Kepala BPM PT NTB Lalu Bayu Windia |
-
Nanggu, Sudak dan Kedis, Tiga Gili Nan Memesona di Sekotong Lombok Barat
Pemandangan alam di tiga gili di Sekotong yang begitu memesona.
-
Tiga Ribu Dulang Warnai Pesona Budaya Desa Pengadangan Lombok Timur
Sebanyak 3.000 dulang tengah diarak (betetulak) dari empat arah dalam Pesona Budaya II Desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lotim, Rabu (30/10/2019)
-
Usaha Masker, Yang Untung Selama Pandemi Corona
Seorang penjahit di Rumah Produksi Sasambo Bumi Gora Lombok Barat sedang membuat masker berbahan baku kain).
-
Sabut Kelapa Desa Korleko Lombok Timur Diekspor ke Cina
Sabut kelapa dari Desa Korleko Kecamatan Labuhan Haji Lombok Timur yang dijadikan coco fiber untuk bahan baku pembuatan jok mobil dan diekspor ke Cina .
-
Gubernur dan Wagub Serah Terima Jabatan dengan TGB dan H. Muh.Amin
Serah terima jabatan dari mantan Gubernur NTB, TGH.M.Zainul Majdi kepada Gubernur NTB, H. Zulkieflimansyah yang berlangsung di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur, Jumat (21/9/2018).
Thursday 31 July 2014
Banyak Pengaduan Perselisihan Investor-‘’Broker’’ Tanah di NTB
Agus Salim Diduga Jaringan Igaras
Kapolres KSB, AKBP .Teddy Suhendyawan Syarif. |
AGUS Salim alias Agus Abdullah bin Ibrahim (31) warga Desa
Seteluk Atas, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) terduga jaringan
teroris yang tertangkap beberapa waktu lalu teridentifikasi masuk dalam
jaringan Igaras. Jaringan tersebut merupakan jaringan kecil dari sekian banyak
jaringan ajaran jihad radikalisme yang ada di Indonesia.
WWF NTB Tentang Rencana Pengerukan Pasir Sekotong
Direktur WWF NTB Ridha Hakim |
Pemkab Lobar Tolak Permintaan Pasir 20 Juta untuk Reklamasi Teluk Benoa
Logo Lombok Barat |
Pemkab Lombok Barat (Lobar) menolak permintaan perusahaan
yang ingin membeli material berupa pasir untuk keperluan rekalamsi Teluk Benoa
di Bali. Penolakan ini disampaikan atas dasar pertimbangan, antara lain
melanggar aturan Kepres nomor 2 tahun 2002 dan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Lombok Barat.
Demikian ditegaskan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Lobar, Budi Dharmajaya Kamis (31/7/2014) ketika dikonfirmasi via telepon. Budi mengakui, pada awal tahun pernah ada permintaan salah satu perusahaan di Bali membeli material pasir dalam partai besar. Material ini menurut rencana akan dipergunakan untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali.
‘’Memang ada salah satu perusahaan meminta membeli material
pasir untuk reklamasi di Teluk Benoa Bali, tapi atas pertimbangan aturan
(Kepres nomor 2 tahun 2002) dan RTRW, terutama sekali menyangkut lingkungan
maka permintaan itu kita tolak,’’ tegas Budi yang sat dikonfirmasi sedang ada
di luar daerah.
Mantan Sekretaris Distamben ini menerangkan, sebelum
diputuskan permintaan perusahaan tersebut ditolak, pihak Pemda dalam hal ini
Distamben, BLH, Bappeda dan Dinas Kelautan Perikanan, Lobar melakukan pertemuan
untuk mengkaji masalah ini.
Hasil kajian dari berbagai sisi, termasuk aturan Kepres
nomor 2 tahun 2002 tentang masalah tambang. Dalam aturan ini, gubernur, bupati
dan walikota tidak diperbolehkan memberi izin mengambil pasir dari laut, karena
mengancam kelestarian laut sendiri. Selanjutnya, dari segi RTRW juga tidak
memungkinkan karena melanggar aturan. ‘’Pemda tidak setuju karena masalah RTRW,’’
tegasnya.
