibahas, antara pemerintah daerah, ASITA dan HPI. Namun hingga saat ini tidak ada realisasi dari hasil pembahasan tersebut.
Karena itulah, Persatuan Pedagang dan Perajin Mutiara Lombok yang telah terbentuk, akan mengajak semua pihak yang terkait dengan persoalan ini untuk duduk bersama kembali. Membahas berapa fee yang ideal dan dapat diberlakukan secara menyeluruh.
Selanjutnya hasil kesepakatan dapat dituangkan dalam surat edaran pemerintah daerah. Dengan adanya kesepakatan yang dibuat dalam surat edaran ini, akan menjadi acuan atau patokan pemerian  komisi kepada para pemandu wisata. Jika ternyata ada yang memberikan komisi lebih tinggi. Atau mungkin pemandu meminta komisi lebih besar dari kesepakatan, dalam aturan atau surat edaran itu juga bisa dibuat ketentuan sanksi. ‘’Ada sanksi kepada guide, kepada art shop sendiri yang melanggar kesepakatan.’’
“Pengusaha mengatakan, kalau tidak memberikan fee, tidak didatangi rombongan wisatawan. Sementara guide mengatakan tidak pernah meminta fee kepada pengusaha. Jika tidak ada kesepakatan, ini akan menjadi perdebatan terus menerus, ‘’ demikian H. Fauzi. (uul/Bul/Ekbis NTB)
Share:

Friday 30 December 2016

Begasingan, Permainan Tradisional Lombok yang Masih Dipertahankan di Kota Mataram

Wakil Walikota Mataram H. Mohan Roliskana main gasing

Begasingan atau bermain gasing merupakan salah satu permainan tradisional di Lombok yang masih dipertahankan hingga saat ini. Ditengah berkembangnya permaianan dengan teknologi modern, masyarakat Lombok masih sering memainkan permaianan ini. Tidak terkecuali pada festival-festival seni yang diadakan di beberapa daerah di Lombok, salah satunya Kota Mataram.
“Permaianan ini merupakan salah satu permaianan yang sudah ada sejak dulu dan harus kita lestarikan bersama. Karena ini merupakan salah satu warisan budaya kita yang harus kita cintai bersama,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Mataram H.Abdul Latif Nadjib, di Mataram, Jumat (25/11/2016).
Gasing merupakan salah satu alat permainan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat berfungsi sebagai salah satu sarana penanaman nilai-nilai budaya.  Dahulu sebelum perkembangan teknologi pesat seperti sekarang ini, fungsi tersebut sangat efektif. Karena dapat dijadikan sebagai ajang untuk mempererat silaturahmi.
Wakil Walikota Mataram H. Mohan Roliskana melilit tali gasing untuk dimainkan.

Namun sejalan dengan perkembangan teknologi keberadaan permainan tradisional  ini mulai tergeser oleh hadirnya berbagai jenis permainan modern seperti games, playstation dan sebagainya. Sebab sebagian besar anak-anak sekarang menagnggap permainan digital itu lebih menarik.  Padahal permainan modern membentuk anak bersifat individual,  kurang kreatif, dan juga memerlukan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Mataram ingin menghidupkan kembali permainan tradisional tersebut dengan melakukan festival permainan rakyat.
“Permainan tradisional ini harus kita lestarikan. Meskipun banyak permainan yang berbasis teknologi modern, namun kita tidak boleh lupa bahwa kita memiliki permainan yang memiliki nilai sejarah dan tidak kalah menarik untuk disaksikan,” kata Latif.
Permainan rakyat ini juga memerlukan kosentrasi dan kemampuan khusus. Meski semua orang dapat memainkan permainan gangsing ini, namun harus diimbangi dengan kemampuan teknis tertentu. Sehingga pemain harus belajar terlebih dahulu sebelum bermain melawan pemain lainnya.
“Seni tradisional ini mencerminkan nuansa kemasyarakatan. Nilai yang berkembang didalamnya selalu mengedepankan saling menghormati dan rasa kebersamaan cukup kuat serta utuh dalam melaksanakan tujuan dan menjunjung tinggi nilai luhur yang menjadi kebanggaan kita,” ujarnya. (Linggawuni - Suara NTB)
Share:

