Be Your Inspiration

Monday 11 December 2017

Ritel Modern dan Produk Lokal NTB yang Kesulitan Tempat

Belanja di ritel modern

Jumlah ritel modern semacam Indomaret dan Alfamart di NTB kian tak terbendung. Keberadaannya bahkan menembus lokasi yang seharusnya tidak mereka tempati. Keberadaan ritel ini tidak hanya menjual produk dari luar, tapi dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tempat mereka beroperasi. Sayangnya, janji untuk mengakomodir produk lokal seperti menjadi macan kertas. Terbukti hingga saat ini para pelaku UMKM mengaku sangat kesulitan masuk di ritel modern. Kenapa?

SEKDA NTB Ir. H. Rosiady H. Sayuti, MSc., PhD, dalam sebuah forum UMKM beberapa waktu lalu mengkritik ketatnya persyaratan dari produk UMKM agar bisa masuk ke ritel modern. Pengelola UMKM harus dihadapkan dengan syarat standarisasi produk yang begitu ketat. Selain itu, produk yang diterima ritel modern, pengusaha UMKM harus menerima pembayaran dalam jangka waktu yang cukup lama.

Sekda menceritakan pengalamannya langsung bagaimana sulitnya produk lokal masuk ritel modern. Bahkan kesan yang muncul pada sekda, masuknya produk ke ritel modern sengaja dipersulit. Inilah menjadi PR besar pemerintah daerah mengawal komitmen kerjasama dengan ritel modern.
Konsumen pilih produk di ritel modern
Pemprov NTB kerap menerima laporan mengenai ketidakberpihakan ritel modern dengan para pelaku UMKM. Misalnya, memberikan tempat yang tidak strategis bagi produk lokal, harga produk lokal di naikkan. Sepertinya “seolah-olah” produk lokal memang tak diberi ruang untuk bersaing mendapat simpati pasar. Dua bulan barang tidak laku, dikembalikan kepada produsennya, dengan biaya pengembalian ditanggung sendiri oleh produsen.

Apa yang disampaikan Sekda NTB ini sejalan dengan pengakuan sejumlah pengusaha UMKM di NTB. Hj. Zaenab, misalnya. Pemilik produk sambel cengeh yang dijual di salah satu ritel berjaringan nasional mengakui bagaimana sulitnya memasukkan produknya di ritel modern. Sejumlah persyaratan harus dipenuhi, termasuk lamanya waktunya pembayaran produk.

Menurutnya, jika pengelola UMKM ingin memasukkan produknya harus memperhatikan beberapa hal. “Yang paling diperhatikan adalah standarisasi produknya, seperti kemarin saat mereka meminta untuk segel, langsung saya penuhi,” terangnya.

Selain itu, produk UKM yang masuk ke ritel modern harus dibekali dengan modal yang besar karena menurut pengalamannya, selama 3 bulan pertama pengusaha tidak dibayar oleh ritel. “Bisa dibilang, itu kita seperti menabung di sana karena mereka pesannya sampai ribuan botol, jadi benar-benar harus kuat di modal,” kata Zaenab, Sabtu (9/12).

Tetapi, setelah 3 bulan dilewati, barulah dirinya mendapatkan hasil dari produk yang dititipkan di ritel tersebut. “Sekarang tiap bulan mereka pesannya sampai 1-2 dus sambal dan pembayarannya lancar, masih ada uang saya di sana yang dari 3 bulan sebelumnya itu sebesar Rp 28 juta,” terangnya.

Produk Zaenab yang sudah hampir setengah tahun di ritel modern itu diterima dengan baik oleh konsumen. “Saya sendiri yang langsung datang ke kantornya dengan membawa sampel produk saya, baru kemudian mereka mengecek langsung ke tempat saya dan deal,” jelasnya.
Produk lokal NTB di ritel modern
Para pelaku UKM yang ingin produknya masuk ritel meodern, imbuhnya, benar-benar harus memperhatikan kemasan dan masa kedaluwarsa. “Kalau produk olahan seperti makanan itu karena kalau masa kwdaluarsanya kurang dari 8 bulan agak sulit, karena kalau di-return, kita juga yang rugi,” jelasnya.

Untuk menghindari itu, ia biasanya menarik produknya 1-2 bulan sebelum masa kedaluwarsa dan dijual kembali. “Masa kedaluwarsa produk saya 10 bulan, jadi 2 bulan sebelumnya saya jual kembali biar cepat habis,” kata Zaenab.

Hal senada disampaikan Ahmad Ritaudin, pemilik produk kopi Awet Muda, Narmada. Ia mengaku produknya sempat masuk ke ritel modern seperti Transmart, tetapi sekarang dirinya mengaku tidak fokus ke sana lagi. “Produk saya bisa masuk ke sana kemarin lewat koperasi, tetapi sekarang saya lebih fokus untuk mencari pasar sendiri, baik melalui sosial media atau promosi,” terangnya.

Hal ini dilakukannya, karena menurutnya, jika produknya sudah masuk ritel modern sudah tidak terkesan sebagai produk oleh-oleh, tetapi sudah komersial. “Saya mengejar untuk oleh-olehnya itu, karena ingin menonjolkan kekhasan produknya,” kata Itok – sapaan akrabnya. Makanya, ia memutuskan hanya sekali saja memasukkan produk miliknya ke ritel modern.

Selain itu, pihaknya mengaku jika pembayaran produk yang dimasukkan ke ritel modern belum dibayar, tapi dirinya sudah saya mengikhlaskan. Ia menambahkan, pelaku UKM lainnya yang memasukkan ke ritel modern itu juga banyak yang belum dibayar. “Ribet proses administrasinya, jadi biarkan saja sudah,” tukasnya.

Berbeda dengan Itok, Hj. Nurwadaini, pemilik produk Rinjani Kopi, mengaku produknya yang dipasarkan ke salah satu ritel modern, pasarannya cukup bagus. “Saya juga memasukkan produk saya ke sana lewat koperasi, saat pertama mungkin ada puluhan bungkus yang saya taruh, pembayarannya juga lancar tetapi melalui koperasi juga,” terangnya.

Dirinya tidak terlalu mengetahui kriteria yang diterapkan oleh ritel saat meminta produknya, karena semuanya melalui koperasi. “Tetapi mereka minta sampel terlebih dahulu, kalau sudah cocok baru deal,” jelasnya. Saat ini, produknya sudah dipesan kembali oleh ritel tersebut, karena sudah cukup banyak produknya yang laku.

“Ada juga pesanan dari ritel modern lainnya, tetapi produknya beda, mereka mintanya nasi jinggo,” kata Daini.

Untuk produk makanan siap santap seperti itu, ada  beberapa hal yang perlu diperhatikannya. “Buatnya tergantung dari berapa permintaan mereka dan kemasannya juga pakai daun pisang agar lebih cantik,” jelasnya. Selain itu, produk nantinya akan diambil langsung oleh pihak ritel di tempat produksinya langsung untuk dibawa ke toko. (Bulkaini /Uul Efriyanti Prayoba Ekbis NTB)
Share:

0 komentar:

VISITOR

YANG SAYANG ANDA LEWATKAN

Blog Archive