Ia mengaku, pengajuan perusahaan itu untuk membeli pasir sekitar
bulan Februari – Maret 2014. Perusahaan ini tidak hanya mengajukan penawaran ke
Distamben, namun juga ke sejumlah dinas seperti BLH, DKP dan Bappeda.
Lantas
jika ada pengiriman? Menurutnya tentu kegiatan itu ilegal karena tidak ada izin
sebelumnya. Dalam hal ini pemda akan bersikap tegas terhadap aktivitas yang
melanggar aturan.
Terpisah, Kepala BLH Lobar Mulyadin SH, MH menegaskan,
terkait permintaan material pasir untuk reklamasi Teluk Benoa ditolak Pemda
karena selain pertimbangan melanggar aturan dan RTRW juga karena kapasitas yang
diperlukan tinggi mencapai 20 juta ton. ‘’Kita mana mampu, sementara di Lobar
saja hanya galian C kapasitas kecil-kecil,’’ terangnya.
Sementara itu, anggota Komisi III Adi Suharmin menentang
keras jika pemda menjual material pasir ke Bali. Karena, jika dipaksakan
memenuhi permintaan itu maka akan habis tenggelam Lobar. Apalagi kawasan Lobar
kebanyakan wisata yang jika diambil pasir di pesisir pantainya akan mengancam
kawasan itu sendiri. ‘’Pemda harus tegas terhadap aktivitas galian C ini, karena
diduga banyak yang ilegal,’’ tegasnya.(suara ntb)
Garap Kawasan Wisata, Investor Asing di Sekotong Peralat ‘’Broker’’
Salah satu sudut pemandangan di Gili Nanggu Sekotong Lombok Barat |
Calo atau broker
tanah diduga menguasai sejumlah lahan potensial di kawasan Sekotong. Para calo
ini diduga diperalat oleh investor asing untuk memperoleh izin menggarap
kawasan wisata di Sekotong, Kabupaten Lombok Barat (Lobar).
Salah seorang broker berinisial SH mengakui telah memegang
sertifikat sejumlah lokasi lahan di Sekotong Barat atas nama orang lokal namun
pemiliknya diduga orang asing.
Tuesday 29 July 2014
Kebebasan, Cara Lotim untuk Bangkit dari Kemunduran
Bupati Lotim Ali Bin Dachlan |
Bupati Lombok Timur (Lotim) H. Moch Ali Bin Dachlan menyatakan tetap memegang prinsip Lotim adalah surga kebebasan. Warga
diberikan kebebasan untuk
berekspresi, termasuk
kebebasan menulis dan mengungkap fakta dari para wartawan. Kebebasan merupakan salah satu cara untuk
bangkit dari kemunduran.
Open House, Ribuan Warga Padati Kediaman Pribadi Gubernur NTB
SEHARI setelah Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriah,
Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi, beserta keluarga besar menggelar open
house di kediaman pribadinya di
Gelang Pancor Kecamatan Selong, Selasa (29/7/2014). Kediaman gubernur pun sejak
pagi sudah ramai dipadati ribuan warga yang berasal dari Lombok Timur dan
sekitarnya.
Tradisi ‘’Tiu’’ Sebelum Shalat Idul Fitri, Warga Jantuk Mandikan Kuda
Masyarakat Jantuk
mengikuti Tradisi Tiu yang dilaksanakan seusai shalat Idul Fitri. |
SALAH seorang tokoh masyarakat Desa Jantuk, Muslimin
menjelaskan, Tradisi Tiu
merupakan tradisi nenek
moyang mereka sejak penjajahan Belanda sekitar tahun 1890 – an. Awal mulanya, tiu merupakan bendungan atau sungai
tempat biasa digunakan untuk memandikan kuda sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri. Kuda
– kuda tersebut ditunggangi secara beriringan dalam jumlah yang sangat banyak. ‘’Ini
(Tradisi Tiu, red) sudah sejak tahun
1890 – an,’’ ungkap Muslimin yang juga Kepala Dusun
Gubuk Lauk, Desa Jantuk, Senin (28/7/2014)
malam.