Menteri Besar Perak Malaysia Zambry Abdul Kadir I’tikaf di Masjid Islamic Center NTB

Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi tukar cinderamata dengan Menteri Besar Perak Malaysia Zambry Abdul Kadir

Menteri Besar Perak Malaysia, Dr. Zambry Abdul Kadir menemui Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi di ruang kerjanya, Kamis (29/12/2016).  Menteri Besar Perak Malaysia bersama 40 jemaah Safari Dakwah Tabligh untuk beri’tikaf di Masjid Islamic Center (IC) NTB.
Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi mengatakan suatu kesyukuran bagi NTB atas kehadiran Menteri Besar Perak Malaysia bersama rombongan ke Pulau Seribu Masjid, Lombok. Ia mengharapkan hal ini dapat memperkokoh silaturahmi antara NTB dan Negara Bagian Perak Malaysia.
Gubernur yang didampingi Asisten II Perekonomian dan Pembangunan Setda, Drs. H.L.Gita Ariadi, M.Si dan Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTB, H. Yusron Hadi, S.T., M.UM ini juga berharap melalui safari dakwah ini mampu mengajak dan membina anak-anak muda yang saat ini lebih mengedepankan teknologi seperti media-media sosial yang tersedia di internet sebagai metode belajar agama mereka.
Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi saat berbincang dengan rombongan Menteri Besar Perak Malaysia Zambry Abdul Kadir di Kantor Gubernur NTB Indonesia.
“Saya lihat di Indonesia khususnya di NTB ini banyak pengajian yang dilaksanakan di masjid, tapi sayangnya hanya sedikit anak muda kita yang berminat untuk duduk di sana. Mudahan, dengan safari dakwah ini bisa menyadarkan anak muda kita untuk belajar agama dari sumber-sumber yang jelas dan tidak mencari ilmu agama pada media-media yang belum jelas sumbernya,” harap Gubernur.

Selain untuk beri’tikaf, rombongan Menteri Besar Perak Malaysia itu  juga berniat memakmurkan masjid-masjid yang  kebanyakan masih kosong dan belum aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan shalat berjama’ah dan dakwah.  Kegiatan safari dakwah tabligh ini kedepannya minimal bisa mengajak masyarakat untuk bisa shalat berjama’ah lima  waktu di masjid. Diharapkan juga nantinya akan banyak kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di dalam masjid. (Nasir)
Share:

Wapres H. M. Jusuf Kalla Minta Penanganan Pascabanjir Kota Bima Dipercepat

Wapres H. M. Jusuf Kalla saat melihat kondisi Kota Bima pascabanjir bandang, Rabu (28/12/2016)

Wakli Presiden (Wapres) RI, Drs. H. M. Jusuf Kalla meninjau penanganan korban banjir yang melanda Kota Bima beberapa waktu lalu. Dalam rapat koordinasi terbatas yang dilakukan di Kantor Walikota Bima, Wapres meminta penanganan dan pemulihan pascabanjir dipercepat.
Penanganan dan pemulihan korban banjir  maupun infrastruktur yang rusak akibat banjir harus dipercepat. Hal ini menurut Wapres harus dilakukan secara bersama sama dan melibatkan semua unsur.
‘’Lebih cepat penanganannya, lebih baik. Kalau lambat, maka semakin banyak korban, termasuk infrastruktur. Harus ada percepatan. Kalau lama, maka lumpur itu semakin keras dan susah dibersihkan,” kata Wapres, saat memimpin rapat koordinasi terbatas di Kantor Walikota Bima, seperti keterangan resmi yang diterima Suara NTB dari Biro Humas dan Protokol Setda NTB, Rabu (28/12/2016).
Wapres H. M. Jusuf Kalla tinjau rumah sakit lapangan milik TNI AL untuk menangani korban banjir Bima.