Dikatakan,
filosofi tradisi tersebut menunjukkan nilai – nilai perjuangan masyarakat tempo
dulu melawan penjajah serta Jantuk sangat diistimewakan di masa Kerajaan Jereweh. Terlepas dari filosofi tersebut,
diakui, sebagian besar masyarakat Jantuk memang mendapatkan penghasilan dari
beternak kuda. ‘’Desa
Jantuk dulu sangat
diistimewakan ketika masih disebut distrik di masa kerajaan,’’ akunya.
Mempertahankan
tradisi tersebut katanya, masyarakat khusus warga asli Jantuk diharuskan
mengikuti Tradisi Tiu atau menunggang
kuda. Pesertanya pun beragam, mulai dari pemuda, gadis hingga anak kecil.
Disebutkan, tahun ini kuda yang ikut serta menyemarakan tradisi tersebut kurang
lebih 200 ekor. ‘’Pokoknya tiap tahun itu terus meningkat,
tahun 2013 masyarakat siapkan 150 ekor kuda dan sekarang sekitar 200 ekor,’’ sebutnya.
Diakui, kuda –
kuda tersebut sebagian besar merupakan kuda yang sengaja di sewa oleh
masyarakat dengan harga bervariasi. Diketahui, di zaman dulu masyarakat menyewa
hanya Rp 15, sedangkan saat ini mencapai Rp 700 ribu. Tetapi,
tidak dipungkiri sudah banyak masyarakat yang mulai memelihara kuda yang
dipersiapkan untuk mengikuti tradisi tersebut. “Dulu kita bisa sewa Rp 15,
sekarang sampai Rp 700 ribu,” sebutnya
seraya menambahkan tradisi ini, hanya bisa diikuti oleh masyarakat Jantuk dan
tiap tahun warga yang keturunan Jantuk wajib pulang menyaksikan perayaan
tersebut.
Apa alasan tokoh
masyarakat memulai tradisi ini pukul 04.00 hingga pukul 07.00 ? Muslimin
menjelaskan, sudah tradisi yang diterima dari nenek moyang dari tahun ke tahun.
Pertimbangan lain sambungnya, menghindari kemacetan apabila dilaksanakan pagi,
siang atau sore hari. “Ini memang sudah tradisi dari dulu,” jawabnya serta
berharap agar tradisi itu, tetap dipertahankan dan paling tidak menjadi tradisi
yang dapat mengundang wisatawan. “Mudah – mudahan ini tetap eksis atau
dipertahankan oleh generasi selanjutnya,” ujarnya.
Hafifudin pemuda
Desa Jantuk mengakui, dirinya diajarkan menunggang kuda oleh orangtuanya sejak
duduk di kelas 1 SD. Dari tradisi tersebut menurutnya, ada
pembelajaran yang didapatkan, baik itu nilai perjuangan serta kegigihan orang
tempo dulu mempertahankan diri melawan penjajah dengan menunggang kuda tanpa pelana, cukup dengan cemeti serta tali kekang.
Tidak seperti
teman sebayanya, Hafif tidak perlu menyewa kuda dengan harga mahal yang
ditawarkan para pemilik kuda setiap tahunnya. Lantaran orangtuanya memelihara
kuda secara turun temurun. Dia berharap khususnya
kepada pemerintah, agar tradisi itu diperhatikan. Artinya, paling tidak menjadi
kalender budaya tahunan, karena tradisi ini hanya bisa ditemukan di Jantuk.
Kedua, fasilitas penunjang dan promosi – promosi kepada masyarakat luar bisa
digalakkan, sehingga eksistensi tradisi tersebut bisa dikenal. (cem/suara ntb)