Wapres tiba di Bandara Sultan Salahuddin Bima sekitar pukul 10.15 Wita, disambut Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi, Walikota Bima, H.M.Qurais H. Abidin, Danrem 162/WB, Kol. Inf. Farid Ma'ruf, Kasdam, Brigjen TNI. Stephanus Trimulyono beserta unsur FKPD Kota Bima.  Terlihat dalam rombongan Wapres, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, Wakil Ketua DPD RI, Prof. Farouk Muhammad dan pejabat kementerian dan lembaga.
Persoalan ketersediaan air bersih bagi korban banjir  juga menjadi salah atensi Wapres. Menurutnya, banjir selalu melumpuhkan ketersediaan air bersih. ‘’Kita bisa kasih makan orang, tapi kalau tidak ada air minum bagaimana,’’ tanyanya.
Selain itu, ia meminta untuk segara disediakan  fasilitas pembersih lumpur dan sampah, seperti pompa air, excavator dan truk pengangkut sampah. Wapres mengapresiasi langkah dan kerja keras pemerintah daerah, termasuk anggota TNI/Polri yang bergerak cepat menangani korban banjir.
Wapres H. M. Jusuf Kalla berdialog dengan korban banjir Bima.

Usai pertemuan, Wapres dan rombongan meninjau Rumah Sakit (RS) Lapangan yang dipusatkan di Gedung Convention Hall Paruga Nae Kota Bima. RS  Lapangan tersebut menyediakan tenda untuk perawatan pasien orang dewasa dan anak-anak. Wapres meninjau beberapa posko perawatan dan juga posko apotek.
Wapres sempat menanyakan keluhan sejumlah pasien korban banjir. Rata-rata pasien mengeluhkan sakit mual-mual, pusing dan diare. Setelah itu, Wapres  menuju Masjid Salahuddin Bima untuk melakukan salat zuhur berjamaah, sekaligus meninjau pengungsi. Usai salat, Wapres dan Gubernur berdialog langsung dengan masyarakat. Masyarakat menceritakan keadaan rumah serta harta benda yang hancur akibat banjir. ‘’Ini semua ada hikmahnya, seperti kita diminta sabar. Bahkan bencana ini menumbuhkan rasa gotong royong kita, rakyat Indonesia,’’ kata Wapres.
Setelah itu, Wapres turun  meninjau salah satu lokasi  terparah akibat banjir. Wilayah pemukiman Kampung Bara, Kelurahan Dara, Kota Bima yang menjadi perhatian Wapres dan rombongan. Saat itu, Walikota Bima, H. Qurais H. Abidin menunjukkan gang-gang yang penuh sampah dan lumpur. ‘’Inilah yang akan kami kerjakan. Kami harus segera membersihkan sampah dan lumpur ini,’’ jelas walikota.
Wapres meminta semua pihak bergotong royong membenahi wilayah dan masyarakat yang menjadi  korban banjir. Sementara itu, Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi berterima kasih atas kunjungan Wapres tersebut. Ia berharap adanya dukungan pemerintah pusat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabanjir Bima. (Suara NTB)



Share:

Sunday 25 December 2016

Jalan Harmoni Kenalkan Lagu Tong Setan

Grup Band Jalan Harmoni saat pentas dan memperkenalkan lagu baru Tong Setan

Grup band Jalan Harmoni memperkenalkan lagu barunya ketika tampil di panggung Tapak Waktu. Lagu baru berjudul “Tong Setan itu rencananya akan dimasukkan dalam album ke-2.
Salah satu vokalis album tersebut Qisie, mengaku sedang dihadapkan dengan kesibukan menggarap album lain. Ia masih menggarap tiga album yang rencananya dirilis tahun depan. Album yang sedang digarap itu masing – masing berjudul Speaker Active, Biru & Jingga dan Pantjoro Sumarsa.
“Yang sedang saya kerjakan ini ada tiga album. Saya perkirakan bisa dirilis maret tahun depan. Maunya tahun ini, tetapi karena belum sepenuhnya kelar jadinya tahun depan,” kata Qisie, Senin (5/12/2016).
Album berjudul Pantjoro Sumarsa yang sedang digarap itu terangkat dari nama bassis Jalan Harmoni yang akrab sapa Ipang. Saat tampil di panggung pentas musik lintas generasi di Arena Teater Taman Budaya, format grup band tersebut mengalami perubahan. Jalan Harmoni memiliki tambahan dua personel yang menduduki posisi ritem gitar dan vokalis. Kedua personel tambahan itu adalah Ryan Ruslianyah sebagai vokalis dan Farhan Al Ayubi sebagai pemegang ritem gitar. “Album ke-2 Jalan Harmoni belum dibuat, lagunya baru satu,” bebernya.

Ketika tampil di Taman Budaya, Sabtu (3/12/2016), grup band yang terkenal dengan lagu – lagu beraliran retro ini, membawakan banyak lagu dari album perdananya. lagu berjudul “Ampenan” menjadi lagu yang paling dikenal penggemarnya. Selain mengandung banyak keindahan, lagu tersebut juga menjadi penuntun mengingat kenangan tentang Kota Tua Ampenan, kota yang pernah menemukan kejayaan puluhan tahun silam.

Pentas seni yang dilakukan Jalan Harmoni, akhir pekan kemarin itu ditujukan untuk memeriahkan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) NTB ke-58. Selain JH, begitu akronim nama band tersebut, ada juga penampilan menarik dari enam bocah berbakat dalam bidang kesenian. Mereka adalah Jingga Bunga Hati, Lentera Biru, Ikra Thian Mora, Bintang Pablo Armadan, Annisa Intan Raihana dan Muhammad Satria Mujahid. Mereka tergabung dalam grup musik Enam Kancing Baju. (Met Darmi)
Share:

Rizal Badila, Penyanyi Asal Lombok Tengah yang Tenar di Malaysia

Rizal Badila -musisi kelahiran Lombok Tengah yang tenar di Malaysia. (dokumentasi coretanmusik.com)

Rizal Badila salah satu musisi kelahiran Lombok Tengah (Loteng), kelihatannya lebih tenar di Malaysia ketimbang di negara asalnya. Dalam waktu singkat, musisi yang satu ini mendapatkan kontrak  di negara tersebut.
Mantan General Manager (GM) hotel di Pulau Lombok ini mendapatkan kontrak menerbitkan album. Selain itu, ia juga meraih kesempatan untuk duet bersama penyanyi idola di Malaysia, Azharian Azhar. Musisi kelahiran 1989 ini berkesempatan menerbitkan album berjudul 1000 cinta di negara setempat.
Setelah albumnya diterbitkan, lagu – lagu yang termuat di dalam album tersebut juga dijadikan sebagai soundtrack film layar lebar. Lagu – lagu karangan pria lulusan SMA Negeri 1 Kopang ini terpilih menjadi sountrack film berjudul QU LOVE U.
“Saya bersyukur karena kesempatan untuk berkarir buat saya ada di Malaysia. kesempatan ini tentu tidak mau saya sia – siakan,” kata Rizal, Jumat (2/12/2016).
Musisi yang satu ini tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan beralih profesi. Rizal yang semula bekerja sebagai pelaku pariwisata bidang perhotelan, kini mengambil bagian dalam dunia entertaint. Dirinya mengaku sangat antusias untuk melibatkan diri memajukan industri musik. Lebih – lebih di daerah asalnya, yakni Pulau Lombok.
“Saya saat ini hanya bisa menjalani apa yang harus saya lakukan karena saya tau segala sesuatu sudah diatur oleh Tuhan.  Harapan saya kedepan hanya satu yakni bagaimana memajukan industri musik daerah NTB. Supaya musik – musik yang diproduksi rekan – rekan musisi di daerah tersebut menjadi lebih terkenal dan Berjaya,” katanya.
Selain mengukir prestasi di negara asing, musisi ini juga sebelumnya pernah meluncurkan album perdana di Pulau Lombok. Album berjudul harapan yang diluncurkan itu meraih perhatian dari berbagai pihak. Tak terkecuali pelaku – pelaku industri musik.  (Met Darmi)
Share:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive